Mongabay.co.id

Forum Diskusi Mongabay: Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan Bukan Sebatas Luasan

 

 

Baca: Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan Baru Terwujud 97 Ribu Hektar. Bagaimana Hutan Adat?

 

Perhutanan Sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya. Pemerintah, periode 2015-2019 mengalokasikan 12,7 juta hektar untuk perhutanan sosial, melalui skema hutan desa [HD], hutan kemasyarakatan [HKm], hutan tanaman rakyat [HTR], hutan adat [HA], dan kemitraan kehutanan [KK].

Namun, dalam pelaksanaan lima tahun terakhir, khususnya di Sumatera Selatan, terkesan tidak ada sinergi antara rencana kerja pemerintah desa dengan program perhutanan sosial itu sendiri.

Perhutanan sosial berjalan dengan kemampuan sendiri, sehingga tidak ada dukungan penuh dari pemerintah desa, misal pendanaan dana desa. Termasuk juga, tidak terlibatnya dalam program pemerintah desa seperti BUMDES [Badan Usaha Milik Desa] terkait pengelolaan dampak ekonomi perhutanan sosial.

Beranjak dari kondisi tersebut, Mongabay Indonesia menggelar diskusi Ramadhan dengan tema “Mendorong Integrasi Perhutanan Sosial ke Dalam Rancangan Pembangunan Desa” di Rumah Sriksetra, Palembang, Minggu [26/5/2019].

Hadir sebagai pembicara Beni Hernedi [Wakil Bupati Musi Banyuasin], Achmad Taufik [Wakil Ketua Pokja Percepatan Pehutanan Sosial Sumatera Selatan], Agus Irwanto Wibowo [KELOLA Sendang-ZSL Indonesia], Yuwono Aries [Bappeda Kabupaten Musi Banyuasin], dan Meiyardhy Mujianto [Penabulu]

 

Persoalan perhutanan sosial di Sumatera Selatan bukan hanya terkait target luasan, tapi juga minimnya hutan adat, “penumpang gelap” serta resolusi konflik. Tampak seorang petani karet tengah menyadap getah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Persoalan perhutanan sosial di Sumatera Selatan, bukan hanya terkait target luasan, tapi juga mengatasi “penumpang gelap” dan upaya resolusi konflik masyarakat yang hidup di kawasan konservasi. Misalnya, pelaksanaan perhutanan sosial di Kabupaten Musi Banyuasin [Muba].

Sebelumnya, sekitar 200-250 ribu masyarakat Kabupaten Muba berada di kawasan hutan. Hidup mereka penuh kecemasan dan konflik. Bahkan, ada yang dipenjara. Melalui skema perhutanan sosial yang sangat dioptimalkan pemerintahan Jokowi, kini sekitar 40 ribu masyarakat merdeka.

“Merdeka karena sudah mendapat pengakuan dan perlindungan melalui skema perhutanan sosial tersebut. Mereka senang, meski masih butuh pendampingan, sehingga tidak hadir “penumpang gelap”,” kata Beni Hernedi, Wakil Bupati Muba.

Penumpang gelap? Ya, misalnya perhutanan sosial yang ada di Kecamatan Lalan [9.000 hektar] jangan sampai dikelola saudara-saudara mereka yang didatangkan dari Jawa. Jangan sampai. “Luasan lahan itu hendaknya benar-benar dimanfaatkan masyarakat transmigran di sana,” jelasnya.

Selanjutnya, kata Beni, ada kelompok masyarakat yang selama 25 tahun bermasalah atau mengalami konflik dengan pemerintah. Mereka hidup di kawasan konservasi Suaka Margasatwa [SM] Dangku dan Bentayan, jumlahnya sekitar 20 ribu jiwa. “Mereka ini yang seharusnya diselesaikan melalui skema perhutanan sosial.”

Di antara kedua kawasan konservasi tersebut, Beni menyebutkan, keberadaan masyarakat di SM Bentayan yang pertama harus diselesaikan. Mereka hidup sudah puluhan tahun. Sudah ada sekolah. Tapi mereka tidak dapat disentuh pembangunan, baik dari APBD Muba maupun dana desa karena dianggal ilegal. “Tapi kalau ada pemilihan kepala desa, pemilu, suara mereka diambil. Kehidupan mereka sungguh sulit. Miskin. Mereka yang harusnya menjadi target dari skema perhutanan sosial,” tuturnya.

 

Purun yang baru diambil dari rawa gambut ini diolah menjadi bahan tikar dan lainnya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Achmad Taufik, Wakil Ketua Pokja Percepatan Pehutanan Sosial [PPS] Sumatera Selatan [Sumsel] mengatakan, peluang menata masyarakat di SM Bentayan ada melalui kemitraan konservasi. “Memang saat ini, selain minimnya hutan adat juga belum ada skema kemitraan konservasi dalam pelaksanaan perhutanan sosial di Sumatera Selatan. Skema kemitraan konservasi dapat dilakukan bersama BKSDA Sumatera Selatan.”

Dijelaskan Taufik, luasan perhutanan sosial di Sumsel hingga Mei 2019 mencapai 124.737,80 hektar. Ini dilakukan dari 2010. Hutan desa [HD] seluas 32.961 hektar, hutan kemasyarakatan [HKm] seluas 29.093,64 hektar, hutan tanaman rakyat [HTR] seluas 23.917,32 hektar, hutan adat [HA] seluas 379,70 hektar, serta kemitraan kehutanan [HK] seluas 38.386,14 hektar.

Sumatera Selatan juga memiliki Peraturan Gubernur tentang Perhutanan Sosial No.58 Tahun 2018. Namun, anggaran untuk pelaksanaan perhutanan sosial masih berasal dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sebagai informasi, target perhutanan sosial di Sumatera Selatan berdasarkan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) hingga tahun 2020 seluas 586.393 hektar.

Agus Irwanto Wibowo, dari proyek KELOLA Sendang-ZSL Indonesia, menjelaskan pihaknya sudah melakukan pendataan masyarakat yang berada di kawasan SM Dangku. “Kami sudah diskusi dengan BKSDA terkait teknis apa yang harus dilakukan. Kajian-kajian terus dilakukan. Beberapa kasus mungkin bisa dilakukan bukan hanya di Dangku, juga di Bentayan,” katanya.

Agus mengatakan jika perhutanan sosial benar-benar akan menyentuh masyarakat di sekitar hutan, harusnya pemerintah atau KLHK tidak terfokus pada target luasan. “Banyak desa hanya butuh beberapa ratus hektare lahan hanya untuk beberapa ratus keluarga. Tapi mereka memang butuh pengakuan dan perlindungan hukum karena hidup di kawasan hutan. Ini harusnya juga didukung, tidak harus melihat luasan lahan jika tidak ada manusianya,” kata Agus.

 

Statistik Perhutanan Sosial 2017-2019. Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

 

Penguatan desa

Persoalan “penumpang gelap” termasuk sulitnya menata masyarakat yang berada di kawasan konservasi, salah satu penyebabnya karena belum baiknya tata pemerintahan desa. Misalnya, ‘penumpang gelap’ itu tidak akan terjadi jika regulasi kependudukan desa berjalan baik.

“Semua warga desa sudah memiliki e-KTP, sehingga yang terlibat perhutanan sosial benar-benar mereka yang punya KTP, bukan surat keterangan kepala desa,” kata Meiyardhy Mujianto dari Penabulu, sebuah lembaga yang terlibat proyek KELOLA Sendang.

Kedua, banyak desa belum memiliki peta atau tapal batas yang jelas. “Termasuk di Kabupaten Muba yang tidak jelas tapal batas desanya, sehingga menjadi persoalan ketika berhadapan dengan peta kawasan hutan,” jelasnya.

Ketiga, perlu dukungan regulasi dan kebijakan pemerintah provinsi dan kabupaten. “Dibutuhkan peraturan bupati terkait perhutanan sosial dan mekanisme di tingkat tapak, sehingga mendorong peran pemerintahan desa dalam pelaksanaan perhutanan sosial. Termasuk, regulasi kependudukan dan kepastian tapal batas desa,” kata Mujianto.

 

Diskusi Mongabay Indonesia dengan tema Mendorong Integrasi Perhutanan Sosial ke Dalam Rancangan Pembangunan Desa. Tampak Wakil Bupati Muba Beni Hernedi, kedua dari kanan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Persoalan tapal batas desa di Kabupaten Muba dibenarkan Yuwono Aries dari Bappeda Kabupaten Muba. UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan tata ruang yang wajib skala makro adalah kabupaten dan ibu kota kecamatan.

Desa belum ada kewajiban. Kita belum punya aturan tata ruang desa. Sehingga RPJM [Rencana Pembangunan Jangka Menengah] Desa, selama ini datangnya tiba-tiba dan tidak jelas. Tidak tahu apakah pembangunan itu berada di kawasan hutan atau bukan. “Jika ada tata ruang desa, jelas mana wilayah yang dapat dibangun dan tidak. Diikat peraturan desa.”

“Kita butuh peraturan gubenur atau bupati terkait tata ruang desa, sehingga tapal batal desa menjadi jelas. Dampaknya, pelaksanaan skema perhutanan sosial jelas sasaran dan lokasi. Tapal batas desa cukup dilandasai peraturan desa,” lanjutnya.

“Tata ruang desa sebagai media komunikasi pembangunan di desa. Termasuk menghindari persoalan lahan perhutanan sosial, seperti adanya penilaian dari warga desa mengenai lahan yang ditetapkan tidak sesuai keinginan mereka. Mereka ingin lahan yang diberi yang sudah mereka kelola tapi yang diberikan lahan kosong,” timpal Mujianto.

“Kita siap. Tapi sekali lagi kami berharap perhutanan sosial dapat mengatasi titik masalah yang selama ini terjadi di Muba. Yakni, masyarakat yang berada di kawasan suaka margasatwa itu,” tandas Beni.

 

 

Exit mobile version