Mongabay.co.id

Sistem Biosekuriti Budi Daya Udang Indonesia Diakui Dunia. Begini Ceritanya..

 

Penerapan sistem keamanan hayati (biosekuriti) nasional untuk mencegah masuknya penyakit ikan pada industri perikanan budi daya, ternyata tak hanya ampuh meningkatkan produksi budi daya perikanan saja. Namun juga, keberhasilan tersebut menasbihkan Indonesia sebagai satu dari dua negara di dunia yang dijadikan rujukan untuk percontohan perbaikan tata kelola biosekuriti pada bidang perikanan budidaya.

Rujukan tersebut diterbitkan secara resmi oleh lembaga pangan dunia (Food Agriculture Organization/FAO). Selain Indonesia, negara lain yang terpilih dijadikan rujukan lokasi adalah Vietnam. Di mata FAO, kedua negara dinilai berhasil dalam melaksanakan metode strategi biosekuriti bagi usaha budi daya yang sedang dikembangkan oleh lembaga tersebut.

FAO Aquaculture Officer Melba Reantoso, di Jakarta, pertengahan Mei lalu mengatakan, keberhasilan Indonesia dalam mencegah masuknya penyakit ikan pada budi daya perikanan, patut untuk diberikan apresiasi. Keberhasilan itu, dinilai menjadi tolok ukur industri perikanan budi daya dalam menerapkan prinsip biosekuriti.

“Strategi nasional yang dimiliki Indonesia dalam penanganan penyakit, khususnya pada udang, dinilai terbukti berhasil tidak setiap negara memilikinya,” ucapnya.

baca : Ancaman Penyakit EMS dan AHPND pada Udang

 

FAO Aquaculture Officer Melba Reantoso (kiri) memberikan cenderamata kepada DirjenPerikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto dalam National Seminar on Aquaculture Biosecurity Governance di Kantor KKP, Jakarta, Jumat (10/5/2019). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Melba menjelaskan, penetapan Indonesia dan Vietnam sebagai negara percontohan untuk penerapan biosekuriti pada usaha budi daya perikanan, semakin menegaskan peran dan posisi kedua negara tersebut di dunia perikanan budi daya global. Terlebih, sebelumnya kedua negara juga dipilih FAO untuk menerima fasilitas pendanaan dari Pemerintah Norwegia.

Menurut Melba, fasilitas pendanaan itu untuk proyek pengembangan akuakultur yang berkelanjutan melalui perbaikan sistem dan cara penerapan biosekuriti, penguatan kerangka hukum, dan peningkatkan kegiatan akuakultur yang berkelanjutan di kedua negara.

Bagi Indonesia, apresiasi dan penghargaan yang diberikan FAO, menjadi bentuk pengakuan dan dukungan dari lembaga tersebut dan juga dari dunia secara global. Untuk itu, menurut Direktur Jenderal Perikanan Budi daya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto, keberhasilan Indonesia dalam mengendalikan penyakit ikan, harus terus dipertahankan.

 

Resiko Penyakit

Slamet menjelaskan, penerapan sistem biosekuriti nasional yang dilakukan Indonesia, bertujuan untuk mengurangi resiko introduksi dan penyebaran penyakit ikan pada budi daya perikanan. Implementasi sistem tersebut, dimulai sejak Indonesia bekerja sama dengan FAO dalam pengembangan On-Farm Biosecurity and Best Management Practice pada 2015 dan terus diadopsi hingga saat ini.

“Atas keberhasilan itu, sekaligus untuk memperkuat sistem tersebut, upaya perbaikan terus dilakukan, salah satunya adalah melalui kerja sama proyek yang sedang kita kerjakan bersama FAO dan negara Norwegia ini,” tuturnya.

Menurut Slamet, penerapan sistem biosekuriti yang dilakukan Indonesia sekarang, pada awalnya adalah proyek yang dijalankan untuk menjawab isu ketahanan pangan yang pada 2015 sedang hangat dibicarakan di level global. Isu tersebut terus menghangat, karena permintaan masyarakat dunia akan produk perikanan budi daya terus meningkat tajam.

“Sementara, penduduk dunia pada 2050 diproyeksikan sudah mencapai 9,7 miliar jiwa,” ungkapnya.

baca juga : Industri Udang Nasional Bersiaga dari Penyakit Mematikan AHPND

 

Panen budi daya udang. Foto : news.kkp.go.id/Mongabay Indonesia

 

Slamet menjelaskan, kerja sama dengan FAO dan Norwegia diharapkan bisa mewujudkan pengelolaan kesehatan ikan yang baik dan bisa mendukung penguatan sektor akuakultur nasional dengan berlandaskan pada teknik dan metodologi yang berstandar internasional. Dengan demikian, status kesehatan ikan bisa dikelola secara berkelanjutan dan berdampak pada penguatan ketahanan pangan, perbaikan nutrisi, dan pertumbuhan ekonomi.

Berkaitan dengan penetapan negara percontohan untuk biosekuriti, Slamet menyebutkan bahwa sudah disepakati itu dilaksanakan untuk percontohan surveilan penyakit Enterocytozoon Hepato Penaeid (EHP) pada udang. Teknik surveilan penyakit dalam praktiknya menggunakan metode 12 point check list. Untuk kegiatan tersebut, Pemerintah Indonesia memilih Kabupaten Jembarana, Provinsi Bali pusat kegiatan.

“Melalui metode ini diharapkan dapat mengindentifikasi faktor resiko penyakit dan dapat menyempurnakan sistem biosekuriti nasional, khususnya dalam praktik budi daya udang,” tegas dia.

Selain teknik surveilan, Slamet mengatakan, dalam melaksanakan sistem biosekuriti di Bali, pihaknya juga melaksanakan penguatan kerangka hukum dalam pengelolaan kesehatan ikan yang berkelanjutan. Penguatan tersebut dilakukan melalui sosialisasi metode progressive management pathway, aquaculture biosecurity, dan anti-microbial resistance.

“Selain itu juga akan dilakukan surveilan epidemiologi oleh narasumber FAO kepada perwakilan otoritas bidang pengelolaan kesehatan ikan Indonesia,” jelasnya.

menarik dibaca : Upaya Mencari Obat Penyakit Udang dari Tanaman Bakau, Seperti Apa?

 

Udang vaname dengan kondisi hepatopancreas yang pucat dan menyusut, dan perut kosong karena terkena penyakit AHPND. Foto : D. V. Lightner/semanticshcolar.org/Mongabay Indonesia

 

Udang Vaname

Dalam melaksanakan percontohan suveilan, Slamet mengaku sebelumnya sudah melakukan diskusi internal di wilayah kerjanya. Dari hasil diskusi, akhirnya dipilih penyakit EHP pada udang vaname sebagai contoh surveilan yang dilaksanakan, karena faktnya penyakit EHP berbahaya dan penyebab terhambatnya pertumbuhan udang.

Pertimbangan lainnya, penyakit EHP biasa menyerang udang vaname yang merupakan komodistas ekspor Indonesia. Dengan pelaksanaan percontohan surveilan itu, diharapkan terjadi peningkatan kapasitas pengaturan sistem biosekuriti akuakultur secara nasional.

“Utamanya, untuk kegiatan surveilan penyakit ikan dan khususnya untuk masyarakat pembudi daya udang. Disamping itu agar diketahui prevalensi keberadaan penyakit EHP pada udang, hingga akhirnya metode ini dapat digunakan untuk mengukur prevalensi penyakit ikan jenis lainnya,” papar Slamet.

Dengan melaksanakan sistem biosekuriti, itu akan tercipta peningkatan produksi perikanan budi daya secara keseluruhan, yang diikuti penguatan dan perbaikan pengelolaan kesehatan ikan melalui penerapan biosekuriti, dan pada akhirnya akan mendukung produksi perikanan budidaya yang berkelanjutan.

“Saya yakin proyek ini dapat berjalan dengan baik dan menjadi contoh bagi negara anggota FAO lainnya dalam pengelolaan Aquatic Animal Health,” jelas dia.

perlu dibaca : Microbubble: Teknologi Baru Ramah Lingkungan untuk Budidaya Udang

 

Udang, salah satu andalan produk budidaya perikanan Indonesia. Foto : news.kkp.go.id/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, KKP memang fokus dalam mencegah masuknya penyakit ikan pada industri perikanan budi daya. Dari semua penyakit, salah satu yang menjadi perhatian adalah penyakit yang biasa menyerang udang, salah satu komoditas andalan Indonesia untuk diekspor. Penyakit pada udang yang sedang diwaspadai sekarang, adalah acute hepatopancreatic necrosis disease (AHPND) dan sudah menyerang Tiongkok, Thailand, Malaysia, Meksiko, dan Vietnam.

Upaya pencegahan penyakit AHPND masuk ke Indonesia, di antaranya adalah dengan melakukan pengawasan, sosialiasi, dan penerapan biosekuriti sebagai langkah pencegahan yang mutlak dilakukan para pelaku usaha dan pembudi daya. Langkah itu sangat penting diterapkan, karena Indonesia sudah terpapar penyakit udang seperti white feces disease (WFD) dan enterocytozoon hepatopenaei (EHP).

Selain cara di atas, upaya pencegahan juga dilakukan dengan melakukan pengawasan dan sosialisasi ke sentra-sentra budi daya udang; meningkatkan kesadaran masyarakat pembudi daya terhadap bahaya AHPND dan pencegahan ke sentra-sentra budi daya udang di Indonesia melalui penyelenggaraan workshop yang dilakukan bersama dengan Pemerintah dan stakeholder.

Langkah berikutnya, adalah dengan menyusun prosedur operasi standar (SOP) pencegahan penyakit bakterial, khususnya AHPND; penguatan kapasitas laboratorium (sumber daya manusia/SDM dan peralatannya) pada unit pelaksana teknis (UPT) DJPB dan UPT Karantina dalam pengujian AHPND; menyusun rencana aksi pencegahan masuk dan tersebarnya penyakit AHPND di Indonesia.

“Itu meliputi sosialisasi, surveilan dan penerapan biosekuriti secara bersama-sama oleh stakeholder yang terdiri dari tambak dan hatchery,” tegas Slamet.

Langkah berikutnya, adalah dengan membuat kesepakatan bersama antara pelaku usaha, peneliti perguruan tinggi dan lembaga penelitian lainnya dalam mencegah masuk dan tersebarnya AHPND di Indonesia. Kemudian, melarang impor pakan alami, induk, dan benih udang dari negara negara terjangkit.

 

Exit mobile version