Mongabay.co.id

Pembalakan Liar Masih Ancaman Utama Hutan Leuser

 

 

Pembalakan liar masih terjadi di Kawasan Ekosistem Leuser di Provinsi Aceh, di areal seluas 2,25 juta hektar. Wilayah yang dirambah berada di Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL], Suaka Margasatwa Rawa Singkil, hutan lindung, hingga hutan produksi.

Kayu-kayu hasil curian itu, damar maupun merbau, tidak hanya diedarkan di dalam provinsi tetapi juga dijual ke pabrik pengolahan kayu di Sumatera Utara.

T. Fahlevi, Koordinator Lapangan Forum Konservasi Leuser [FKL] menyebutkan, pembalakan liar yang terjadi ini merupakan rahasia umum yang telah berlangsung lama. Kayu ilegal yang dijual ke Sumatera Utara berasal dari wilayah yang berdekatan provinsi tersebut yaitu Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Subulussalam, dan Kabupaten Aceh Selatan.

“Beberapa pelaku sudah ditangkap, namun hukumannya rendah, kurang 1,5 tahun penjara. Tidak memberi efek jera kepada pelaku dan orang lain,” urainya, Selasa [11/6/2019].

Baca: Laporan RAN: Pembukaan Lahan Seluas 245 Hektar Terjadi di Kawasan Ekosistem Leuser

 

Pembalakan liar yang terus berlangsung di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Fahlevi mengakui, selama ini pelaku yang ditangkap hanya pekerja lapangan. Pemodal tidak pernah tersentuh hukum sehingga kegiatan haram ini tetap berlangsung. Pemodal akan mencari pekerja lain sambil menunggu pekerja yang tertangkap keluar penjara.

“Yang harus diingat, kayu bernilai ekonomi tinggi seperti damar, merbau, seumantok itu, umumnya berasal dari hutan lindung atau hutan konservasi. Kayu-kayu tersebut tidak ditemui di kebun masyarakat atau hutan berstatus areal penggunaan lain. Tapi jenis itu masih ditemui di tempat-tempat penjualan kayu, bahkan dipasok ke Sumatera Utara,” ungkapnya.

Fahlevi mengungkapkan, hasil monitoring FKL pada 2018 menunjukkan, ada 2.418 kasus pembalakan liar dengan jumlah kayu yang disita mencapai 4.353,81 meter kubik.

“Kabupaten tertinggi adalah Aceh Selatan [473 kasus], Aceh Tamiang [477 kasus], dan Aceh Timur [337 kasus]. Hal ini melengkapi kasus deforestari yang terjadi di Kawasan Ekosistem Leuser pada 2016 [10.348 hektar], 2017 [7.066 hektar], dan 2018 [5.685 hektar],” jelasnya.

 

Penebangan liar di Lamteuba, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tersebar

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh, Muhammad Nur mengatakan, untuk keseluruhan hutan Aceh, pada 2018, praktik pembalakan liar terjadi di 17 kabupaten/kota.

“Kejahatan ini marak akibat lemahnya penegakan hukum. Padahal, selain undang-undang tentang perlindungan hutan, Aceh juga memiliki peraturan daerah atau qanun yang mengatur kehutanan, yaitu Qanun Nomor 7 tahun 2016,” jelasnya.

Muhammad Nur menambahkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] telah membentuk Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan [Ditjen Gakkum LHK], tapi di Aceh, lembaga ini tidak pernah terdengar melakukan penertiban.

 

Kayu hasil tebangan di hutan diangkut keluar. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Aceh juga merekrut personil pengaman hutan atau pamhut beserta polhut. Mereka harus bekerja lebih serius menjaga hutan di wilayah kerja masing-masing. “Hutan harus dilindungi dari kegiatan merusak yang nyata,” ujarnya.

Catatan Walhi Aceh menunjukkan, akibat pembalakan dan perambahan, Kabupaten Aceh Tenggara sering diterjang banjir bandang. “Pada 2018, terjadi dua kali banjir bandang dan satu kali awal 2019. Ini akibat pengrusakan hutan yang terus terjadi,” ujar Muhammad Nur.

Syahrul, pegiat lingkungan di Aceh, berharap Ditjen Gakkum LHK segera membongkar segala bentuk kejahatan hutan yang ada. “Mereka harus di depan, kasus yang ditangani harus dibawa ke pengadilan,” ungkapnya.

 

Kayu ilegal yang diambil di hutan Leuser disita pihak Kepolisian. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh, Syahrial, mengakui pembalakan liar masih terjadi di sejumlah daerah. Personil Dinas LHK Aceh melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan [KPH] terus bekerja menghentikan kegiatan liar ini.

“Patroli rutin telah dilakukan polisi hutan maupun tim pengaman hutan [pamhut] di sejumlah KPH di Aceh, juga bekerja sama dengan penegak hukum,” jelasnya, Kamis [13/6/2019].

Menurut Syahrial, ketika patroli dilakukan, pembalakan berhenti sebentar. Setelah itu muncul. Personil Dinas LHK sering kewalahan menghadapi pelaku. “Menghentikan pembalakan liar butuh komitmen semua pihak, khususnya petinggi-petinggi lembaga penegak hukum. Tindakan tegas harus dilakukan, komitmen harus ditunjukkan dengan perbuatan,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version