Mongabay.co.id

Pendakian Rinjani Dibuka, Bagaimana Soal Mitigasi Bencana?

Pemandangan sisi selatan Gunung Rinjani. Jalur selatan ini meliputi Timbanuh dan Tetebatu (Lombok Timur), Aik Berik dan Lantan (Lombok Tengah). Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Setelah gempa bumi 29 Juli 2018, pendakian ke Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat, ditutup. Hampir setahun, pada 14 Juni 2019, pendakian ke gunung ini resmi buka lagi.

Belen Satriawan, mulai rajin memposting tentang pendakian Gunung Rinjani. Postingan foto lama Puncak Rinjani, suasana kemah di Danau Segara Anak, pemandangan Rinjani dari berbagai jalur memenuhi beranda Facebook pemilik travel “Lombok Pirates” ini.

Sejak mulai terdengar rencana pembukaan pendakian Rinjani, dia berulang kali memposting foto pendakian ke gunung ini. Sebagai pelaku usaha pariwisata berbasis digital, Belen mengandalkan media sosial dalam mempromosikan paket liburan ke Lombok.

Baca juga : Dampak Gempa 6,4 SR di Lombok: 16 Meninggal dan Ratusan Pendaki Rinjani Terjebak

Dia mulai aktif mempromosikan pendakian Rinjani sejal awal 2019, ketika rencana pembukaan pendakian pada Maret 2019. Bahkan, ketika Badan Geologi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) survei pada Maret itu, Belen sudah mulai menyiapkan perlengkapan.

Beberapa tamu mulai menghubungi. Gempa pada 17 Maret 2019, kembali mengubur keinginan Belen, dan ratusan pelaku usaha pariwisata soal pendakian Rinjani. Gempa berkekuatan 5,8 SR membuat tim survei terpaksa menghentikan aktivitas mereka. Gempa juga memakan korban jiwa, dua wisatawan Malaysia dan satu pemandu lokal tewas tertimpa reruntuhan bebatuan di air terjun Tiu Kelep, Senaru, Lombok Utara, salah satu pintu masuk pendakian.

Sepanjang Maret-Mei, banyak desakan dari pelaku pariwisata agar pendakian Rinjani kembali dibuka. Hampir semua perwakilan asosiasi pariwisata yang berkepentingan meminta Dinas Pariwisata NTB dan BTNGR membuka pendakian Rinjani. Puncaknya, setelah Lebaran Idul Fitri, 5 Juni 2019, survei lagi.

Baca juga :  Pasca Gempa, Sistem Baru Pendakian Rinjani Bakal Berlakukan Kuota dan Monitoring. Seperti Apa?

BTNGR resmi membuka jalur pendakian Rinjani melalui empat pintu pendakian, yaitu Sembalun (Lombok Timur), Timbanuh (Lombok Timur), Senaru (Lombok Utara), dan Aik Berik (Lombok Tengah).

“Mempertimbangkan keamanan dan kenyamaman pendakian hanya dibatasi sampai Pelawangan, tak diperkenankan menuju puncak dan Danau Segara Anak,’’ kata Sudiyono, Kepala BTNGR.

BTNGR juga membatasi kuota pendakian. Jalur Sembalun dan Senaru, dibatasi 150 orang per hari. Jalur Timbanuh dan Aik Berik 100 orang per hari. Kondisi tanah sepanjang jalur pendakian berubah setelah gempa berkali-kali. Membatasi pendaki setiap hari, salah satu bentuk kewaspadaan. Sebelum gempa, pendakian bisa ribuan setiap hari.

 

Seorang pendaki berdiri di Pelawangan Timbanuh, Kecamatan Pringgasela, Lombok Timur. Jalur ini, salah satu pintu masuk pendakian, hanya bisa menjangkau Danau Segara Anak, itupun dengan melewati jalur berbahaya. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Hasil survei

Hasil survei PVMBG, KESDM Maret 2019, menyebutkan, jalur pendakian Sembalun-Pelawangan, terletak pada zona potensi gerakan tanah menengah sampai tinggi. Potensi gerakan tanah menengah adalah daerah yang mempunya potensi menengah terjadi gerakan tanah. Pada zona ini, dapat terjadi gerakan tanah kalau curah hujan di atas normal. Terutama, daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan atau lereng mengalami gangguan.

Sedangkan potensi gerakan tanah tinggi adalah daerah potensi tinggi gerakan tanah. Pada zona ini, katanya, dapat terjadi gerakan tanah kalau curah hujan di atas normal. Untuk gerakan tanah lama dapat aktif kembali. Buat jalur pendakian yang ada retakan dan longsoran kebanyakan muncul di zona potensi gerakan tanah tinggi.

Dalam laporan itu disebutkan, jenis gerakan tanah terjadi adalah retakan dan nendatan pada permukaan tanah. Longsoran dan runtuhan atau jatuhan batu dijumpai pada tubuh Gunung Rinjani dan hampir sepanjang jalur pendakian Pelawangan Sembalun mulai sebelum pos III sampai titik awal Pelawangan.

Longsoran besar dan retakan dijumpai di jalur pendakian sebelum pos III dengan koordinat lokasi di 8°22’19.28″ LS, 116°27’39.96″BT.

Retakan-retakan yang dijumpai memiliki lebar antara 5-20 cm dengan arah umum barat-timur. Longsoran ini cukup panjang hingga ke dasar sungai. Dari Pos IV Bukit Penyesalan hingga Pelawangan, retakan dijumpai selebar 5-30 cm dengan arah umum barat daya-timur laut sampai barat timur.

Selain retakan, pada jalur pendakian menuju Pelawangan Sembalun juga dijumpai nendatan akibat longsoran ke lereng ke arah timur laut. Longsoran ini membuat retakan dan nendatan ke arah punggungan pada jalur pendakian. Longsoran juga terjadi pada tebing-tebing di sekitar jalur pendakian Pelawangan Sembalun. Terdapat beberapa tubuh longsoran dengan arah umum gerakan barat daya-timur laut.

Pada jalur Pelawangan Sembalun, retakan dijumpai mulai awal Pelawangan sampai persimpangan menuju danau kawah dan ke arah Puncak Gunung Rinjani. Arah retakan di Pelawangan Sembalun ini relatif barat-timur dan memotong jalur pendakian. Ia berpotensi memutus jalur pendakian kalau retakan terus berkembang jadi longsoran. Retakan intensif pada jalur pendakian Pelawangan II. Terlihat retakan-retakan membentuk kompleks retakan berarah umum utara-selatan dengan lebar mencapai 15 meter dan panjang 50 meter. Kondisi ini, katanya, retakan masih berpotensi bertambah dan berkembang kalau terpicu goncangan gempa bumi atau curah hujan tinggi hingga sangat membahayakan.

 

Kabut turun menyelimuti Danau Segara Anak, dan menutup Gunung Baru Jari. Foto diambil dari jalur pendakian Tetebatu. Tidak ada kerusakan di jalur ini akibat gempa. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Longsoran juga terjadi di jalur Pelawangan menuju Puncak Rinjani. Longsoran ini mengakibatkan tarikan pada permukaan tanah di sebelah timur hingga terbentuk retakan dengan arah umum relatif utara selatan. Longsoran juga menutup sumber mata air di Pelawangan, hingga menyebabkan tak ada sumber mata air lagi di daerah itu. Jalur menuju sumber mata air tak memungkinkan dilalui karena area longsoran cukup besar kalau gempa atau curah hujan tinggi sangat membahayakan.

Kalau longsoran dan retakan dampak tarikan ini terus berkembang akan mengancam jalur pendakian di sebelah timur tubuh longsoran.

Saat survei jalur pendakian 17 Maret 2019, kembali terjadi gempa bumi dengan magnitude 5,8 SR yang diikuti dengan gempa bumi susulan cukup sering.

Dampak gempa bumi, di Pelawangan, kembali muncul retakan satu sampai tiga cm berarah barat daya-timur laut. Terjadi banyak longsoran di daerah yang sudah longsor dampak gempa bumi . Longsoran menuju ke lembah di bawah tebing longsor. Ia Iongsoran lama yang aktif kembali terpicu guncangan gempabumi.

Di jalur tanjakan Bukit Penyesalan, menuju Pelawangan, muncul beberapa retakan baru dengan lebar satu sampai lima cm dan longsoran mengakibatkan jalur pendakian terputus dan tak dapat digunakan kembali. Hasil survei Maret 2019 itulah yang jadi dasar penutupan pendakian Gunung Rinjani.

Sebelum jalur pendakian buka resmi 14 Maret, PVMBG, BTNGR, dan masyarakat sudah survei lima kali. Hasil survei inilah yang menguatkan jalur pendakian Rinjani, sudah aman.

Sudiyono mengingatkan, walaupun sudah resmi buka, para pelaku usaha pendakian dan wisatawan harus memperhatikan tiga rambu dipasang.

Pertama, rambu berwarna merah. Di rambu ini tak boleh berlama-lama, dan jalur itu satu-satunya yang bisa dilalui. Tak boleh mengambil risiko mencari jalur alternatif. Rambu kedua, berwana kuning, artinya boleh bertahan sesaat tetapi tak boleh berlama-lama. Ketiga, berwarna biru, artinya di tempat itu aman dan bisa untuk berkemah.

“Ini harus diperhatikan,’’ katanya.

Di luar empat jalur, BTNGR tak merekomendasikan. Walaupun pantauan Mongabay, salah satu jalur yang ramai dikunjungi setelah Idul Fitri adalah jalur Tetebatu (Lombok Timur). Jalur ini masih satu garis dengan Timbanuh. Tetebatu ini belum jadi jalur resmi. Begitu juga jalur Torean (Lombok Utara), sering jadi jalur pendakian tetapi bukan jalur resmi.

Jayadi, trekking organizer (TO) biasa membawa tamu dari jalur Timbanuh dan Tetebatu. Sejak rencana pembukaan pendakian Rinjani dia juga aktif mempromosikan paket pendakian. Dia berulang kali memposting foto jalur Tetebatu menuju puncak Bukit Kondo. Warga Tetebatu menyebut puncak itu dengan sebutan Sangkareang.

Dari Puncak Kondo ini, terlihat Danau Segara Anak dan Gunung Baru Jari. Pemandangan dari sisi selatan Puncak Rinjani ini juga menawarkan pemandangan landscape tengah dan selatan Lombok. Hanya, dari jalur ini, tak bisa turun ke Danau Segara Anak.

 

Jalur Tetebatu didominasi oleh pepohonan yang lebat. Pendakian lebih pendek. Tapi sayangnya jalur ini bukan jalur resmi. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

Benahi pengelolaan Geopark Rinjani

Pada 30 Agustus-6 September 2019, Lombok akan jadi tuan rumah The 6th Asia Pacific Geoparks Network (APGN) Symposium. Acara yang digelar Unesco Global Geopark ini sangat berarti bagi Lombok, yang pada April 2019 ini genap setahun Rinjani ditetapkan sebagai Global Geopark. Tema tahun ini juga tentang mitigasi bencana, tema yang sangat tepat dengan kondisi Lombok yang didera bencana gempa sejak 29 Juli 2018, di mana daerah terdampak adalah daerah-daerah di kaki Rinjani. Hampir semua Geosite Global Geopark terdampak gempa.

“Ini harusnya juga jadi evaluasi bagi semua stakeholder di kawasan Rinjani, apakah benar-benar siap atau tidak,’’ kata Kusnadi, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) NTB.

Kusnadi yang pernah studi banding ke Geopark Langkawi, Malaysia, menilai pengelolaan Geopark Rinjani masih sangat tertinggal jauh. Tak semata dari sisi fasilitas, juga kelembagaan pengelola. Pada Geopark Rinjani, badan pengelola memiliki previlise, tetapi tidak memanfaatkan. Terkesan, badan pengelola hanya sebagai persyaratan administratif ketika pengusulan Geopark Rinjani.

“Sampai saat ini peraturan untuk kelembagaan geopark saja belum tuntas,’’ katanya.

Selain itu, dalam APGN 2019 akan ada kunjungan ke beberapa lokasi geosite. Kalau dikaitkan dengan tema kali ini tentang mitigasi, semestinya sudah ada kesiapan sarana dan prasarana di masing-masing lokasi. Pengalaman ketika gempa sejak Juli-Agustus 2018, prosedur standar operasi evakuasi di sekitar geosite tak ada. Bahkan, pada Maret 2019, wisatawan asing tewas di salah satu geosite saat liburan.

Pantauan Mongabay ke beberapa geosite yang tercakup dalam Geopark Rinjani, masih minim informasi kalau ada bencana. Tidak semua tersedia petunjuk evakuasi. Selain itu, tak ada petugas yang sewaktu-waktu mengarahkan jika ada terjadi bencana. Wisatawan yang datang benar-benar buta kalau berkunjung ke geosite dan terjebak bencana.

“Beberapa fasilitas dibangun di geosite itu adalah anggaran titipan geopark di dinas-dinas,’’ katanya.

Kusnadi bilang, mestinya kelembagaan Geopark Rinjani itu bukan sekadar titipan anggaran dinas, tetapi lembaga ini yang “menyetor” anggaran ke kas daerah. Caranya, kelembagaan Geopark Rinjani jadi mandor di geosite-geosite, bekerjasma dengan masyarakat. Hasilnya, bisa jadi pemasukan bagi daerah.

“Selama ini, yang dikelola hanya air terjun, itupun oleh masyarakat. Entah apakah ada masuk ke daerah atau tidak,’’ kata pria yang akrab disapa Bang Kus ini.

Sejak tahun lalu jadi Global Geopark Rinjani, Bang Kus belum melihat perubahan berarti, baik dari fasilitas apalagi kelembagaan. Bang Kus menyayangkan, kalau badan pengelola harian geopark hanya sebatas berkomentar di media, di lapangan, kelembagaan masih lemah. Semua geosite yang jadi potensi geopark, masih dikelola seperti jauh sebelum pengusulan Rinjani sebagai geopark dunia.

“Sekarang kondisi badan pengelola ini sangat bergantung anggaran pemerintah. Padahal, mereka sebenarnya yang punya wilayah.”

Kritikan juga datang dari masyarakat adat. Tokoh masyarakat adat Bayan, Rianom meminta, perlu ada evaluasi terhadap tata cara pendakian ke Rinjani. Selama ini, dia melihat pengelola hanya melihat dari sisi ekonomi dengan melupakan tata krama pendakian. “Melupakan nilai-nilai adat.”

Bagi masyarakat adat, Rinjani adalah tempat sakral dan harus memerhatikan tata krama sebelum mendaki. “, Dulu sebelum mendaki orangtua kita melakukan ritual, berdoa. Sekarang naik semau-maunya,’’ katanya.

Bagi masyarakat adat Bayan, bencana gempa bumi bagian dari peringatan Sang Pencipta. Manusia, telah berbuat kerusakan di bumi, salah satunya, melukai Rinjani. Pariwisata massal ke gunung itu, mengubah Rinjani jadi tempat penimbunan sampah.

Setiap ada operasi pembersihan gunung, berton-ton sampah turun dari Rinjani. Yang membuat masyarakat adat miris, banyak sampah itu berupa botol minuman keras.

“Rinjani telah dikotori,’’ katanya.

Beberapa kali tokoh masyarakat adat menyampaikan agar ke depan pendakian Rinjani perlu juga mengikuti norma-norma masyarakat adat. Mulai cara berpakaian, aktivitas di gunung, hingga barang yang dibawa.

Bagaimana pun juga pintu pendakian Rinjani di Senaru (Kecamatan Bayan, Lombok Utara) dan Sembalun (Lombok Timur) melewati wilayah masyarakat adat setempat.

Di Sembalun, beberapa kelompok masyarakat juga bereaksi terhadap pembukaan pendakian, bahkan pada aktivitas pariwisata. Masyarakat Sembalun yang mayoritas Muslim, meminta aktivitas pariwisata memperhatikan norma-normal Islam, misal, soal rencana pendakian, mereka meminta tak ada pendakian yang mulai pada Jumat dan pendaki memerhatikan norma masyarakat. Tidak bisa seenaknya berpakaian dan lakukan hal-hal terlarang.

Sempat terjadi pro kontra antara masyarakat yang pro pariwisata dan kontra. Puncak ketegangan itu, terjadi perusakan terhadap beberapa fasilitas pariwisata.

Bagi kelompok kontra, pariwisata membawa mudarat, dan mengaitkan bencana gempa itu sebagai hukuman dari Tuhan atas berbagai penyimpangan yang timbul dari pariwisata.

Mugni, Kepala Dinas Pariwisata Lombok Timur bilang, pro dan kontra pariwisata di Sembalun bisa dipahami. Di tengah kondisi masyarakat berduka kena gempa, saat sama muncul dorongan pariwisata bangkit kembali. Saat rekonstruksi dan rehabilitasi belum tuntas, ditambah lagi masyarakat melihat banyak perubahan karena pariwisata masiif, membuat mereka kurang simpatik pada pariwisata.

“Perlu membangun dialog antara masyarakat pro dan kontra,’’ katanya.

Bagi Dinas Pariwisata Lombok Timur, pariwisata salah satu sumber pendapatan masyarakat Sembalun, tetapi jangan sampai memicu konflik horizontal.

 

Keterangan foto utama:

Pemandangan sisi selatan Gunung Rinjani. Jalur selatan ini meliputi Timbanuh dan Tetebatu (Lombok Timur), Aik Berik dan Lantan (Lombok Tengah). Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version