Mongabay.co.id

Kala Nelayan Tradisional Masih Hadapi Beragam Kendala

Kapalnelayan baru pulang di perairan laut Sibolga. Foto: Ayat S Kaarokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Nelayan tradisional menghadapi berbagai kendala seperti berhadapan dengan nelayan yang gunakan pukat trawl, pemasaran ikan, perlindungan dan lain-lain.

Seperti terjadi di perairan Sumatera Utara, walaupun pukat trawl sudah dilarang, tetapi masih beroperasi. Penolakan sering dilakukan nelayan tradisional, bahkan melaporkan kepada aparat, tetapi seakan tak ada perubahan.

Saman, nelayan Lubuk Kertang, Langkat, Sumatera Utara, masih sering menjumpai pukat jenis ini dipakai menangkap ikan.

Tak jarang, katanya, mereka melaporkan pada petugas kepolisian Satuan Polisi Air jajaran Polda Sumut. Sayangnya, respon minim.

“Kita kesampingkan soal hasil tangkapan ikan yang terganggu. Pukat trawl bisa menghancurkan biota laut. Itu yang sering kami protes. Melaporkan ke aparat sudah dilakukan, tak ada reaksi apapun,” katanya.

Pemerintah, katanya, melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan, sudah bikin aturan soal larangan pukat trawl ini. Bahkan, kapal berukuran di bawah 10 GT yang pakai alat tangkap merusak akan diganti ke alat tangkap ramah lingkungan. Untuk kapal 10-30 GT, akan dapatkan bantuan dari lembaga keuangan untuk mendampingi kapal pencari ikan dalam penguatan modal.

 

Seorang agen di pasar ikan Sibolga menunjukkan ikan hasil tangkapan nelayan di perairan Sibolga. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua dunia mencapai 99.000 kilometer, dengan luas perairan 6,3 juta kilometer persegi.

Pusat penelitian oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyebutkan, nilai kekayaan laut Indonesia mencapai Rp 1.772 triliun, dengan potensi kekayaan lebih Rp1.700 triliun. Kondisi ini, merupakan peluang besar dalam meningkatkan taraf hidup nelayan sekaligus tantangan dalam pengawasan.

Pencurian ikan, penangkapan berlebih dan tak ramah lingkungan mengancam kekayaan laut Indonesia. Banyak terjadi pencurian kekayaan laut, oleh kapal ikan asing.

Pemerintah, melalui KKP memutuskan meledakkan dan tenggelamkan kapai pencuri ikan di perairan Indonesia. Meskipun cara peledakan dihapus karena dianggap dapat merusak biota laut, berganti penenggelaman kapal pencuri ikan.

Yunus Husein, Staf Khusus Satgas Anti Illegal Fishing 115 sekaligus penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, belum lama ini mengatakan, sampai 9 Mei 2019, kapal yang sudah ditenggelamkan 539 unit.

Dengan rincian 488 kapal ditenggelamkan karena tertangkap mencuri ikan di wilayah Indonesia dan 51 kapal sudah berkekuatan hukum tetap pengadilan.

 

 

Dia bilang, dampak kebijakan dan penegakan hukum ini, pasokan ikan bertambah.

“Itu bisa kita lihat dari keterangan nelayan dan pejabat di daerah. Kita mampu melindungi kekayaan laut dari upaya illegal fishing yang terus terjadi, dan penindakan takkan pernah berhenti, ” katanya.

Ketika kekayaan laut melimpah, yang jadi masalah pemasaran, terutama nelayan tradisional.

Sejak 2015, katanya, kapal asing dilarang sama sekali menangkap ikan di perairan Indonesia. Dampaknya, setok ikan berlimpah di negeri ini.

Pasar bagi ikan pun terbuka, karena pemerintah membuka peluang pengelola perikanan kepada siapa saja.

“Pengelolaan dan pemasaran kita buka seluasnya termasuk ke asing untuk ambil bagian, namun untuk pengambilan ikan di laut Indonesia, sama sekali tidak boleh (asing-red).”

Untuk itu, kini pemerintah berupaya meningkatkan kemampuan nelayan tradisional hingga bisa menangkap dan memasarkan.

Saat ini, katanya, kapal di bawah 10 Grosston dapat kemudahan, hanya perlu izin berlayar dari Sahbandar. “Ini kemudahan dari KKP agar nelayan tradisional bisa bekerja dan meningkatkan ekonomi mereka.”

Selain itu, katanya, nelayan tradisional dapat bantuan membuat unit-unit pengelolaan ikan. Targetnya, akan membantu nelayan tradisional mengelola dan memasarkan produk lebih baik. Makin baik pengelolaan dan pemasaran, katanya, ekonomi nelayan tradisional akan makin bagus.

Saat ini, katanya, pemasaran nelayan tradisional masih lemah. Mereka belum memiliki alat pendingin yang baik, hingga bisa merusak ikan hasil tangkapan.

 

Hasil tangkapan nelayan ikan di perairan Sibolga. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Penjualan ke lokasi sentra perdagangan ikan skala besar, katanya, jadi hambatan lain. Contoh, di Surabaya, di suatu daerah pesawat ke kota hanya sekali sehari, sedangkan tangkapan ikan membludak.

Nah, sistem inilah yang kita bantu, supaya mudah dan mereka juga bisa menjual hasil tangkapan dengan cepat dan gampang, harga bersaing.

Bagi Saman, sebagai nelayan tradisional di Langkat, selama ini pemasaran hasil tangkapan ikan tak alami kendala. Tangkapan mereka jual ke pengepul skala besar.

Namun, katanya, dia khawatir kala alat tangkap macam pukat trawl terus beroperasi. “Ini berbahaya untuk jangka panjang khusus masa depan biota laut. Ini harus ditindak tegas,” katanya.

Tazruddin Hasibuan atau dikenal dengan panggilan Sangkot, Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia(KNTI) Sumut mengatakan, kebijakan penenggelaman kapal asing pencuri ikan di perairan Indonesia, ini membuat efek jera.

Pengawasan perairan Indonesia, katanya, perlu ditingkatkan karena nelayan asing masih saja mencoba tangkap ikan di perairan Indonesia.

Soal pemasaran nelayan tradisional, katanya, itu hanya salah satu masalah. Soal alat tangkap merusak potensi laut saja, katanya, belum mampu diselesaikan KKP dan para pihak terkait.

Kini, produksi tangkap nelayan tradisional lebih besar, namun dari sisi perlindungan khusus asuransi masih belum serius. Baik asuransi bagi nelayan, maupun usaha perikanan budidaya.

Sangkot bilang, kegagalan budidaya ikan masih sering terjadi karena banyak faktor, seperti bibit tak bersertifikasi, maupun pakan ikan mahal.

 

Keterangan foto utama:    Kapal nelayan baru pulang melaut di perairan laut Sibolga. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version