Mongabay.co.id

Menjaga Hidup Selaras dengan Merapi

anda memasuki Kawasan Rawan Bencana III di Gunung Merapi. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Kinahrejo, dusun di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman hanya empat kilometer dari puncak Merapi. Pada 22 Mei lalu, dusun tempat Mbah Maridjan pernah tinggal ini tengah bermandikan sinar matahari. Langit biru, cuaca cerah. Merapi tampak secara visual.

Marsono, sabar menunggu di sudut pertigaan jalan menuju kediaman Mbah Maridjan. Tangan kanan pria 63 tahun kerabat Mbah Maridjan itu menggenggam handytalky. Itu sarana komunikasi dia dengan petugas lain di dekat tempat parkir rumah Mbah Marijan, juru kunci Merapi yang digantikan oleh Asih, anaknya. Mbah Maridjan meninggal dalam tugas karena diterjang awan panas, 26 Oktober 2010.

“Bulan puasa agak sepi. Ramai lagi menjelang Lebaran,“ kata Marsono.

Dia bertugas mengatur keluar masuk kendaraan menuju petilasan Mbah Maridjan. Jalan memang sempit, sedikit menurun, dan berkelok. Sesekali dia menyambut ramah sapaan orang yang naik atau turun sambil membawa rumput.

 

Marsono, warga Kinahrejo yang beberapa kali alami bencana Merapi. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Berdamai dengan Merapi

Sehari sebelumnya, 21 Mei, satu tahun peningkatan status Merapi dari normal ke waspada. Ini menjadi status waspada terlama Merapi. Sekitar setahun lalu, Merapi alami letusan freatik dan beberapa kali gempa tremor. Selanjutnya, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) menaikkan status Merapi, dari normal menjadi waspada. Biasa ini penanda Merapi bakal lebih aktif lagi.

Marsono terdiam saat saya bertanya apa yang terjadi pada 2010. Dusun Kinahrejo, kala itu tertutup pasir dan debu. Dusun yang semula hijau jadi abu-abu. Sebagian besar kawasan tergulung awan panas. Usai bencana Kinahrejo seperti kampung hantu.

Pada 2010, dia masih tinggal di Kinahrejo. Kini bersama keluarga tinggal di hunian tetap di Dusun Gondang, Umbulharjo. Sejak letusan dahsyat 2010, ratusan warga yang tinggal di lereng Merapi di kawasan rawan bencana setuju relokasi.

“Saya kini beternak. Punya sapi dua,” kata Marsono. “Pakan sapi berupa rumput dan daun-daunan diambil dari sini, lalu dibawa turun. Rumput di sekitar sini yang punya warga Pelemsari.”

Di lokasi hunian tetap itu ada tempat khusus kandang sapi yang terpisah dengan rumah warga. Dia juga jadi anggota kelompok sapi perah Merapi Mandiri.

Pengalaman tinggal di pengungsian seakan menjadi kisah berulang bagi Marsono. Pada 1960, pernah terjadi letusan hebat memaksa sebagian besar warga di lereng Merapi mengungsi. Tak terkecuali dia dan keluarga.

“Saat itu, saya masih SD, kelas tiga. Saking hebatnya sampai ada lokasi yang harus bedol desa. Seluruh warga pindah ke Sumatera, itu Desa Srumbung, Magelang. Saya sendiri mengungsi ke timur balai Desa Umbulharjo.”

Pada 1994, lagi-lagi dia harus mengungsi saat Merapi kembali memuntahkan lahar dan awan panas. Dia ingat, warga Turgo harus pindah ke Sudimoro, tujuh kilometer dari puncak Merapi.

“Tahun 1997, juga besar, tapi tidak ada korban jiwa. Lalu, 2006, peristiwa bunker. Pasir dan batu menutup tempat itu. Ada petugas yang jadi korban. Saya juga mengungsi. Pada 2010 terjadi ledakan besar. Saya mengungsi lagi, lalu pindah ke Gondang, sebelah bawah lapangan golf. Semua warga di sini pindah semua. Tanah beli sendiri, tapi rumah dibuatkan pemerintah.”

 

Jeep wisata Merapi melintas di jalan berbatu dengan latar belakang Merapi. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Dampak erupsi hebat pada 2010, Marsono bahkan kehilangan seorang anak dan dua menantu.

“Saya selamat karena keluar rumah. Waktu itu lampu mati, selepas Maghrib. Di jalan saya berpapasan dengan Pak Asih yang naik sepeda motor dan mengajak mengungsi ke Balai Desa Umbulharjo,” kenangnya. Dia tidak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi seandainya terlambat keluar rumah.

Sudi, penambang pasir Merapi di Petung, terbiasa dengan perilaku gunung Merapi yang tergolong aktif itu. Muntahan pasir dari Merapi justru jadi berkah baginya.

“Orang lain makan nasi, saya makan pasir,” katanya, ditemui saat beristirahat. Tidak seperti, Marsono, tempat tinggal Sudi, selama ini relatif aman dari bencana Merapi. Dusun Sambi, Pakem Binangun berjarak 12 kilometer dari puncak Merapi.

“Kalau pas aktif, saya berhenti dulu, kerja yang lain. Bahaya kalau tidak hati-hati, karena pasir gampang longsor.”

Peringatan status Merapi dia dapatkan dari sesama penambang pasir. Selain itu, biasa ada petugas yang melarang penambangan selama status Merapi membahayakan. Portal menuju kawasan penambangan pun ditutup tanda tak boleh ada pengerukan.

Marsono bilang, pemberitahuan status Merapi didapat lewat telepon genggam. Ini cara paling mudah menyampaikan pemberitahuan karena hampir semua warga kini punya.

“Dari petugas jaga di pos pengamatan akan memberi tahu lewat HP. Meski warga terpencar-pencar tapi mereka membawa. Kalau warga di daerah Pelemsari yang memberitahu Pak Asih. Warga juga sudah terbiasa dengan aktivitas Merapi. Kalau pas di sawah atau di kebun dengar suara gemuruh warga sudah siap.”

 

Pintu gerbang menuju salah satu lokasi Hunian Tetap warga Merapi di Pagerjurang. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Karakter Merapi

Ada empat status Merapi yaitu normal, waspada, siaga, awas. Pada saat status waspada atau level dua, warga diminta menjauh atau tidak beraktivitas di dalam radius tiga kilometer dari puncak. Pendakian juga dilarang kecuali untuk kepentingan penelitian atau mitigasi.

Hanik Humaida, Kepala BPPTKG menyatakan, status waspada adalah peluang meningkatkan ketangguhan warga menghadapi bahaya Merapi.

“Merapi memiliki beragam potensi yang luar biasa. Kenali bahaya namun tidak perlu panik. Cukup ikuti arahan petugas, dan mengetahui aktivitas gunung Merapi dari sumber resmi. Yaitu dari BPPTKG, baik yang disiarkan lewat internet, radio komunikasi, atau pos pengamatan.”

Status waspada panjang sebelumnya pernah terjadi, pada 2001, selama enam bulan. Pada 1994 dan 1996, selama delapan bulan.

Setidaknya, telah terjadi lima fase perubahan Merapi, yaitu, pertama, suplai dapur magma dalam yang terjadi pada kurun waktu 2012 hingga 2014. Kedua, migrasi dari dapur magma yang ditandai beberapa kali letusan freatik. Ketiga, migrasi dari kantong magma pada 2018.

Keempat, pertumbuhan kubah lava terjadi pada 2018 hingga 2019. Dalam fase ini terjadi guguran lava pijar ke arah Kali Gendol. Fase kelima, pembentukan guguran lava dan awan panas yang terjadi pada akhir Januari 2019 hingga kini.

Sejak Januari lalu, volume kubah lava relatif tetap karena magma langsung meluncur ke hulu Kali Gendol sebagai guguran lava maupun awan panas. Dalam masa 17-23 Mei, dilaporkan terjadi dua kali awan panas dengan jarak luncur maksimum 1.100 meter mengarah ke hulu Kali Gendol.

Awan panas atau wedhus gembel menurut istilah warga setempat menjadi bencana Merapi yang populer selain hujan abu. Istilah ini menunjuk pada aliran hawa panas campuran dari batu, kerikil, abu, pasir, air, gas vulkanik yang keluar dari gunung api. Awan panas meluncur dengan kecepatan bisa lebih dari 100 km per jam. Suhu sekitar 250 derajat celcius, diukur dari jejak arang.

Secara visual awan panas terlihat seperti awan bergulung-gulung menuruni lembah dan Lereng Merapi. Jika terjadi pada malam hari awan panas ini terlihat berpijar. Istilah wedhus gembel merujuk pada berbentuk seperti bulu kambing.

Awan panas pada 1994, menelan korban jiwa 60 orang, kebanyakan warga Turgo, Purwobinangun. Sebelumnya, Turgo yang terletak di sebelah barat Kaliurang adalah salah satu lokasi favorit wisatawan kalau ke Merapi. Pemandangan di sana indah.

Pada 2010, wedhus gembel kembali meminta korban. Kali ini, justru juru kunci Merapi, Mbah Maridjan, jadi korban bersama 16 orang lain. Selain kerabat Mbah Maridjan, juga relawan dan jurnalis.

 

Tanda memasuki Kawasan Rawan Bencana III di Gunung Merapi. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version