Mongabay.co.id

Berkenalan Dengan  Siwalan, Tanaman Serbaguna

 

Tur Khamun duduk di gubuk seluas 3 kali 2 meter persegi. Di meja di hadapannya dia menjajakan dagangan miliknya, yaitu legen, buah siwalan, dan gula merah. Ketiga produk tersebut merupakan hasil olahan tanaman siwalan yang ia petik sendiri.

Satu-persatu pembeli berdatangan menghabiskan jualannya. Meskipun saat itu jualannya habis, Tur Khamun mengaku penghasilanya menurun dibanding dua atau tiga bulan sebelumnya. Hal itu dikarenakan bulan ini sudah memasuki musim hujan.

baca : Kembalikan Kejayaan Kelapa Dalam, Kabupaten Gorontalo Siap Moratorium Sawit

 

Petani pohon siwalan saat melintas dengan latar belakang pohon siwalan yang mulai berkurang karena alih fungsi lahan menjadi pemukiman dan pabrik-pabrik di Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Abdul Haris, petani pohon siwalan saat memanen air sari pohon siwalan dengan menggunakan betek di Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Musim hujan penghasilan cenderung sepi dibandingkan saat musim kemarau. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Memasuki musim hujan, produktivitas pohon siwalan menurun dibandingkan saat musim kemarau. Pohon siwalan miliknya menjadi tidak banyak mengeluarkan air nira. Hal tersebut berpengaruh terhadap hasil olahan siwalan yang ia jajakan menjadi berkurang.

“Saat musim hujan pohon siwalan waktunya berbunga, akarnya baru mulai tumbuh lagi. Hari ini baru dapat Rp25 ribu, kalau bulan-bulan ini penghasilan menurun karena memasuki musim hujan”, kata lelaki berkulit sawo itu.

Dia menegaskan, hal ini bisa berlangsung sampai lima bulan mendatang. Menyesuaikan dengan selesainya musim hujan.

baca juga : Ternyata Kelapa Bisa Dibuat Kopyor Semua dalam Satu Pohon, Bagaimana Caranya?

 

Petani memanjat pohon siwalan untuk memanen air sarinya di Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Pohon dengan ketinggian 15-30 meter tersebut termasuk jenis pohon yang multifungsi, namun keberadaanya semakin berkurang seiring perubahan zaman. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Tur Khamun, (52), usai memanen air sari pohon siwalan di perkebunan yang disewanya di Paciran, Kabpaten Malang, Jawa Timur. Legen air sari pohon siwalan tersebut harus di panen dua kali dalam sehari. Foto: Falahi Mubarok/ Indonesia

 

Selain itu, disaat musim hujan. Menurut Tur Khamun, legen yang merupakan air nira sari dari pohon siwalan tersebut rasanya kurang manis karena akarnya bercampuran air hujan. Pada saat yang sama harganya juga mengalami penurunan.

Berbeda dengan musim kemarau. Saat panen, saban harinya dia bisa mendapatkan 25 betek (tempat legen yang terbuat dari bambu), atau setara dengan 50 botol air mineral ukuran 1,5 liter.

“Kalau musim kemarau harga per botol air mineral 1,5 liter itu harganya antara Rp9.000 sampai Rp10.000. Kalau musim hujan ini turun menjadi Rp8.000, karena rasanya tidak manis seperti saat musim kemarau”, imbuh lelaki berumur 52 tahun tersebut.

Legen merupakan air nira yang keluar dari pohon Siwalan melalui tangkai tandan bunga yang dipotong kemudian disadap. Tangkai tandan bunga ini oleh masyarakat sekitar disebut dengan wolo. Ngunduh tetese wolo dalam bahasa daerah setempat yang berarti aktivitas memungut tetesan nira dari tangkai tandan bunga siwalan.

menarik dibaca : Menikmati Tanaman ‘Berbicara’ di Kebun Raya Bedugul Bali

 

Air sari pohon siwalan saat selesai dipanen. Masyarakat setempat menyebutnya dengan sebutan legen, merupakan minuman tradisional yang mempunyai manfaat untuk menyembuhkan beberapa penyakit, termasuk memperbaiki fungsi ginjal. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Petani menjual air siwalan usai dipanen. Tanaman siwalan merupakan tanaman multifungsi, semua bagian dari tanaman ini bisa dimanfaatkan. Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Tanaman Multifungsi

Di sepanjang jalur pantai utara Jawa Timur, seperti Gresik, Lamongan, dan Tuban banyak ditemukan tanaman siwalan. Tanaman jenis palma ini bernama latin Borrasus flabellifer.

Berbatang tunggal, mempunyai ketinggian 15-30 m. Diameter batang melingkar kurang lebih 60 cm.

Daunnya berukuran besar, terkumpul di ujung batang membentuk tajuk yang membulat. Helaian daun serupa kipas bundar, berdiameter hingga 1,5 m, bercangap sampai berbagi menjari, dengan tajuk anak daun selebar 5–7 cm, sisi bawahnya keputihan oleh karena lapisan lilin.

Tangkai daun mencapai panjang 1 m, dengan pelepah yang lebar dan hitam di bagian atasnya, dan sisi tangkai dengan deretan duri yang berujung dua. Buah siwalan tumbuh bergerombol dalam tandan, hingga sekitar 20 butir, berkulit keras, bulat peluru berdiameter 7–20 cm. Warna kulitnya hijau tua hingga hitam kecokelatan.

 

Petani mempersiapkan diri sebelum memanen sari pohon siwalan di gubuk miliknya di Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Pembeli legen air sari pohon siwalan mendatangi langsung ke petani di Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Saat musim hujan, per botol 1,500 liter harga turun menjadi Rp8.000 ribu. Dibandingkan musim kemarau, harga antara Rp9.000-Rp10.000. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Tak hanya di kawasan pantura, tanaman ini juga banyak ditemukan di banyak daerah lazim ditemukan di kawasan Asia Tenggara. Namanya beragam namun mirip, seperti lonta (Minangkabau), ental (Sunda, Jawa, Bali), taal (Madura), dun tal (Sasak), jun tal (Sumbawa), tala (Sulawesi Selatan), lontara (Toraja), lontoir (Ambon), manggita, manggitu (Sumba), dan tua (Timor).

Dalam bahasa Inggris tumbuhan ini disebut palmyra palm, toddy palm, atau sugar palm. Jacqueline M Piper, dalam bukunya, Fruits of South-East Asia – Facts and Folklore (1989), menyebut nama sea apple untuk buah tumbuhan ini. Sekian nama lokal ataupun nama dalam bahasa asingnya itu, dipersatukan oleh nama ilmiah yang berlaku internasional, Borassus flabellifer, L.

Tanaman siwalan merupakan tanaman multifungsi, semua bagian dari tanaman ini bisa dimanfaatkan. Selain buah dan air nira untuk dikonsumsi, daunya bisa digunakan untuk kerajinan tangan. Dulu, daun lontar juga dijadikan media penulisan naskah lontar. Sedangkan kayunya juga berserat, memiliki kualitas baik.

Beberapa pustaka menjelaskan, tanaman lontar atau siwalan berasal dari India, lalu kemudian menyebar ke beberapa Negara seperti Papua Nugini, Afrika, Australia, Asia Tenggara, dan Asia Tropis. Tanaman ini mampu tumbuh di daerah yang kering.

 

Nasik (35), salah satu petani pohon siwalan saat mengupas kulit buah siwalan untuk dijual di pinggir jalan di Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Ia mengaku saat ini permintaan buah siwalan maupun sari buahnya meningkat, namun persediaan menipis karena musim hujan. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Di Madura, Jawa Tengah dan Jawa Timur luas areal perkebunan siwalan mencapai 15.000 ha dengan populasi 500.000 tanaman. Di pesisir utara Lamongan sendiri masih banyak dijumpai pohon siwalan, utamanya di Kecamatan Paciran.

Ihsan, salah satu petani lainnya di Paciran memiliki cerita lain tentang penyebaran pohon siwalan berdasarkan cerita turun-temurun.

Konon, menurut cerita yang ia dapatkan, dahulu ada kapal dagang dengan membawa buah siwalan yang tenggelam di laut jawa. Hingga akhirnya buah-buah tersebut tercecer hingga di Pesisir Lamongan, lalu tumbuh subur.

 

Seorang ibu membuat gula jawa dari bahan air pohon siwalan di Paciran, Lamongan, Jawa Timur. Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Perlu perhatian pemerintah daerah

Menurut Ihsan, kondisi tanaman siwalan saat ini berbeda dengan dahulu. Pohon berumur ratusan tahun itu terus mengalami penurunan karena ditebangi untuk pemukiman dan pabrik-pabrik.

“Dulu pada tahun 90’an lebih banyak, sekarang ini tinggal sekitar 25 persen tersisa”, ujar pria kelahiran tahun 1968 yang hampir setengah abad berprofesi sebagai petani siwalan tersebut.

Hal ini rupanya belum menjadi perhatian Pemerintah Daerah. Padahal menurut beberapa catatan hasil olahan tanaman siwalan ini memiliki banyak khasiat. Kandungan air nira siwalan dapat membantu memperbaiki fungsi ginjal dan dapat digunakan sebagai isotonik memulihkan cairan tubuh. Bagian buah siwalan yang sudah tua bisa digunakan sebagai obat kulit atau dermatitis.

Menurutnya, sejauh ini belum ada fasilitas yang dapat membantu aktivitas petani siwalan. Atau upaya untuk memberikan bantuan berupa alat-alat yang dapat menunjang kegiatan panen, atau membuat gula dari air legen.

“Pernah dulu dikumpulkan di balai Kecamatan, pemerintah inginya langsung produk sudah jadi kemasan. Sementara itu tidak ada pendampingan bagaimana pengembangan hasil pohon siwalan ini kedepan”, ujarnya.

Dia berharap kedepan Pemerintah Daerah kembali memperhatikan petani-petani siwalan untuk mengembangkan hasil dari pohon siwalan untuk dijadikan berbagai jenis olahan selain untuk sirup dan gula yang sudah dikembangkan oleh para petani siwalan di pesisir Lamongan. “Barangkali nanti bisa dikirim sampai luar negeri seperti Malaysia dan Singapura”, ujarnya berharap.

 

Seorang ibu membuat gula jawa dari bahan air pohon siwalan di Paciran, Lamongan, Jawa Timur. Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Sebagai Media Naskah Prasasti

Dwi Cahyono, dosen Sejarah Universitas Negeri Malang (UM) punya catatatan lain. Menurutnya, sampai saat ini daun lontar masih digunakan sebagai penyalinan naskah prasasti, atau dinamakan dengan proses Timulat. “Di beberapa tempat masih berlaku. Orang orang tertentu seperti di Bali, Sulawesi Selatan, dan Lombok daun lontar masih digunakan walaupun masih terbatas”, ucap Dwi.

Lanjutnya, orang-orang zaman dahulu sebelum ada kertas menulis dan menggambarnya menggunakan media daun lontar. Hanya saat ini sudah mengalami perubahan posisi konsonan. Dulu, di zaman kerajaan-kerajaan daun lontar digunakan untuk media penulisan naskah maklumat raja, atau keputusan resmi ripta prasasri , selain itu juga digunakan sebagai kepenulisan naskah sastra. “Hanya saja prosesnya tidak praktis seperti kertas,” imbuhnya.

Namun, untuk kualitas Dwi mengatakan. Daun lontar usianya bisa lebih awet daripada kertas, usianya bisa puluhan sampai ratusan tahun. Itu tergantung perawatan. Diapun berpendapat “Bisa saja daun lontar digunakan sebagai media penulisan alternatif, hanya saja saja prosesnya tidak praktis seperti kertas,” tutup sejarawan yang sekaligus arkeolog tersebut.

 

Exit mobile version