Mongabay.co.id

Ramai-ramai Berkomitmen Selamatkan Sagu Papua

 

 

 

 

Pagi itu, John Reba, sudah berada di tengah Dusun Sagu Honfolo Aa. Dosen Teknik Pertambangan Fakultas Teknik Universitas Cenderawasih itu ingin merayakan Hari Sagu ketiga, pada 21 Juni lalu. Berbagai komunitas berkumpul merayakan dengan tanam sagu di Jayapura.

Honfolo Aa, terletak di Kampung Ifale Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Kelompok Penggiat Sagu Phara Isa Kampung Ifale aktif menanam sagu di sini.

John bercerita, terakhir datang ke Ifale ini pada 1996, kala masih di sekolah teknik menengah (STM) Jayapura. Kini, tempat ini banyak berubah.

“Perubahan cepat terjadi 2000 ke atas. Penduduk yang datang makin banyak baik migran maupun urban. Kebutuhan lahan meningkat hingga banyak lokasi termasuk hutan sagu mengalami alih fungsi,” katanya.

Keperluan lahan meningkat tak disertai pengawasan. Orang bebas membangun di mana saja. Wilayah-wilayah yang seharusnya daerah konservasi mengalami alih fungsi. Dusun sagu, salah satunya. Padahal, sagu berperan penting sebagai sumber pangan mauapun menjaga keseimbangan alam.

“Akar serabut sagu itu berfungsi mengikat tanah. Memperkecil pengaruh aliran air ke struktur tanah. Lihat saja, biar di rawa air mengalir deras, tanah tidak ikut berpindah.”

Banjir makin sering terjadi di kota dan kabupaten di Jayapura, katanya, dampak perubahan fungsi dusun-dusun sagu ini. Air yang seharusnya masuk ke tanah, malah mencari jalan, menggenang atau mengalir deras hingga menimbulkan daya rusak.

Pada kegiatan tanam sagu ini, hadir berbagai pihak. Ada akademisi dari Sekolah Tinggi Otto dan Geisler, mahasiswa Institut Seni dan Budaya (ISBI) di Tanah Papua, Kelompok Pencinta Alam Hiroshi, Komunitas Noken Papua (Konopa), dan Sekolah Tinggi Bio Sains (STBS) Jayapura. Lalu, Kelompok Lindungi Hutan Jayapura, Perkumpulan Chef Profesional Indonesia (PCPI) Jayapura, peserta pertukaran pemuda antar negara dan jurnalis.

Albert Suebu, Ketua Kelompok Pegiat Sagu Phara senang banyak terlibat kelompok muda dalam kegiatan ini.

“Mungkin kita tak memiliki uang banyak, tapi hati yang mengasihi itu lebih besar. Banyak orang yang memiliki uang memiliki jiwa untuk merusak semesta alam ini. Mereka menebang pohon, menggali hasil kekayaan alam. Ini yang terjadi di Papua.” Di kawasan ini, Kelompok Phara Isa sudah menanam sagu seluas 16 hektar. Jenis sagu paling banyak adalah sagu yebha. Ada juga jenis lain seperti phara, rondo, folo, osukhulu, ruruna, phane, hobolo, mangno dan obosum.

Albert juga pendeta ini bercerita bagaimana sagu melekat dalam kehidupan orang Sentani. “Tidak ada apa-apa dalam rumah tidak soal, tapi tak boleh tak ada sagu. Itu amanat orang tua kami di Sentani.”

Di Keondoafian Ifale, ada lima suku besar. Masing-masing suku memiliki amanat yang turun temurun dari nenek moyang. Khusus sagu, pesan turun menurun ada di marga Mokai.

“Sebelum Injil masuk, biasa kalau di tempayan sagu sudah mulai habis, kita cari orang marga Mokai.”

 

Sagu Papua, sumber pangan yang makin tergerus karena alih fungsi lahan. Foto: Lusia Arumngtyas/ Mongabay Indonesia

 

Peran penting Marga Mokai dalam hubungan dengan sagu. Kalau bicara sagu di Kampung Ifale, yang memiliki kuasa adalah Marga Mokai. Pada 2018, Ondofolo Ifale, Johni Suebu melalui Kepala Suku Notren Mokai menyerahkan Dusun Sagu Honfolo Aa ini kepada kelompok Penggiat Sagu Phara Isa, sekitar 25 hektar. Penyerahan ini sekaligus komitmen lokasi ini tak akan beralih fungsi.

Secara simbolis Albert menyerahkan sepatu boots dan parang kepada perwakilan peserta. Anggota Phara Isa menjelaskan cara mengambil bibit sagu hingga menanam. Masing-masing peserta pun lanjut menanam sagu.

 

Komitmen masyarakat

Marsel Suebu, Ketua Kelompok Pencinta Alam Hisorhsi, yang mengagas Hari Sagu, senang, perayaan tahun ini melibatkan lebih banyak komunitas yang berkomitmen melestarikan sagu.

“Memang masyarakat sipil yang diharapkan. Pemerintah hanya fasilitator. Kalau tugas itu dibebankan kepada pemerintah, susah.”

Kebijakan pemerintah, katanya, bisa berubah-ubah tergantung kepedulian orang yang menjabat. Komitmen jangka panjang, katanya, justru lahir dari gerakan sipil bermodal ide dan jaringan.

Hari Sagu 2019 ini dibuat di beberapa tempat. Papua Jungle Chef yang sedang pemetaan makanan di Biak, memusatkan perayaan di Biak Barat. Di Jayapura selain tanam sagu juga disksui terfokus di Sekolah Tinggi Bio Sain (STBS) Jayapura.

Kelompok yang hadir berkomitmen dalam pelestarian sagu. John Reba, sedang pemetaan potensi wisata di Jayapura dan berkomitmen memasukkan dusun-dusun sagu seperti Honfala Aa ini dalam peta kawasan wisata yang harus dilindungi pemerintah.

Dari Sekolah Tinggin Otto dan Geisler Jayapura, berencana menjalankan program sagu masuk sekolah. Sagu diperkenalkan kepada pelajar dan bisa lanjut mengunjungi dusun-dusun sagu di Jayapura.

STBS Jayapura akan mengembangkan produk-produk olahan sagu. Pertukaran pemuda antar negara berencana menggalang dukungan di pemuda internasional untuk jadikan 21 Juni sebagai Hari Sagu Dunia.

Mahasiswa desain dan lukis ISBI di Tanah Papua akan melukis berbagai jenis sagu untuk dipajang di pondok di Dusun Sagu Honfala Aa ini. Sementara Kelompok Lindungi Hutan Jayapura yang membawahi 100 lebih komunitas lain siap menggerak anggota mereka demi pelestarian sagu.

“Di seluruh Sentani ada satu ungkapan meuh. Meuh itu hasil karya. Kamu tidak perlu bicara banyak. Cukup meuh itu yang memberi cerita panjang. Hasil tanganmu, buah karyamu itu yang menjadi cerita.”

Marsel senang dengan berbagai rencana komunitas buat melindungi sagu.

 

Dusun Sagu Honfala An. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Petisi lindungi hutan sagu Papua

Charles Toto dari Papua Jungle Chef membuat petisi selamatkan hutan sagu Papua di Change.org yang dimulai 26 Maret 2019. Dia meminta Gubernur Papua dan Papua Barat segera membuat peraturan melindungi hutan sagu tersisa di Papua. Menurut dia, dengan peraturan gubernur, hutan sagu akan lebih terlindungi. Sampai 23 Juni pagi, penandatangan petisi sudah lebih 235 ribu orang!

Pada 2018, Laboratorium Biologi dan Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua bekerjasama dengan Balitbangda Jayapura, memetakan luasan hutan sagu di Jayapura. Luas Sentani Timur 437 hektar, Sentani 1.964,5 hektar, Waibu 138 hektar, Sentani Barat 74,6 hektar, Unurum Guay 277,3 hektar dan Demta 374,6 hektar. Ini belum termasuk Senggih, Kaure, Airu dan Benwa. Dusun-dusun sagu alam ini terancam alih fungsi.

Dalam peta pola ruang berdasarkan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Papua Nomor 23/2013, lokasi-lokasi ini masuk kawasan budidaya. Dengan label kawasan budidaya ini, dengan peruntukan sebagai hutan produksi, hutan rakyat, pertanian, pertambangan, pemukiman, industri, pariwisata, ibadah, pendidikan hingga pertahanan keamanan. Dengan begitu, memungkinkan terjadi perubahan fungsi hutan-hutan sagu ini.

Petisi Charles Toto mendorong komitmen pemerintah mengeluarkan aturan baru melindung hutan-hutan sagu ini bukan hanya di Jayapura tetapi di seluruh Tanah Papua.

 

Taham sagu di Hari Sagu di Jayapura. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version