- Perempuan di Semende, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, tidak hanya berperan sebagai ibu tetapi juga penjaga bentang alam
- Tradisi tunggu tubang, membuat bentang alam Semende yang berada di kaki Bukit Barisan terjaga hingga saat ini
- Masyarakat Semende lebih mempercayai perempuan tertua untuk menerima warisan karena dapat menjaga keseimbangan bentang alam yang didiami keluarganya
- Perempuan selalu hadir di setiap ruang dusun maupun desa untuk melakukan pekerjaan. Perempuan dalam pandangan masyarakat Semende memiliki jiwa seperti Bumi, menjaga apa yang dilahirkan
Tidak ada perempuan di Semende, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, seperti Yosepha Alomang yang menerima penghargaan Goldman Environmental Prize 2001. Perempuan hebat yang memperjuangkan lingkungan di Papua terhadap operasi tambang emas besar PT. Freeport.
Atau, seperti Aleta Baun dari Mollo, Nusa Tenggara Timur [NTT], penerima penghargaan yang sama pada 2013 berkat kerja kerasnya memperjuangkan hak-hak adat Mollo yang dilanggar pertambangan di Gunung Mutis, Timor, NTT.
Perempuan di Semende, ketika menjadi istri akan mengurus rumah, sawah, kebun, dan menjaga hutan. Tanggung jawab atau beban kerja ini menempatkan mereka sebagai ibu sekaligus penjaga bentang alam. Tanggung jawab karena tradisi “tunggu tubang” yaitu anak perempuan tertua menjadi pewaris seluruh harta orangtu. Harta yang diberikan untuk dirawat dan dijaga. Dilarang diperjualbelikan.
Bagaimana pandangan perempuan Semende terkait tradisi tersebut? “Ini sudah adat kami. Sejak kecil kami sudah diajarkan sehingga saat dewasa tidak ada persoalan di keluarga,” kata Mariyun, warga Desa Muara Dua, Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim, baru-baru ini.
Kenapa harus anak perempuan pertama yang menerima tunggu tubang? Menurut guru SMAN 1 Semende Darat Ulu ini, masyarakat memandang ada nilai keutamaan terhadap anak perempuan tertua.
“Lebih mampu menjaga, merawat, dan bertanggung jawab atas apa yang diamanahkan orangtua, termasuk mengurus saudara-saudaranya. Meskipun anak perempuan itu anak bungsu, tapi bila dia satu-satunya anak perempuan, maka disebut anak pertama perempuan.”
Usai kuliah di Palembang tahun 2000, Mariyun harus pulang ke dusun karena tradisi tunggu tubang. “Saya anak perempuan paling tua sehingga wajib mengurus harta warisan,” kata istri Muhammad Fathudin, tokoh masyarakat Desa Muara Dua, Kecamatan Semende Darat Laut.
Bagaimana jika sebuah keluarga tidak memiliki anak perempuan? “Ya, diberikan ke keponakan perempuan tertua,” lanjutnya.
Apakah boleh pewaris tidak pulang ke dusun untuk mengurus harta warisan? “Beberapa warga Semende ada yang melakukan hal tersebut. Tapi, tanggung jawab warisan tetap ada. Mereka menyerahkan harta itu ke saudara-saudaranya untuk dirawat dan dimanfaatkan. Tidak boleh dijual,” ujarnya.
Oktriana Vertasari, anggota Tim Restorasi Gambut [TRG] Sumatera Selatan, adalah pewaris tunggu tubang yang tidak pulang ke dusun orangtuanya. “Pekerjaan dan keluarga yang tidak memungkinkan pulang. Saya serahkan ke keluarga untuk mengurus dan merawat warisan orangtua. Tapi, apapun persoalan dengan warisan itu saya yang memutuskan,” ujarnya.
Penjaga bentang alam
Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan hidup dari UIN Raden Fatah Palembang, yang beberapa tahun lalu melakukan penelitian di Semende Darat, menilai peran perempuan Semende sangat penting. “Tradisi itu membuat bentang alam di Semende terjaga hingga saat ini,” jelasnya.
Menyerahkan warisan kepada anak perempuan, kata Yenrizal, dikarenakan perempuan dalam pandangan masyarakat Semende memiliki jiwa seperti Bumi. “Dia selalu melindungi dan menjaga apa yang dilahirkan atau diberikan Tuhan,” katanya.
Dr. Edwin Martin dari Litbang LHK Palembang, mengatakan masyarakat Semende lebih mempercayai perempuan tertua untuk menerima warisan, karena dapat menjaga keseimbangan bentang alam yang didiami keluarganya.
“Warisan yang diterimanya berupa rumah dan sawah, menunjukan sebagai masyarakat agraris perempuan dinilai mampu menjaga sumber air pada sebuah lingkungan. Sehingga, mereka berkecukupan dan berkelanjutan memenuhi pangan,” katanya.
Apa yang diimpikan?
“Kami ingin hidup sehat dan tenang, tidak pusing soal makan, biaya sekolah, serta biaya hidup lainnya,” kata Nursiah, petani Desa Muara Danau, Kecamatan Semende Darat Laut.
Perempuan selalu hadir
Semende adalah wilayah di kaki Bukit Barisan, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Muara Enim, Semende terbagi tiga kecamatan yaitu Semende Darat Laut [13.791 jiwa], Semende Darat Ulu [17 ribu jiwa], dan Semende Darat Tengah [10.463 jiwa]. Mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai petani: kopi, sawah, dan palawija.
Jenis kopi yang dihasilkan sebagian besar adalah robusta. Model pengolahannya ada yang menggunakan teknik tadisional yaitu ditumbuk menggunakan lesung, lalu di-roasting pakai kuali besar dengan kayu api. Ada yang memanfaatkan teknologi yang didukung perusahaan kopi. Ada juga warga yang menjemur kopi di jalan, berharap biji kopi dilindas kendaraan.
Dapat dikatakan, perempuan selalu hadir di setiap ruang dusun maupun desa untuk melakukan pekerjaan. Saat mandi pun, mereka masih melakukan pekerjaan, yakni mencuci pakaian atau peralatan masak. Sulit sekali menemukan perempuan bersantai, jika pun terlihat umumnya mereka yang usia lanjut.
Bagaimana tuduhan banyak lelaki dari Semende merambah hutan di Bukit Barisan untuk berkebun kopi. Apakah terkait budaya tunggu tubang?
“Itu faktor ekonomi. Itu terjadi ketika harga kopi tidak pernah membaik sejak 2000-an. Sementara kopi merupakan komoditas andalan masyarakat Semende. Justru, kalau tidak ada budaya tunggu tubang mungkin kondisinya jauh lebih buruk,” kata Yenrizal.
“Kalau saya justru berharap para lelaki tidak pergi. Dengan begitu bisa mengurus sawah dan kebun di sini,” tandas Nursiah.
*Nopri Ismi, Mahasiswa UIN Raden Fatah Palembang, Sumatera Selatan, mengikuti pelatihan jurnalistik Mongabay Indonesia di Palembang pada 2017 dan 2018