Bangka, Sejarah dan Situasi Panas Perebutan Timah

 

  • Dari abad ke-7 hingga ke-17, Pulau Bangka tidak menjadi perhatian Kerajaan Sriwijaya, Singasari, Majapahit, atau Kekaisaran Tiongkok
  • Sejak ditemukan timah di Bangka awal abad ke-18, ketika menjadi kekuasaan Kesultanan Palembang, Bangka menjadi pulau yang diperebutkan bangsa Eropa, seperti VOC dan Britania. Konflik ini akhirnya mendorong bubarnya Kesultanan Palembang awal abad ke-19
  • Sebagian masyarakat Bangka saat ini, merupakan keturunan para pekerja atau pejabat pertambangan timah masa lalu. Kondisi ini membuat mereka menerima para pendatang untuk menambah timah
  • Upaya mengubah paradigma dibutuhkan bahwa sumber ekonomi Bangka bukan hanya timah. Penguatan sumber daya manusia harus dilakukan untuk menghadirkan ekonomi berkelanjutan atau ramah lingkungan

 

Baca: Timah yang Membuat Wajah Bangka Tidak Bahagia

 

Dari abad ke-7 hingga ke-17, meskipun ditaklukkan, Pulau Bangka tidak menjadi perhatian Kerajaan Sriwijaya, Singasari, Majapahit, pun Kekaisaran Tiongkok. Mungkin saat itu, pulau ini tidak kaya dengan rempah dan hasil bumi lainnya, seperti Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, atau Kepulauan Maluku. Namun, saat dikuasai Kesultanan Palembang, pulau ini menjadi rebutan VOC dan Britania. Kenapa?

Timah sebagai biangnya. Revolusi industri di Eropa mendorong berbagai negara di sana memburu hasil mineral di Asia, Afrika, Australia, dan Amerika. Termasuk, memburu timah di Pulau Bangka.

 

Sejak maraknya penambangan timah di lepas pantai di Bangka, para nelayan mengeluhkan hasil tangkapan ikan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia di Wikipedia, pasir timah kali pertama ditemukan pada 1710. Bangka yang saat itu masuk kekuasaan Kesultanan Palembang, dikunjungi para penambang dari Johor dan Siantan, yang sebelumnya melakukan penambangan timah di daerahnya, Semenanjung Malaka. Kapal-kapal dari Tiongkok dan Eropa pun ramai ke Bangka untuk bisnis timah.

Pada 1722, VOC membuat perjanjian mengikat dengan Sultan Agung Kamaruddin dari Kesultanan Palembang. Yakni, timah hanya dijual kepada VOC dan jumlahnya sesuai kebutuhan.

Monopoli ini dirasakan tidak adil oleh para bangsawan Kesultanan Palembang di era selanjutnya. Kondisi ini dimanfaatkan Pemerintah Britania di Indonesia yang saat itu dipimpin Thomas Stamford Raffles. Mereka merayu Sultan Mahmud Badaruddin II agar mengusir VOC [Belanda] dari Palembang. Rayuan ini ditolak. Tapi terjadi perjanjian antara Palembang dengan Britania, yang isinya sangat menguntungkan Palembang.

Baca: Fokus Liputan: Cerita di Balik Kemilau Timah Bangka (Bagian 1)

 

Potensi wisata di Bangka cukup banyak. Tapi pengelolaannya belum optimal, sebagaimana wisata mangrove ini. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pada 14 September 1811, loji VOC di Sungai Aur, Palembang, diserang masyarakat Palembang. Loji hancur, orang-orangnya dibunuh dan diusir. VOC menuduh Britania di balik aksi serangan tersebut. Raffles mengelak, dia pun menuduh Sultan Mahmud Badaruddin II yang berinisiatif melakukannya.

Bahkan, Raffles berharap Pulau Bangka diserahkan Kesultanan Palembang kepada Britania. Sultan Mahmud Badaruddin II menolak. Britania kemudian menyerang dan berhasil menguasai Palembang. Sang Sultan bergerak ke wilayah Musirawas. Selanjutnya, Britania dan Sultan Mahmud Badaruddin II berdamai. Dia kembali menjadi Sultan.

Baca juga: Fokus Liputan: Cerita di Balik Kemilau Timah Bangka (Bagian 2)

 

Akibat penambangan timah, hutan di Bangka rusak. Hanya beberapa daerah, seperti di Simpang Rimba, yang masih ditemukan pohon berusia puluhan hingga ratusan tahun. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pada 13 Agustus 1814, berdasarkan Konvensi London, Britania menyerahkan kembali Kesultanan Palembang kepada VOC, termasuk Pulau Bangka. Di masa itu, Sultan Mahmud Badaruddin II tetap menjadi Sultan Palembang. Namun, karena ada perlawanan terhadap VOC, terutama di wilayah pedalaman termasuk Bangka, yang dipimpin Sultan Muhammad Ali, kakak Sultan Mahmud Badaruddin II, VOC meminta Putra Mahkota diserahkan kepada mereka sebagai jaminan Kesultanan Palembang setia kepada VOC.

Permintaan ditolak. Meletus Perang Menteng. Palembang dikalahkan. Sultan Mahmud Badaruddin II diasingkan ke Ternate. VOC membubarkan Kesultanan Palembang pada 1823. Sementara Bangka baru dikuasai VOC pada 1851 setelah Sultan Mahmud Ali meninggal dunia.

Doni Al Maleeq, seorang pendidik dan budayawan Bangka Selatan, kepada Mongabay Indonesia, Selasa [11 Juni 2019], mengatakan hampir sebagian besar masyarakat di Bangka yang hidup saat ini, sebenarnya terkait erat dengan para pendatang yang dulu terlibat pertambangan timah.

“Kota-kota besar di Bangka, seperti Muntok, Sungailiat, Koba dan Toboali, itu terbentuk karena aktivitas perusahaan timah di masa lalu,” katanya. “Leluhur saya pun dari Malaka yang datang ke sini untuk menambang timah,” kata Doni.

Jadi, katanya, “Tidaklah heran, jika hingga saat ini masih banyak pendatang ke Bangka untuk berburu timah. Kehadiran mereka tidak ditolak. Misalnya, dari Kabupaten OKI di Sumsel.”

 

Bangka bukan hanya menghasilkan ikan laut. Di rawa-rawa dan sungai juga ada ikan dan udang. Udang satang dari Bangka banyak dikirim ke Palembang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Mengubah paradigma

Melihat terus diburunya timah di Bangka, membuat Doni, cukup khawatir. “Perubahaan lingkungan mulai dirasakan masyarakat di Bangka akibat penambangan itu. Misalnya, suhu yang terus naik, bencana banjir, serta sebagian wilayah yang mengalami kekeringan,” katanya.

“Jadi, perlu upaya bersama untuk mengubah pemikiran di masyarakat dan pemerintah agar tidak terlalu mengandalkan timah sebagai sumber ekonomi. Sebab jika timah habis, dapat dipastikan masyarakat Bangka akan menderita karena alamnya rusak. Tidak dapat lagi bertani, berkebun, dan mencari ikan,” jelasnya.

“Pemerintah dan masyarakat harus beralih meningkatkan mutu sumber daya manusia di Bangka. Dengan begitu, banyak manusia unggul yang siap mengembangkan Bangka dari berbagai upaya ekonomi, seperti pertanian, perikanan, wisata, serta ekonomi kreatif, yang lebih berkelanjutan atau ramah lingkungan,” urainya.

Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan dari UIN Raden Fatah Palembang, Senin [17/6/2019], setuju jika pemerintah dan masyarakat Bangka saatnya fokus pada pengembangan sumber daya manusia.

“Dulu, saya pernah dengar banyak anak di Bangka tidak mau sekolah karena sudah menghasilkan uang, ikut menambang timah. Ini artinya persoalan pendidikan menjadi hal penting di Bangka, untuk beberapa generasi kekinian,” katanya.

 

Butuh penguatan sumber daya manusia, khususnya generasi muda. Agar, Bangka di masa depan tidak hanya mengandalkan tambang timah sebagai sumber ekonomi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Optimalisasi potensi

Dijelaskan Yenrizal, potensi ekonomi di Bangka, bukan hanya timah, ada lada putih, perikanan, dan pariwisata.

“Namun, untuk mengoptimalkan potensi tersebut dibutuhkan sumber daya manusia mumpuni. Pendidikan menjadi pilihan utama bagi pemerintah dan masyarakat. Jika pendidikan bagi generasi kekinian di Bangka lemah, ke depan kembali masyarakat Bangka akan terkalahkan dalam persaingan global,” ujarnya.

Di sisi lain, Bangka menjadi wilayah sangat strategis dalam pengembangan ekonomi berbasis kemaritiman. “Bangka itu depannya Sumatera bagian Selatan. Bangka harus memanfaatkan keunggulan ini. Bangka harus memiliki sumber daya manusia hebat secara intelektual, juga memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Pintar tapi tidak peduli lingkungan hidup, bukan generasi yang diharapkan berbagai bangsa di dunia saat ini,” paparnya.

Terklait lada, Pemerintah Bangka-Belitung menargetkan pada 2022, provinsi ini menjadi sentra bibit lada Indonesia.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,