Mongabay.co.id

Forum Diskusi Mongabay : KEE Upaya Atasi Konflik Gajah dan Manusia di Jambi

Bangkai gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) tanpa kepala terlihat di areal perkebunan sawit plasma di Desa Tanjung, Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo, Jambi, Rabu (18/11). Gajah jantan ini diduga kuat korban dari perburuan liar untuk mengambil gadingnya. Foto: Andreas Sarwono/FKGI

 

 

 

Konflik gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) dengan masyarakat jadi masalah serius beberapa tahun terakhir ini di Tebo, Jambi. Padahal, Tebo, terutama lansekap Bukit Tigapuluh merupakan kantong populasi gajah terpadat di Sumatera bagian tengah. Populasi gajah terdesak alih fungsi kawasan hutan jadi pemukiman, tambang dan perkebunan hingga populasi yang sebagian besar berada di luar Taman Nasional Bukit Tigapuluh, makin terdesak.

Pada Januari-Juni 2018, saja tercatat konflik gajah dengan masyarakat ada 188 kasus. Pada Mei lalu, konflik menyebabkan gajah betina berusia dua tahun diduga tewas karena diracun.

Baca juga: Mereka Berupaya Selamatkan Gajah Jambi Kala Habitat Terus Tergerus

BKSDA Jambi bersama berbagai pihak terkait tengah mengupayakan wilayah habitat dan jelajah gajah jadi kawasan ekosistem esensial (KEE).

Wawan Gunawan, Kepala Seksi Wilayah II BKSDA Jambi mengatakan, KEE seluas 54.000 hektar, terdiri dari hutan tanaman industri dan restorasi serta lima desa masuk Kecamatan Sumay. Di KEE ini akan dibangun pagar listrik, pusat edukasi lingkungan dan ekowisata.

“Pembangunan KEE mulai tahun ini. Kami tengah survei lapangan menentukan pembuatan pagar listrik dan menggali potensi ekonomi warga desa dalam dan sekitar KEE,” katanya, dalam diskusi yang diadakan Mongabay, beberapa waktu lalu.

 

Konflik gajah dan manusia di Jambi, seperti di Kawasan Ekosistem Bukit Tigapuluh, makin parah. Foto: Frankfurt Zoological Society/ Mongabay Indonesia

 

Tim BKSDA, katanya, sedang sosialisasi KEE dan rencana pembangunan pagar listrik. Rata-rata, warga mendukung tetapi ada juga desa belum mau memberikan komitmen mendukung rencana ini seperti Desa Pemayungan.

Dengan pembangunan KEE, katanya, selain meredam konflik gajah dan masyarakat juga mendapatkan keuntungan ekonomi, seperti pengembangan ekowisata di kawasan KEE. Dia bilang, berbagai pihak terlihat dalam pembangunan KEE ini, dari pemerintah, masyarakat dan swasta serta organisasi masyarakat sipil, seperti Forum Konservasi Gajah Sumatera (FKGI).

Krismanko Padang, Ketua FKGI mengatakan, pembangunan KEE ini salah satu solusi mengatasi konflik gajah dengan masyarakat. “KEE ini model baru, di samping perencanaan lapangan harus mapan, dasar hukum juga harus diperkuat,” katanya.

Dia katakan, penegakan hukum di KEE harus tegas agar populasi gajah tersisa dapat diselamatkan.

Lansekap Bukit Tigapuluh, kantung populasi gajah terbesar di Sumatera Tengah menampung sekitar 143 gajah. Dalam kondisi ideal perlu habitat 2.000 km persegi untuk populasi gajah lebih 100. Saat ini, tak ada lagi kawasan seluas itu. Kawasan yang memungkinkan didiami kelompok gajah di lansekap Bukit Tigapuluh hanya sekitar 400 kilometer persegi, seluruh kawasan di luar wilayah konservasi.

Sebagian besar ruang jelajah gajah di lansekap Bukit Tigapuluh adalah hutan produksi yang dikuasai swasta. Peran mereka, katanya, sangat penting dalam menyelamatkan populasi gajah tersisa.

 

Keterangan foto utama:  Bangkai gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) tanpa kepala
terlihat di areal perkebunan sawit plasma di Desa Tanjung, Kecamatan VII Koto, Tebo, Jambi, Rabu (18/11/14). Foto: Andreas Sarwono/FKGI

 

 

 

Exit mobile version