Mongabay.co.id

Grasi untuk Pembela Petani Surokonto Wetan

Kiai Aziz dan warga Surkonto Wetan tetap berjuang walau dikriminalisasi. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Puluhan warga Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kendal, Jawa Tengah, berkumpul di halaman depan Lembaga Pemasyarakatan Kendal pada 17 Mei lalu. Pagi itu, mereka bersiap menyambut dua petani, Kiai Aziz dan Sutrisno Rusmin. Keduanya masuk penjara lantaran menolak lahan pertanian yang digarap belasan tahun lalu diklaim sepihak oleh Perhutani, sebagai lokasi tukar guling kawasan hutan, Sebagai buntut pembangunan pabrik PT. Semen Gresik, di Rembang.

“Hari ini, keduanya bebas, dapat grasi dari presiden,” kata Zainal Arifin, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Semarang kepada Mongabay.

Zainal, mengatakan, grasi tertuang dalam Putusan Presiden RI No 8/G Tahun 2019, diterima kedua petani Senin, 13 Mei 2019, setelah menjalani hukuman hampir dua tahun.

Sebelumnya, mereka kena hukuman pidana penjara delapan tahun, denda Rp10 miliar. Sejak 31 Maret 2017, mereka ditahan di Lapas Kendal.

Dia bilang, kedua petani pantas mendapatkan grasi mengingat mereka korban kriminalisasi dari karut marut konflik agraria.

Kedua petani Sukoronto Wetan ini, kena tahan dengan tuduhan bersama-sama pakai kawasan hutan tak sah. Aturan itu tertuang dalam Pasal 94 (1) huruf a Undang-undang No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).

Kasus bermula saat Kiai Aziz dan Mbah Rusmin bersama 400 warga menggarap lahan terlantar HGU milik PT Sumurpitu sekitar 127 hektar sejak 1970.

PT Sumurpitu menjual lahan ke PT Semen Indonesia pada 2014. Tak lama kemudian lahan tukar guling oleh Semen Indonesia ke Perhutani. Lahan garapan ratusan petani itu kemudian ditetapkan sebagai kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Setelah vonis dan melakukan berbagai upaya hukum, pada 21 Juni 2018, keduanya mengajukan grasi kepada presiden didukung PBNU, Komnas HAM, YLBHI, LBH Semarang, Walhi Jateng, FNKSDA, jaringan Gusdurian, serta sejumlah aktivis lain.

“Dari kasus Kiai Nur Aziz dan Rusmin ini seharusnya jadi pengingat kepada pemerintah dan DPR segera mencabut UU P3H. Mengingat, banyak sekali pasal-pasal pemidanaan yang sangat berpotensi mengkriminalkan masyarakat di sekitar kawasan hutan,” kata Zainal.

 

Lahan subur di Surokonto Wetan, hutan Perhutani berdekatan dengan lahan pertanian warga. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

***

Siang itu, pintu berbahan kayu dan besi dibuka petugas lapas. Seketika Kiai Aziz dan Rusmin, tampak keluar. Teriakan haru, takbir dan isak tangis berbaur di depan pintu lapas. Anak dan istri Aziz dan Rusmin menyambut mereka. Mengenakan batik biru lengan panjang dan berkopiah hitam Aziz memeluk dan mencium anak-anaknya. Takbir dan pekikan terus bersautan.

Mereka berjalan menuju taman di luar lapas. Tangis haru puluhan warga dan pembela hukum tumpah di taman itu. Bergantian berorasi dan berdoa bersama, sebelum para laki-laki shalat Jumat di masjid seberang taman lapas.

“Habis ini syukuran dan penyambutan di kampung,” kata Nico Wouran, pembela hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang.

Aziz, adalah Ketua Syuriyah MWC Nahdatul Ulama Pageruyung. Dia lega, penantian selama satu tahun berujung pengabulan grasi. “Terima kasih Pak Presiden untuk grasinya dan semua warga maupun pembela hukum yang selalu menemani perjuangan ini,” kata Kiai Aziz.

Dia menyadari, perjuangan bersama warga berbuntut putusan hukum rekayasa. Dia bahkan tak tahu apa perbuatan pidana yang sudah dia lakukan. Aziz tak melanggar apapun. Dia hanya mewakli warga mempertanyakan proses tukar guling lahan pengganti yang berjalan cepat.

Warga menggarap lahan pertanian sejak 1970 di sana yang diklaim milik Perhutani.

“Perhutani, dinas terkait, kepolisian dan lain-lain, kesulitan menjawab pertanyaan saya,” kata Aziz.

Kasus ini, katanya, membuat dia makin semangat membela petani. “Publik tahu, saya tidak melakukan perusakan lahan, tanah tetap ditanam palawija dan tak ada lahan Perhutani dirusak.”

Selama di penjara, katanya, dia gunakan utuk syiar agama. Di lapas, dia diangkat sebagai ketua takmir mesjid. Dia bikin program narapidana bisa mengaji al-Quran. Dia berterima kasih, pada pengurus PBNU pusat, membantu perjuangan dan proses grasi.

“Kini, kami akan fokus mendorong reforma agraia, agar lahan yang diklaim Perhutani segera jadi hak milik warga. Kalau hanya dipenjara sudah risiko. Biasa, perjuangan kami terus berlanjut.”

Aziz berpesan, kepada sesama pejuang rakyat, petani dan lingkungan tetap semangat. “Perjuangan karena Allah SWT, walau kita tak didukung masyarakat, kita didengar dan didukung Allah SWT. Saya mohon niatkan karena Allah, semangat terus, Jangan takut dipenjara.”

Begitu juga Rusmin, bersyukur dan akan berjuang menghidupi warga dan perjuangan petani Surokonto Wetan.

 

Kiai Aziz dan Mbah Rusmin, bebas setelah mendapat grasi Presiden Joko Widodo. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Sejarah konflik lahan

Masyarakat Desa Surokonto Wetan, sudah menggarap lahan perkebunan berpuluh tahun. Kriminalisasi bermula, kala pembangunan pabrik Semen Indonesia di Kecamatan Gunem, Rembang, merencanakan menambang batu kapur sebagai bahan baku semen.

Lahan di Rembang, berada di kawasan hutan, lalu tukar guling lahan di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kendal seluas 125,53 hektar.

Data LBH Semarang, tukar menukar kawasan hutan antara Kementerian Kehutanan dengan Semen Indonesia, lokasi di Rembang, Jateng. Ada keputusan Menteri Kehutanan 25 September 2013, tentang penunjukan hutan produksi tetap (HPT) dari lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan Semen Indonesia di Desa Surokonto Wetan, Kendal.

Panitia tata batas (PTB) Kendal mengesahkan dan menyetujui trayek batas hutan produksi dari lahan penganti kepada Semen Indonesia 30 Oktober 2013. Kemudian, pengukuran dan pemasangan tanda batas oleh Biro Perencanaan Perhutani Jateng.

PTB Kendal mengesahkan hasil dan peta tata batas HPT Kendal dari lahan pengganti Semen Indonesia pada November 2013 seluas 127,821 hektar. SK Menhut dibuat 17 April 2014. Setelah jadi HPT, 26 petani dilaporkan ke Polres Kendal, dengan tuduhan merusak hutan.

“Lahan itu dikelola dan ditanami tanaman musiman oleh warga sejak 1972, dengan pembagian hasil dengan PT Sumurpitu,” kata Nico dari LBH Semarang.

Ceritanya, pada 1952 pemerintah Indonesia membentuk Biro Rekontruksi Nasional (BRN) untuk para veteran atau mantan pejuang yang tak melanjutkan pegabdian di militer.

BRN kemudian atas nama pemerintah Republik Indonesia, 23 Desember 1952, membeli perkebunan milik Belanda Nv Rotterdamsche Cultuur Mashapij dan Nv. Cultuur Mascchapij Satrian seluas 617 hektar, terletak di Kendal.

Ia terdiri atas Afdeling Sumurpitu di Kecamatan Pageruyung (Kendal) sekitar 186 hektar, Afdeling Besokor di Kecamatan Weleri dan Pageruyung, seluas 112 hektar, Afdeling Sekecer di Kecamatan Pageruyung 130 Hektar. Lalu, Afdeling Wringinsari di Kecamatan Sukorejo 103 hektar, dan Afdeling Parakan di Kecamatan Plantungan.

Jual beli itu, kata Nico, tercatat di Notaris RM Surapto di Semarang 23 Desember 1952. Kemudian berdiri PT atau NV Sekecer Wringinsari bertugas mengolah lahan dengan akta notaris RM Soerapto. Ia mendapatkan pengesahan Menteri Kehakiman 11 Juni 1956. Tahun 1965, NV Sekecer Wringinsari dinyatakan terlibat G30S.

Pemerintah, lewat Panglima Militer IV Diponegoro pada 1966 mengeluarkan Surat Keputusan Pangdam VII/Diponegoro dan menetapkan semua perusahan swasta dikuasai Komuved.

Pada peristiwa G30S itu, perkebunan NV Skecer Wringinsari, tak ada aktivitas. Karena kondisi kebun terbelangkalai masyarakat sekitar Afdeling Skecer, beberapa tahun setelah G30S memanfaatkan lahan dengan tanam palawijo seperti, jagung, singkong, dan lain-lain.

Pada 11 Agustus 1966, PT Sumurpitu Wringisari, perusahaan di bawah naungan Yayasan Rumpun Diponegoro (Kodam IV Diponegoro) berdiri. Komuved Jawa Tengah menyerahkan pengelolaan perkebunan pada PT Sumurpitu Wringisari pada 10 Juli 1967. Pengajuan HGU PT Sumurpitu Wringinsari kepada Depdagri Cq. Agraria dan terbit Keputusan Menteri Dalam Negeri 13 Oktober 1972, dengan masa HGU sampai 31 Desember 1997.

Setelah HGU berakhir, Sumurpitu Wringinsari, pada 1998 ajukan perpanjangan sampai 31 Desember 2022.

Penetapan kawasan hutan mulai 12 Maret 2012, lewat surat penawaran bersama penjualan saham PT Sumurpitu Wringinsari, dengan penjelasan lahan perkebunan seluas sekitar 617 hektar.

Semen Indonesia, membeli lahan seluas 400 hektar, termasuk Afdeling Sekecer. Tahun 2013, lahan itu seluas 127.821 hektar, jadi lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan Semen Indonesia melalui Keputusan Menteri Kehutanan 25 September 2013.

Tukar menukar lahan ini, katanya, lanjut dengan keluar Keputusan Menteri Kehutanan pada 2014 tentang penetapan sebagaian kawasan hutan produksi pada bagian hutan Kalibodri 127.821 hektar di Kendal.

Pada 1966, pasca G30S dan ada perintah Pangdam IV Diponegoro mengambil alih beberapa perkebunan termasuk NV Sekecer Wringinsari, warga mulai menggarap lahan.

Lahan di Afdeling Sekecer terlantar penuh semak belukar. Masyarakat sekitar Afdeling Sekecer memanfaatkan lahan. NV Sekecer mulai tanam pertama kali di lahan itu pada 1972.

“Penanaman hanya sampai 1974, lahan ditinggalkan. Lahan terbengkalai penuh semak belukar masyarakat sekitar memanfaatkan menanami palawija, singkong, jagung, dan umbi-umbian,” kata Nico.

Sampai november 2017, warga memanfaatkan lahan.

Sebagian besar pengarap di lahan 127.821 hektar itu tanam jagung. Rata-rata petani dua kali musim tanam dalam setahun dan hasilkan Rp2-Rp3 juta perpetak lahan garapan seluas 1.300 meter persegi. Saat ini, kata Aziz, ada sekitar 455 pengarap.

Adm Perhutani KPH Kendal, Sunarto melaporkan Nur Aziz dan Rusmin karena berbagai upaya diacuhkan.

“Kami tak masalah lahan digarap warga, nanti mekanisme kita rumuskan bersama, yang sama-sama saling menguntungkan,” katanya.

Dia meminta, warga menggugat keputusan penetapan kawasan hutan untuk tukar guling lahan ini. Dia berdalih, hanya pelaksana lapangan, berdasarkan surat keputusan KLHK. “Kalau warga meminta kami mencabut surat, sudah tentu bukan keputusan dan wewenang kami.”

 

 

Apresiasi PBNU pada presiden

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengapresiasi sikap Presiden Joko Widodo yang memberikan grasi kepada kedua petani. Kiai Imam Aziz, Ketua PBNU menilai, pengabulan grasi untuk petani Kendal ini langkah bijak pemerintah dalam menyikapi konflik agraria di Indonesia.

“PBNU mengapresiasi setinggi-tingginya kepada Presiden Joko Widodo mengabulkan permohonan grasi dua petani warga NU Surokonto Wetan Kendal,” kata Imam Aziz kepada Mongabay.

Kedua petani ini, katanya, layak menerima grasi sebagai korban kekeliruan praktik administrasi dan perundang-undangan agraria di Indonesia.

Sebelumnya, Imam Aziz dari PBNU bersama elemen lain, 25 April 2018, menemui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Hamonangan Laoly di Jakarta. PBNU mengajukan pembelaan para petani Surokonto Wetan, Kendal, Jawa Tengah.

 

Lokasi stockpile PT Semen Indonesia di Rembang. Tampak debu begitu pekat. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Zainal Arifin, Direktur LBH Semarang menambahkan, mendesak KLHK menyelesaiakan konflik agraria di Surokonto Wetan. Dia meminta, KLHK meninjau tukar guling untuk kawasan hutan yang merupakan kelola masyarakat Surokonto Wetan.

“KLHK harus segera peninjauan kembali izin tukar guling kawasan hutan, yang berujung kriminalisasi Kiai Aziz dan Rusmin,” katanya.

Roy Murtadho, dari FNKSDA kepada Mongabay mengatakan, grasi kepada kiai Nur Aziz patut disyukuri bersama. “Ini perjuangan semua elemen masyarakat yang menghendaki keadilan bagi petani kecil seperti kiai Nur Aziz dan Mbah Rusmin.”

Kasus keduanya, jadi cerminan dari berbagai konflik lahan di Indonesia.

“Pemerintah harus segera menuntaskan konflik agraria termasuk kasus kriminalisasi lain.”

 

***

Suara rebana dan shalawat menyambut kedatangan Kiai Aziz dan Rusmin, di Surokonto Wetan. Kembang api dan haru isak tangis berbaur menyambut kehadiran mereka.

“Sehat pak? Maaf saya jarang jenguk ke lapas,” kata seorang perempuan sembari menyalami keduanya.

Alhamdulillah, sehat mbah. Njenengan sehat?” balas Aziz.

Kulo sehat.”

Tiba di depan pintu rumah, Aziz disambut anak dan istri. Isak tangis kembali pecah. Mata Aziz berkaca. Dia duduk di kursi ruang tamu. Bergantian warga masuk dan bersalaman, sekaligus mendoakan kebebasan kedua petani itu.

“Saya rindu rumah, pasti nanti rindu para narapidana yang ikut belajar mengaji bersama saya,” kata Aziz.

Kala dia dan Rusmin, bebas, kesedihan juga dirasakan para narapidana di Lapas Kendal. Mereka kehilangan sosok kiai yang mengajarkan toleransi dan agama dengan baik. Nanti, Aziz pun akan menjenguk napi di Lapas Kendal.

 

Keterangan foto utama:  Kiai Aziz (berbatik) dan Kakek Rusmin (kasos garis horizontal) bersama warga Surokonto Wetan tetap berjuang walau dikriminalisasi. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version