- 13 tahun semburan lumpur Lapindo, hingga kini pemulihan hak warga terkait kesehatan dan lingkungan belum tuntas
- Pencemaran air, tanah, dan udara masih dikeluhkan warga
- Warga yang menjadi korban lumpur menuntut penuntasan kasus tersebut dan berharap Gubernur Jawa Timur turut menyelesaikan bencana yang berlangsung sejak 29 Mei 2006
- Walhi Jawa Timur menyatakan berdasarkan kajian mereka dari 2008 hinga 2016, kualitas tanah dan air di sekitar area terdampak lumpur menunjukkan ada kandungan polycyclic aromatic hydrocarbon [PAH] hingga 2.000 kali diambang batas normal yang dapat memicu kanker
Sejumlah warga dari Sidoarjo, Jawa Timur, yang merupakan korban lumpur Lapindo, mendatangi Kantor Gubernur Jawa Timur, di Jalan Pahlawa 110 Surabaya, Rabu [29/5/2019]. Mereka membentangkan spanduk tuntutan penuntasan kasus lumpur Lapindo yang telah berlangsung sejak 29 Mei 2006.
Para peserta aksi yang merupakan korban lumpur tergabung dalam beberapa elemen, seperti Kelompok Perempuan Korban Lapindo Ar-Rohmah, Korban Lapindo menggugat, serta kaum perempuan dari Sanggar Al-Faz. Mereka kompak, menyatakan kasus Lapindo masih jauh dari tuntas, masih menyisakan berbagai permasalahan.
“Yang jelas pencemaran air, udara, dan tanah. Air sumur yang dulu bisa diminum sekarang tidak layak. Masyarakat yang dekat tanggul, tanamannya hitam, busuk, dan mati bila terkena lumpur. Baunya menyengat,” kata Khobir, perwakilan dari Korban Lapindo Menggugat.
Kondisi ini dibenarkan Muawanah, warga Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, yang seluruh wilayahnya tenggelam. Muawanah pindah, kini tinggal di sebelah barat Porong yaitu di wilayah Kecamatan Krembung, namun masih merasakan bau menyengat. Tidak hanya itu, air sumur juga tercemar.
“Airnya tidak layak pakai. Keseharian kami beli untuk minum,” ujarnya.
Baca: 12 Tahun Lumpur Lapindo, Kesehatan Warga dan Kerusakan Lingkungan Belum Tersentuh
Masalah ganti rugi, Muawanah menyebut masih ada sejumlah warga yang belum terlunasi dari segi tanah dan bangunan. Khususnya aset warga berupa pondok pesantren, pabrik, juga lahan kosong dan sawah.
“Kalau saya alhamdulillah sudah dibayar. Harapannya semua bisa diselesaikan, mohon bantuan Ibu Gubernur,” imbuhnya.
Harwati, dari Kelompok Perempuan Ar-Rohmah asal Desa Siring, mengatakan persoalan lumpur selama ini hanya dilihat ganti rugi semata. Sementara, banyak hak warga yang hilang pasca-luapan yang belum mendapat perhatian.
“Hak warga yang sudah pindah maupun masih tinggal di sekitar area terdampak. Utamanya kesehatan, tidak ada jaminan. Warga mengeluarkan biaya ekstra untuk berobat,” katanya.
Luapan lumpur menenggelamkan belasan desa di tiga kecamatan di Kabupaten Sidoarjo, yang semburannya sampai saat ini belum berhenti. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo [BPLS] membangun tanggul keliling agar luapan tidak melebar, sementara sebagian aliran lumpur panas di buang ke Sungai Porong.
Jaminan kesehatan
Walhi Jawa Timur telah melakukan penelitian terkait kualitas tanah dan air di sekitar area terdampak lumpur, 2008 hingga 2016. Hasilnya menunjukkan ada kandungan polycyclic aromatic hydrocarbon [PAH] hingga 2.000 kali diambang batas normal.
PAH menurut program lingkungan PBB [UNEP], merupakan senyawa organik berbahaya bersifat karsiogenik yang dapat memicu kanker. Sedangkan laporan tim kelayakan permukiman bentukan Gubernu Jawa Timur menyebutkan level pencemaran udara oleh hydrocarbon mencapai 8.000 hingg 220 ribu kali lipat di atas ambang batas.
Level tinggi logam berat juga ditemukan dalam tubuh biota di Sungai Porong, tempat pembuangan lumpur. Sementara, kontaminasi logam berat terdeteksi di sumur warga sekitar tanggul lumpur.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, Rere Christanto mengatakan, pemulihan kondisi lingkungan serta kesehatan masyarakat di sekitar tanggul harus menjadi perhatian serius pemerintah pusat maupun daerah.
“Kami mendorong pemulihan lingkungan dan kualitas hidup warga. Level kesehatan warga harus menjadi fokus, jangan sampai menurun. Pemerintah harus merespon, misalnya dengan memberikan jaminan kesehatan,” imbuhnya.
Kondisi buruk ini makin bertambah dengan keluarnya izin pengeboran barak menjadi pengeboran baru. Namun, ditolak sejumlah warga setempat.
“Berkaca dari kasus Lapindo yang menghasilkan kerusakan besar, sudah saatnya pemerintah menghentikan seluruh pertambangan di kawasan padat huni. Pertambangan dalam bentuk apapun adalah berisiko tinggi, masyarakat sekitar jadi korban,” paparnya.
Rere menyebut sistem pendataan administrasi oleh pemerintah daerah juga tidak maksimal. Hal ini didasari tidak adanya data warga yang menjadi korban, yang terpaksa pindah maupun mengalami gangguan kesehatan. Hal ini tentunya menghambat pemulihan.
“Seperti di Porong, hingga saat ini tidak diketahui berapa jumlah korban, pindah kemana, termasuk penyakit yang diderita,” katanya.
Hilangnya hak warga berupa pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan sosial budaya, perlu dipikirkan menyeluruh pemerintah. Hal ini juga dipengaruhi rencana penghapusan administrasi desa-desa yang tenggelam. Bila dilakukan akan menyulitkan warga mengurus pencatatan administrasi kependudukan.
“Sektor pendidikan sebanyak 63 sekolah tenggelam, menyebabkan ribuan anak kehilangan tempat belajar. Jangan sampai berlarut,” tandasnya.