Mongabay.co.id

Ijen dan Eksistensi Harimau Jawa yang Dinyatakan Punah

 

 

Harimau jawa alias harimau loreng telah dinyatakan punah. Secara ilmiah, Desember 1996, pada pertemuan CITES [Conservation on International Trade in Endagered Species of Wild Fauna and Flora] di Lauderdale Florida, Amerika Serikat, ditetapkan bahwa Panthera tigris sondaica memang benar-benar tidak ada lagi di alam. Publikasi Toyne and Hoyle [1998] dan Steidenstiker, et al [1999] juga menguatkan pernyataan tersebut. IUCN [International Union for Conservation of Nature] Red List pun menunjukkan status Punah [Extinct].

Bukti lapangan tidak serta-merta mengamini pernyataan tersebut. Suatu spesies dinyatakan punah apabila tidak terekam/terfoto selama dua kali periode masa hidup satwa tersebut. Atau, jika rata-rata umur “Simbah”, biasa masyarakat Jawa menyebut, adalah 25 tahun maka dapat dinyatakan punah 50 tahun kemudian dari temuan foto. Namun, temuan cakaran, feses, jejak, penuturan warga tempatan bahkan opsetan dan foto menegaskan itu semua. Sudah punah kah harimau jawa?

Tanpa perlu memperhatikan foto Hoogerwerf pada 1938, atau foto harimau yang mati oleh pemburu [1957], juga perhitungan Steindenstiker [1974], telaah yang dilakukan Peduli Karnivor Jawa [PKJ] pada 2018 menunjukkan foto sosok harimau jawa di kawasan hutan jati, Jawa Timur.

 

Harimau jawa yang mati diburu pada Mei 1941 di Malingping, Banten. Foto: Wikimedia Commons/Tropenmuseum/H.Bartels

 

Ijen dan harimau jawa

Bicara satwa punah atau dilindungi akan lekat dengan eksistensi habitat. Menurut Sodhi [2011], konservasi satwa bertalian erat dengan konservasi habitat. Jika di kawasan hutan jati dengan vegetasi relatif homogen saja dapat ditemukan harimau jawa, bagaimana dengan kawasan hutan lain yang relatif heterogen. Bahkan, pernah dilaporkan ada temuan satwa ini.

Kawasan hutan taiga, hutan konifer, padang rumput aluvial, hutan desideus, hutan temperet dataran tinggi, hutan tropis basah, hutan tropis kering, dan mangrove adalah habitat yang disukai Harimau Jawa. Beberapa karaktersitik itu ada di kawasan Ijen.

Dalam buku berjudul “Berkawan Harimau Bersama Alam” Didik Raharyono dan E.T Paripurno [2001] memaparkan keterkaitan kuat kawasan Gunung Ijen dengan harimau jawa. Disebutkan, pada 1963 mantan sinder [pengawas kebun] di Jampit pernah menembak mati seekor harimau jawa jantan dari sepasang yang diincar.

Penembakan dilakukan menggunakan umpan kambing yang diikat di pohon. Jika harimau jantan makan umpan, maka sang betina mengawasi sekeliling. Demikian sebaliknya.

Mantan sinder itu menembak mati sang jantan dan menjualnya ke ADM yang merupakan orang Belanda. Dengan hanya menambah 60 Rupiah, mantan sinder itu mampu membeli mobil jeep dan dinobatkan sebagai pribumi pertama yang memiliki mobil di kawasan perkebunan timur Gunung Raung.

 

Harimau jawa yang terpantau di Ujung Kulon tahun 1938. Sumber: Wikimedia Commons/Andries Hoogerwerf (29 August 1906 – 5 February 1977)/Public domain

 

Jalur penghubung

Masyarakat di seputaran Gunung Ijen juga memiliki pengetahuan ekologi tradisional [Traditional Ecological Knowledge/TEK] terkait harimau jawa, yang diturunkan antargenerasi. Masyarakat mampu mendeskripsikan harimau jawa sebagai satwa dengan ukuran tubuh sebesar kuda atau juga pedet [anakan sapi]. Hasil investigasi Tim Pembela dan Pencari Fakta Harimau Jawa [TPPFH] pada 1999, menyatakan jelas Gunung Ijen adalah habitat harimau jawa.

Didik Raharyono dari Peduli Karnivor Jawa [PKJ] saat saya hubungi melalui aplikasi WhatsApp menjelaskan, Ijen sangat menarik. Kawasan ini merupakan penghubung jalur harimau jawa dari Maelang – Gunung Suket – Jampit – Raung. Bahkan lebih luas, kawasan Ijen sebagai penghubung populasi karnivora Baluran – Meru Betiri via Maelang – Merapi – Ijen – Jampit – Raung – Gumitir – Betiri.

Catatan laporan penampakan harimau jawa di Ijen, pada 1998, dilihat oleh anggota HIPABA di Kalipait sisi barat Paltuding, ketika berjemur di Sungai Kalipait yang hangat. Pada 1999, terdapat laporan penampakan harimau jawa di Merapi Ungup-Ungup. Terbaru 2018, anggota Hipaba datang ke PKJ Cirebon untuk meminjam kamera trap, ada informasi keberadaan harimau jawa di utara Merapi Ungup Ungup – Maelang.

 

Seorang pemburu berpose di samping kulit harimau yang ditembaknya. Foto di Kalitapak Duwur, Jawa, 15 September 1915. Foto: Wikimedia Commons/Tropenmuseum/Creative Commons

 

Kawasan terancam

Kawasan Ijen sebagai suspect habitat harimau jawa terus mengalami degradasi dan penyempitan gerak akibat perubahan fungsi. Selain ancaman aktivitas perburuan, juga dari pertanian dan pariwisata.

Merujuk SK 27/MENLHK-SETJEN/KSA.0/1/2019, tim terpadu bentukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tengah melakukan penelitian usulan perubahan fungsi pokok kawasan hutan dari Cagar Alam Kawah Ijen Merapi Ungup Ungup menjadi kawasan Taman Wisata Alam [TWA]

Harapannya, luas TWA Kawah Ijen 92 hektar bertambah menjadi 348,289 hektar. Sekitar 256,289 hektar rencananya mencaplok sebagian Cagar Alam Kawah Ijen Merapi Ungup-Ungup.

Jika dikembalikan amanat UU No 5 Tahun 1990, aktivitas yang diperbolehkan di cagar alam terbatas pada penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan lain yang menunjang budidaya. Jika konsep ini konsisten dijalankan, sangat bermanfaat dalam penjagaan ekosistem termasuk perlindungan habitat harimau jawa.

Sementara, dalam kawasan TWA aktivitas manusia akan makin kompleks karena ada pariwisata dan rekreasi alam. Artinya, kawasan eksositem semakin tidak restricted yang sangat merugikan upaya konservasi.

Kembali pada harimau jawa, area perubahan fungsi kawasan yang diutamakan adalah wilayah yang sama dengan data temuan harimau di kawasan Ijen. Kondisi ini jelas akan semakin mempersempit gerak atau homerange harimau jawa. Untuk jantan saja memerlukan ruang gerak sekitar 100 kilometer persegi atau 10.000 hektar. Sementara betina, sekitar 50 kilometer persegi atau 5.000 hektar.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan c.q BBKSDA Jawa Timur, sebagai penerima amanat konservasi keragaman hayati Indonesia seharusnya gembira dengan kabar adanya eksistensi harimau jawa di kawasan hutan jati di Jawa. Sementara kawasan Ijen dengan ekosistem yang lebih heterogen, pastinya lebih kaya akan mangsa harimau jawa sehingga memiliki harapan besar sebagai habitat. Artinya, kawasan ini perlu dijaga, diawasi, dan dilindungi.

 

* Ihsannudin. Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pertanian Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Malang, dan Dosen PNS Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan. Tercatat sebagai Kader konservasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tulisan ini opini penulis

 

 

Exit mobile version