Mongabay.co.id

Tangkap Ikan Pakai Bom dan Potasium Masih Marak di Maluku Utara

Perairan Morotai, salah satu kawasan yang saat ini marak terjadi pengeboman ikan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Penangkapan ikan dengan bahan dan alat dilarang masih terjadi di perairan Maluku Utara, seperti pakai bom, potasium dan berbagai alat tangkap atau pukat tak sesuai aturan. Polisi Perairan (Polair) Polda Malut mencatat, para pelaku yang ditangkap rata-rata pakai bom ikan dengan bahan peledak dari pupuk, belerang korek api, serta bubuk mesiu dari peluru atau bom sisa perang dunia kedua di Morotai. Begitu antara lain persoalan yang muncul dalam diskusi di Ternate, belum lama ini.

Diskusi ini dihadiri pemerintah daerah, kepolisian, TNI Angkatan Laut, Kejaksaan, kampus bersama masyarakat dan organisasi masyarakat sipul serta berbagai pihak konsern isu perikanan di Malut.

Soal penangkapan ikan merusak dengan bom dan potasium, kasus rata hampir di seluruh kabupaten dan kota di Malut, macam di Halmahera Selatan, Halmahera Utara, Halmahera Timur, laut Morotai, Kepulauan Sula dan Taliabu.

“Laut di berbagai pulau baik yang berpenghuni maupun tidak jadi sasaran pengeboman maupun penangkapan ikan pakai potasium,” kata Abdullah Assagaf, Kepala Bidang Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Malut.

Dalam pemaparan pemetaan kegiatan penangkapan ikan merusak di Malut, menyampaikan, temuan meskipun sudah ada regulasi melindungi kekayaan laut tetapi praktik ilegal selalu terjadi.

Persoalan di Malut, katanya, erat kaitan dengan luas wilayah dan begitu banyak pulau membuat petugas kesulitan memantau dan mengawasi ketat. “Maluku Utara memiiliki 805 pulau. Yang dihuni hanya 82 pulau. Sebanyak 723 pulau tak berpenghuni.”

 

Barang bukti, bom ikan dan kompresor diamankan petugas. Foto: Poalir Polda Malut

 

Kondisi ini, katanya, membuat orang-orang tak bertanggung jawab seakan bebas merusak. Dalam kasus bom ikan, misal, kebanyakan pelaku memanfaatkan daerah-daerah yang kurang terpantau petugas, baik Polairud maupun TNI Angkatan Laut.

Penangkapan ikan merusak ini, katanya, tak hanya pakai bahan peledak maupun racun. Beberapa alat tangkap sudah dilarang tetapi masih ada yang memakainya. Dia contohkan, penangkapan ikan pakai pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seint nets), yang berdampak buruk dan memyebabkan sumberdaya ikan turun serta mengancam lingkungan perairan. Aturan menteri melarang penggunaan alat ini. “Meski begitu di lapangan praktik penggunaan alat masih terjadi,” katanya.

Soal ini, katanya, perlu penegakan hukum serius. Penggunaan alat tangkap tradisional muroami atau kalase juga masih ada, seperti di Pulau Hiri berdekatan dengan Ternate dan Pulau Mare, Kota Tidore Kepulauan.

Bahkan, di Kepulauan Kayoa, alat tangkap ini dari Sulawesi Utara dan mendapat izin kepala desa. “Kita sudah meminta Dinas Perikanan Halmahera Selatan menyampaikan teguran. Alat tangkap ini sangat destruktif,” kata Abdullah.

 

Peta kerawanan laut karena penangkapan ikan merusak di Maluku Utara. Sumber: Polair Polda Malut

 

Armain Naim, Kepala Satuan Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Ternate mengatakan, penangkapan ikan pakai bom maupun potassium ini merusak ekosistem laut. Kerusakan itu, katanya, tak hanya menyebabkan ikan habis juga terumbu karang, sea grass, estuaria, spawning dan nursery areas, daerah migrasi, ruaya ikan dan lain-lain.

Untuk perairan Malut, kata Naim, dari semua penangkapan merusak, paling banyak pengeboman dan meracuni ikan pakai potasium.

“Bahan ini sangat merusak terumbu karang.”

Nelayan nakal, katanya, pakai potasium. “Cara penggunaan potasium diisi dalam penyemprot serangga sebanyak satu liter lalu disemprotkan ke ikan karang. “Kasus ini berulangkali ditemukan terjadi.”

Mereka, katanya, berupaya menangkap ikan karang atau yang hidup di sela-sela karang. Praktik ini, tak hanya membunuh ikan tetapi merusak terumbu karang.

Untuk pengebom ikan, katanya, pelaku merakit sendiri bahan peledak terdiri dari pupuk urea campur minyak solar dan dikeringkan. Setelah kering, masukkan botol, lalu pasang detonator sebagai sumbu yang nanti dibakar untuk meledakkan botol rakitan.

Beberapa temuan kasus bahan peledak yang digunakan juga pabrikan. Ia dirakit dan bahan bakar pakai mesiu.

Penggunaan alat dan bahan tangkap merusak dilarang sesuai Undang-undang Nomor 31/2004 tentang Perikanan. Pasal 8 ayat 1 junto Pasal 84 ayat 1 yang menyatakan, setiap orang yang menangkap ikan dan atau pembudidayaan dengan bahan kimia, bahan biologis, dan bahan peledak alat. Juga, cara dan bangunan yang dapat merugikan atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan atau lingkungan diancam pidana penjara paling lama enam tahun dan denda Rp12 miliar.

“Ketentuan hukuman sangat berat, hanya penegakan belum berjalan baik.”

 

Laut Kayoa juga terancam penangkapan ikan merusak. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

Merajalela

Paparan Polair Polda Malut, menyebutkan, tangkap ikan menggunakan bom terjadi hampir setiap saat. Kasusnya juga tersebar di berbagai tempat terutama di pulau yang jauh dari pemantauan petugas TNI AL maupun Polair.

Muhammad Zulkarnain dari Dirpolair Polda Malut dalam pemaparan mengatakan, penggunaan alat dan bahan berbahaya seperti bom dan potasium tersebar di perairan dan pulau di Malut.

Dia bilang, kasus bom ikan, terjadi seperti Halmahera, Bacan, Obi, Morotai Kepulauan Sula, bahkan di Taliabu, yang berbatasan langsung dengan Sulawesi Tengah.

Pada 2016, ada puluhan kasus pengeboman ikan, tetapi hanya tiga pelaku tertangkap di Tobelo, Morotai dan Halmahera Selatan.

Pada 2017, kasus bom ikan di Halmahera Selatan ada empat dan Halmahera Utara   dua. Keenam kasus, katanya, sudah proses dan pelaku masuk penjara.

“Kasus 2016, bahan peledak yang digunakan mesiu dari hasil pembongkaran peluru sisa perang dunia kedua di Morotai. Empat kasus di Halmahera Selatan,  rata-rata pakai bahan peledak belerang atau korek api dan pupuk bermerek matahari,” kata Zulkarnain.

Pada 2018, katanya, ada dua kasus di Pulau Obi, Halmahera Selatan, berhasil ditangani Polair Malut. Bahan peledak pakai pupuk yang diduga dari Sulawesi Tengah.

Zulkarnain mengatakan, hasil penelusuran Polda Malut, bahan peledak dari luar, masuk melalui Pulau Banggai, Sulawesi Tengah, ke Pulau Taliabu.

Daerah-daerah sasaran bahan peledak dari pupuk bermerek Matahari terutama di pulau-pulau tanpa penghuni di Taliabu. Dari situ, katanya, masuk ke berbagai wilayah di Malut terutama Sula Taliabu dan Halmahera Selatan.

M Janib Ahmad, Dekan Fakultas Perikanan Universitas Khairun Ternate mengatakan, dampak bom dan potassium sangat serius bagi ekosistem laut. Dalam satu kali pengeboman ikan, bisa merusak terumbu karang sekitar 500 meter persegi. Ikan dan biota laut, katanya, juga ikut mati dan hancur.

Selain merusak ekosistem perairan termasuk biota laut, bahan seperti potasium dalam racun ikan juga berbahaya bagi manusia yang mengkonsumsi ikan. “Ikan mengandung zat-zat berbahaya, akan berbahaya bagi tubuh.”

 

 

Keterangan foto utama:  Perairan Morotai, salah satu kawasan yang saat ini marak terjadi pengeboman ikan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Polisi mengamankan ikan hasil pengeboman. Foto: Polair Polda Malut
Exit mobile version