Mongabay.co.id

Tergigit Ular Berbisa? Berikut Ini Rekomendasi WHO

Sunda pit viper, si cantik nan berbisa. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Kulit binatang melata ini berwarna biru, ekor merah. Bentuk kepala segitiga. Ular ini bernama sunda pit viper (Trimeresurus insularis). Ini salah satu jenis ular berbisa. Mesti terlihat cantik, hati-hati kalau menjumpai ular ini.

“Sayangnya, banyak ingin memelihara dan mengira ular ini tidak berbahaya. Bahkan, kini bisa dengan mudah membeli lewat online. Jangan buat mainan,” kata Aji Rachmat, dari Sioux Ular Indonesia, yayasan yang mendedikasikan pada edukasi dan penyelamatan ular.

Sunda pit viper, salah satu ular berbisa yang sering ditemui di Indonesia, terutama di Bali, Flores, Komodo, Sumbawa. Aktif di malam hari, ular ini memangsa tikus, kadal, kodok.

Di Indonesia, kasus gigitan ular berbisa masih tinggi. Bahkan, menempati urutan ke dua setelah HIV/AIDs dan kanker. Menurut World Health Organization (WHO), ada 5 juta kasus gigitan ular di dunia per tahun. Sekitar 2,7 juta digigit ular berbisa. Sebanyak 81.000-138.000 gigitan ular menyebabkan kematian, dan 400.000 kecacatan.

Bersama dokter Tri Maharani, Aji mengenalkan berbagai jenis ular berbisa di Indonesia dan teknik penanganan gigitan ular berbisa yang benar versi WHO terbaru. Sekitar 60 orang dari pelatih, pembina Pramuka Yogyakarta mengikuti kegiatan yang berlangsung Sabtu, 18 Mei lalu, di Kompleks Bumi Perkemahan Taman Tunas Wiguna, Babarsari, Sleman.

 

Ular welang (Bungarus fasciatus) yang berbisa tinggi sekaligus predator alami ular. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Ular berbisa

“Ular adalah predator alami beberapa hewan yang merugikan atau hama seperti tikus. Ular ikut menjaga keseimbangan ekosistem,” kata Aji.

Bahkan, beberapa ular adalah pemangsa ular lain seperti king cobra (Ophiophagus hannah), dan ular welang (Bungarus fasciatus). Keduanya, berbisa tinggi.

Dia menyarankan, untuk tak membunuh ular meski berbahaya dan berbisa. Ular biasa menyerang manusia kalau merasa terganggu. Kalau bertemu ular, cukup lakukan STOP (silent, thinking, observation dan prepare). Jangan panik, atau malah memprovokasi.

Empat langkah itu dijabarkan sebagai bersikap mematung, sambil meneliti apakah berbisa atau tidak, memperhatikan lingkungan sekitar dan mencari alat bantu, serta mempersiapkan langkah lanjutan.

Beberapa jenis ular berbisa lain yang sering dijumpai di Indonesia antara lain, king cobra. Ia banyak ditemui di daerah kering, karst, seperti di pesisir selatan Jawa, misal, Pacitan, Sukabumi, Gunung Kidul, Malang, sisi selatan. Panjang satwa melata ini bisa sampai enam meter dan termasuk diurnal atau aktif di siang hari.

Ciri khasn, saat terganggu akan menaikkan kepala sambil mengembangkan kulit di sekitar leher disertai bunyi desis keras.

Ular welang kerap ditemui di persawahan, perkebunan, bahkan rumah penduduk, termasuk nokturnal atau aktif di malam hari. Ciri khas, corak cincin melingkar penuh, dan ekor buntet atau seperti terpotong.

Berbeda dengan ular weling (Bungarus candidus) dengan cincin terputus, bagian perut berwarna putih, dan ekor runcing.

“Ular tanah banyak dijumpai di Gunung Kidul. Juga di Kalimantan. Sering kasus ular tanah menggigit manusia di kebun teh di Jawa Barat,” katanya.

Warna kulit cenderung coklat, dengan corak pola segitiga. Warna kulit demikian membuat ular ini tersamar di semak belukar. Saat terancam lehern membentuk huruf S dan siap mematuk.

Ular berbisa lain yang perlu diwaspadai adalah ular picung (Rhabdophis subminiatus). Disebut demikian karena warna kulit mirip buah picung. Sebutan lain adalah Pudak Bromo di Jawa, ular matahari di Jakarta, atau ular merah di Kalimantan. Warna tubuh dominan kecokelatan, namun memerah di sekitar leher.

“Ini berbisa dan beracun. Satu-satunya jenis ular yang punya kelenjar bisa dan beracun. Kalau bisa itu masuk lewat inject, kalau racun kesentuh saja sudah keracunan. Jadi memegang ular ini harus hati-hati, karena pegang kepalanya bisa keracunan.”

Jenis ular berbisa lain, adalah kobra atau ular sendok. Di antara puluhan kobra, ada dua endemik Indonesia, yaitu Naja sputatrix (sendok Jawa) dan Naja sumatrana (sendok Sumatera).

“Keduanya menyemburkan bisa, jadi bukan cairan ludah. Banyak dijumpai di sawah, kebun. Merupakan predator alami tikus. Kobra Sumatra karakter lebih agresif.”

Jenis ular berbisa lain yang sering ditemukan di Indonesia adalah ular cabe (Calliophis bivirgata). Ciri khas, kepala dan ekor berwarna merah. Akhir-akhir ini, kata Aji, banyak ditemukan kasus gigitan ular cabe. Ada juga ular laut, bisa juga amat mematikan. Ciri khas, ekor membentuk dayung.

Keluarga viper banyak ditemukan di Indonesia. Ciri khas, antara lain gigi taring panjang. Warna cantik kadang dianggap tak berbahaya hingga orang asal pegang, akhirnya jadi korban, satu contoh, wagler, banyak ditemukan di Sumatera, dan Kalimantan.

 

Tri Maharani (depan) dan Aji Rachmat (belakang). Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Resolusi WHO

Pada Kamis, 23 Mei lalu, WHO mengumumkan langkah global mengurangi kasus gigitan ular yang selama ini dianggap neglected tropical desease (NTD), atau penyakit tropis yang terabaikan. Sehari berikutnya, kata Tri Maharani, Indonesia sebagai anggota WHO membuat resolusi serupa untuk Indonesia.

Indonesia, kata Maha, panggilan akrabnya, termasuk spesial di dunia terkait kasus gigitan ular. Selain jumlah kasus banyak, namun tidak ada laporan resmi, juga karena spesies sama namun venom (bisa ular) beda.

Data yang dikumpulkan dari 2012-2018, gigitan ular di Indonesia, ada 135.000 kasus, dibanding HIV/AIDs 199.000 kasus, dan kanker 133.000.

“Di luar negeri, mungkin dengan jenis ular sama tidak mematikan, di Indonesia bisa sebaliknya. Karena geografi juga menentukan venom ular. Antivenom yang dibeli dari Thailand, misal, belum tentu bisa dipakai di Inonesia.”

Selain itu, bentuk negara kepulauan dengan rentang wilayah luas, membuat tantangan tersendiri bagi penyelamatan korban dan distribusi antivenom. Ditambah keberagaman jenis ular yang mendiami wilayah Indonesia, dengan karakteristik venom yang beraneka pula.

“King cobra sangat tinggi kasus di Thailand. Tahun 2016, tidak ada korban jiwa. Indonesia tahun sama 36 jiwa. Tahun 2017, meningkat jadi 45 jiwa, 2018 sebanyak 47 jiwa, dan 2019 sampai Mei sudah 33 jiwa. Sampai akhir tahun ini jadi berapa?” kata Maha.

Kondisi inilah, membuat berbagai pihak harus menganggap gigitan ular sebagai hal penting. Bukan hanya pemerintah, kalangan medis, pemerhati satwa, juga transportasi terkait distribusi venom.

“Di kurikulum keperawatan ini terabaikan, karena ini penyakit tropis yang terabaikan. Kami memang diajari sedikit tentang gigitan hewan. Bukan salah dokter dan perawatnya, tapi salah kurikulum.”

 

Tangani gigitan dan bisa ular

Jatuh banyak korban karena penanganan keliru akibat gigitan ular membuat dia bertekad menyelamatkan lebih banyak orang. Lebih dari tujuh tahun Maha banyak meluangkan waktu menangani kasus gigitan ular. Pada akhir pekan, dia hampir selalu berada di luar kota untuk edukasi dan membantu pengobatan gigitan ular.

Maha, akhirnya jadi satu-satunya ahli dari Indonesia bahkan Asia untuk menulis pedoman WHO penanganan kasus gigitan ular yang terbit 2016.

“Obat tradisional tidak bisa mengeluarkan venom di tubuh. Apalagi pakai batu hitam, keris, tidak bisa. Disilet, dihisap, atau diikat juga tidak bisa. Justru yang diikat sering kemudian harus diamputasi.”

Menurut dia, WHO punya riset panjang sebelum akhirnya menemukan, venom tidak lewat pembuluh darah, tetapi melalui kelenjar getah bening. Jadi, dengan mengeluarkan darah dari luka gigitan atau mengikat dengan asumsi mencegah venom menyebar akan sia-sia.

“Caranya, lebih sederhana, yaitu dibuat tak bergerak. Otot yang bergerak hanya akan mempercepat reaksi. Dulu, efek gigitan ular dibuat empat grade. Kini, WHO hanya dua, yaitu fase lokal dan sistemik. Kalau fase lokal masih bisa diselamatkan dengan imobilisasi. Fase lokal itu tanda-tandanya bengkak di daerah gigitan, nyeri, dan pembengkakan kelenjar getah bening.”

“Kalau sudah sistemik, yaitu merusak organ, misal, gagal ginjal, gagal napas, gagal jantung, harus memakai antivenom.”

Jadi, katanya, jika tergigit ular berbisa, pertolongan pertama menurut WHO, pertama, pindahkan korban ke tempat aman. Kalau ular masih menggigit, usir ular dengan kayu. Kalau tergigit ular laut, korban dipindah ke daratan agar tak tenggelam. Lepaskan perhiasan sekitar luka gigitan seperti cincin, gelang, jam tangan, kalung yang bisa menyebabkan luka baru karena pembengkakan.

Kedua, imobilisasi korban atau dibuat tidak bergerak sepenuhnya. Lalu ditandu untuk segera dibawa ke tempat layanan kesehatan. Jangan pakai torniquet. Mengikat dengan kain medis disarankan hanya oleh tenaga kesehatan. Hindari mengobati dengan jamu, cara tradisional, bahkan klenik yang tak terbukti menolong. Bisa ular, katanya, adalah protein yang hanya bisa ditawar dengan serum anti bisa ular.

 

Keterangan foto utama:  Sunda pit viper, si cantik nan berbisa. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

King kobra (Ophiophagus hannah), jenis ular dengan racun mematikan. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

 

 

Exit mobile version