Mongabay.co.id

Sawit Datang, Hutan Buol pun Lepas (Bagian 1)

Kebun sawit tumbuh tepat di pinggiran sungai di Kabupaten Buol. Foto: Litbang Bappeda Buol

 

 

 

 

 

Terik matahari menyengat kuli. Debu pekat menempel di jaket. Berbekal masker, mengendari sepeda motor, kami menuju perkebunan sawit milik PT. Hartati Murdaya Inti Plantations di Kecamatan Bukal, Buol, Sulawesi Tengah, tengah Maret 2019.

Dari Kota Buol, perjalanan kami tempuh sekitar 30 menit. Sesekali kami berpapasan dengan mandor dan pekerja perkebunan. Di pusat Bukal, foto-foto calon legistatif berlatar logo partai, tanaman dan buah sawit.

“Itu pekerja kebun sawit, lagi peruntungan jadi calon legistaltif,” kata Uki, pemandu lokal kami.

“Air sungai makin dangkal. Kalau musim hujan banjir,” katanya.

Lima belas menit dari pusat kecamatan, kami tiba di portal depan perkebunan sawit HIP.

Welcome to PT. Hardaya Inti Plantations.” Begitu tulisan terpampang di papan biru dan papan merah.

“Panen Tuntas Berkualitas,” tulisan ini terpampang 50 meter sebelum portal. Ada seorang sekuriti berjaga, membuka dan menutup portal pakai tali dari pos penjagaan.

Masuk di lokasi perkebunan, pepohonan sawit setinggi 15-25 meter di kanan dan kiri jalan, bertuliskan 1996. Bongkol buah sawit tampak tergeletak di pinggir jalan, sesekali truk membawa buah sawit berpapasan.

“Berarti sawit itu ditanam tahun 1996. Buah sawit, nanti ada petugas sendiri mengambilnya,” kata Uki.

Akhirnya, kami tiba di Desa Winangun. Pemukiman berdinding kayu dan beratap seng berkarat. Di Dusun 05, di Desa Winangun, rumah mandor berdinding semen beratap seng. Anak-anak bermain bola di bawah tanaman sawit, dan beberapa bermain di Paud Pelita Hardaya. Mobil truk merah merek Dyna hilir mudik angkut sawit dari kebun.

Baca juga: Izin Kebun Sawit di Buol Bermasalah, Mengapa Pelepasan Kawasan Hutan Tetap Keluar?

Dusun Lima, kantor HIP di Kebun Modo, yang pertama dan terlama di Bukal. Beberapa staf perusahaan terlihat duduk di teras kantor. Mobil double kabin juga terparkir di dekat kantor. Sawit tanam pertama kali di kebun ini. Ada Klinik Hardaya, mesjid, paud, dan sekolah dasar. “Ini kantor dan lokasi terlama dan pertama HIP di Buol.”

September 2018, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 tentang penundaan dan evaluasi perkebunan sawit. Dua bulan berselang, HIP mendapatkan surat keputusan pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk menambah luasan perkebunan sawit milik mereka di Buol.

Baca juga: Dugaan Suap Izin Kebun Sawit, Bupati Buol Ditangkap KPK

Bupati Buol, Amiruddin Rouf, menolak keputusan pemerintah pusat ini. Bahkan, dia bergerilya menolak, bermohon ke gubernur bahkan ke pemerintah pusat. Orang nomor satu di Buol ini, menolak dengan beberapa alasan.

Dia bilang, kehadiran sawit tak memberikan kemajuan bagi masyarakat, bahkan berdampak negatif, berpotensi merusak ekosistem hutan dan lingkungan.

Selama dua periode menjabat, dia tak pernah memberikan izin perkebunan sawit di Buol. “Data kami, masyarakat ring satu perkebunan sawit seperti Bukal, merupakan daerah termiskin di Buol. Ini miris,” kata Amiruddin.

Baca juga: Hartati Murdaya Bebas, Petani Buol Protes

Tak hanya HIP. Ada tiga perusahaan sawit, PT Buana Maha Sawit, PT Sumber Sawit Bersama, dan PT Agro Artha Suryana, luas sekitar 36.000 hektar juga dia tolak.

 

Petani sawah di Kecamatan Bukal, Buol. Mereka memilih bertani padi daripada kebun sawit. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Penolakan ini berdasarkan pijakan hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis dan program kerja bupati yang mendorong sektor pertanian jagung, sawah dan peternakan sapi.

Dari peta sebaran pola ruang, kawasan non-hutan (area penggunaan lain/APL) mencapai 138.000 hektar atau 35% dari total wilayah. Hutan produksi konversi (HPK) hanya 36.000 hektar atau 9,5%.

Baca juga: Menyoal Pelepasan Kawasan Hutan buat Perusahaan Sawit di Buol

Kedua fungsi kawasan itu, katanya, APL dan HPK, biasa secara legal untuk pengembangan perkebunan sawit. Bisa saja keduanya dipakai, seluas 174.000 hektar itu, yang kita kategorikan sebagai potensi pengembangan kawasan perkebunan sawit. Namun, lahan seluas itu tentu saja tak semata dimanfaatkan untuk perkebunan.

Ada irisan lain yang mewajibkan pemerintah setempat menjamin penduduk untuk memiliki tempat tinggal, lingkungan, dan ruang-ruang sosial-ekonomi secara layak.

Pemerintah Buol, katanya, resmi mengeluarkan peta tutupan lahan dari hasil interpretasi citra spot 2009 dan mengecek kondisi lapangan pada 2013. Dalam peta di bawah, terlihat dominasi tutupan lahan berhutan yang menyebar hampir di seluruh kecamatan (Tiloan, Bukal dan Bunobogu).

Dari hasil olahan data, ada sekitar 69% tutupan hutan dari luas seluruh Buol. Terlihat, pada APL, masih ada tutupan hutan, yakni 391.000 atau 20% dari 1,9 juta hektar.

“Kawasan hutan lain, di mana masih ada tutupan hutan lebih 60%. Artinya, kawasan hutan masih dalam kondisi yang bagus,” katanya.

 

 

***

Penyusuran kami berlanjut di perkebunan sawit HIP di lokasi yang diduga kuat area pelepasan kawasan hutan yang terbit November 2018 lewat Surat Keputusan Nomor 517/2018. Surat ini soal pelepasan dan penetapan batas areal pelepasan kawasan hutan produksi dapat dikonversi untuk perkebunan sawit atas nama HIP di Buol, seluas 9.964 hektar.

Siang hari, kami kembali berkendaraan motor menyusuri kampung-kampung transmigran dari Jawa dan Bali di Buol. Mereka tinggal di Desa Modo, dan Desa Rante Maranu.

Bangunan pura lama dan persawahan subur, ternak sapi dan kambing, ada pula pepohonan buah seperti durian, kakao, rambutan, dan alpukat. Ada juga jagung, dan kacang-kacangan. Irigasi persahawan juga terlihat baru, tertulis tahun anggaran 2018.

Di tengah perjalanan, kami berpapasan truk pengangkut kayu gelondongan diameter 50 centimeter dari arah kebun Binuang dan kerap beriringan dengan truk pengangkut buah sawit.

Dalam notifikasi penilaian sertifikasi ISPO di HIP tahun 2015, Binuang merupakan konsesi perkebunan sawit HIP.

Limabelas menit dari Desa Rante Maranu, perkampungan transmigran dari Jawa, jadi kampung terakhir dijumpai sebelum kami memasuki perkebunan sawit milik HIP. Motor kami mulai menanjak, hanya kebun sawit berumur lima tahun lebih tertanam di sepanjang jalan. Kami tiba di lokasi pengepulan sawit, dijaga dua petugas.

“Hutan itu yang akan hilang, jika izin pelepasan hutan tetap diberikan,” kata Amiruddin.

Desa Modo dan Desa Rante Maranu, jadi lokasi langganan banjir besar ketika musim hujan. Sebelum ada sawit, kata Amir, tak pernah banjir terjadi. Di lapangan, kami menemui tanaman sawit di sepadan sungai. Ada pula sawit tertulis tahun 2009 di Blok MY, seluas empat hektar.

Bupati merasa, program kerja pemerintah kabupaten terhambat dengan pelepasan kawasan hutan. Selain itu, katanya, juga melanggar peraturan tata ruang daerah Buol.

Berdasarkan KLHS Buol, pelepasan dan pembukaan hutan besar-besaran dilarang karena daya dukung ekosistem sudah jauh terlewati. Ia bisa menyebabkan dampak lingkungan dan cadangan air berkurang.

Kajian tim ahli Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) mengelompokkan, ada dua lahan kritis di Buol dan Parigi hingga Buol masuk lahan kritis dan tak bisa buka hutan lagi. Ancamannya, tenggelam ketika banjir.

Setiap tahun, catatan Pemerintah Buol, ada 10 desa terendam banjir ketika hujan. Adapun desa-desa itu dari dulu punya lahan subur buat pertanian. Hadirnya perkebunan sawit menyebabkan konflik sosial dan agraria.

 

Tanaman sawit milik HIP di kebun lama Kecamatan Bukal. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Perusahaan, katanya, tak pernah bahkan ambil peran ketika konflik lahan dengan masyarakat. Pengerahan aparat berhadapan dengan masyarakat berkonflik lebih cenderung sering dilakukan perusahaan. Ia jadi alasan Bupati Buol, tak ingin memperluas perkebunan sawit.

Bupati Buol ingin jadikan daerah lumbung pertanian jagung. Setiap satu hektar ladang jagung menghasilkan lima ton dalam tiga bulan. Jadi, tiap bulan paling sedikit petani menerima uang Rp5 juta. Angka ini jauh dari upah buruh pabrik sawit per bulan hanya Rp1,5 juta-Rp 2 juta.

“Demi Allah, dan rakyat Buol, saya tak akan memberikan izin untuk perkebunan sawit, tapi terbuka untuk investasi besar di sektor peternakan dan pertanian selain sawit,” kata bupati.

Temuan lain, wilayah hulu dari pemukiman desa-desa terkepung perkebunan sawit HIP. Sekitar lima kilometer dari perkebunan sawit, masih terlihat tutupan hutan lebat.

Tanaman sawit bahkan ditanam kurang 100 meter dari sempadan sungai. Sungai yang dulu memenuhi keperluan sehari-hari mengalami sedimentasi.

Dalam aturan, tanam sawit di sempadan sungai, bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38/2011 tentang Sempadan Sungai, yang mewajibkan ada buffer zone (zona penyangga), yakni 100 meter untuk sungai besar dan 50 meter sungai kecil.

“Jika hutan tetap dilepas, tiap hujan lebat akan banjir besar ketika kemarau terancam kekeringan,” kata Made Irawan, warga perkampungan Bali, Bukal.

Dia datang puluhan tahun lalu lewat program pemerintah. Namun kehidupan bersama ratusan transmigran Bali lain makin terancam karena banjir, termasuk tempat ibadah.

Adapun hasil bacaan data citra satelit Yayasan Madani Berkelanjutan pada 2018, ditemukan di areal dilepas untuk HIP masih ada hutan lebat, seluas 7.862 hektar atau 78,9%.

Temuan lain dari perkebunan sawit HIP, yakni, general manager perusahaan dijabat seorang Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut Aktif, bernama (Mayor) Ru. Hal ini bertentangan dengan aturan Undang-undang Nomor 34/2004 tentang TNI dalam Pasal 47 ayat (1) menyebutkan, prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.

Mongabay menghubungi, perusahaan melalui email yang tertetera pada website resmi perusahaan sejak awal Juni lalu, namun hingga kini belum ada respon.

Andi Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch, menyoroti, pelepasan kawasan oleh KLHK memunggungi bahkan menabrak Inpres Moratorium Sawit Presiden.

Dalam Inpres Moratorium, katanya, sudah jelas soal melakukan penundaan izin-izin baru dan evaluasi izin perkebunan lama. “Audit, review kebijakan dan tak ada pelepasan kawasan hutan untuk sawit. Semua dihentikan untuk evaluasi,” katanya.

Selain itu, katanya, terjadi tumpang tindih lahan dan menciptakan ketimpangan kepemilikan lahan antara masyarakat Buol dengan perusahaan.

“Bayangkan, satu perusahaan izin 10.000 hektar, masyarakat satu keluarga belum tentu punya setengah hektar. Di mana keadilan agraria? Keadilan sosialnya mana?”

Penolakan Pemerintah Buol, perlu jadi catatan penting pemerintah pusat dan provinsi. Mereka, kata Inda, seharusnya berpihak kepada masyarakat dan tak semena-mena mengeluarkan rekomendasi tanpa komunikasi dengan pemerintah daerah.

Sawit Watch mengundang, Kantor Staf Presiden (KSP), dihadiri Usep Setiawan, untuk forum grum diskusi (FGD) di Buol, terkait pelepasan kawasan menghasilkan catatan bahwa terjadi pembangkangan terhadap presiden. Tindakan itu, katanya, kontraproduktif terhadap paket kebijakan ekonomi pemerataan dan keadilan presiden.

 

 

 

Izin prinsip kadaluarsa?

Rusly, Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Bappeda Buol mengatakan, dasar izin prinsip sudah kadaluarsa.

Kemudian, Peraturan Menteri Pertanian, satu perusahaan maksimal boleh memiliki 20.000 hektar dalam satu provinsi. “Nah, HIP saja sudah memiliki 22.000 hektar.”

Sikap keberatan dan tak terima Bupati Buol, bagi Ansyori, fasilitator HIP, adalah hak dan pilihan setiap orang.

“Itu urusan mereka. Kan ada pihak yang punya kompetensi mengurus. Ada yang paham bagaimana struktur, bagaimana prosedur. Ternyata, sudah dilewati hingga keluar izin. Kami sudah lakukan semua sesuai prosedur, sesuai aturan regulasi yang berlaku dan sudah kita penuhin.”

Ansyori juga mempertanyakan, dasar izin prinsip HIP yang kadaluarsa dan tak berlaku lagi. Dia bilang, sebagai pihak “yang diberi” dan telah melewati berbagai tata administrasi dan memenuhi sesuai ketentuan, aneh kalau dikatakan izin HIP “mati.”

KLHK, katanya, punya Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) di daerah. “Jadi punya regulasi dan kompetensi sudah mengatakan clear begitu. Ada yang mati, ada hidup, silakan saja di uji saja, jangan di uji di publik. Publik hanya berpendapat. Opini.”

“Kalau merasa ada salah, ada prosedur jadi gak perlu opini. Untuk apa opini, buang energi, kalau memang ada keyakinan seperti itu ada prosedur kok, gak usah diributin begitu,” katanya.

 

  

Cerita izin HIP

Perizinan kebun sawit HIP dan PT Sebuku Inti Plantations (SIP) adalah anak perusahaan yang tergabung dalam Group perusahaan PT Cipta Cakra Murdaya (CCM). Ia tegas dalam dakwaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa, Siti Hartati Murdaya, pemilik HIP. Adapun CCM telah mendapatkan izin lokasi usaha perkebunan sawit di Buol total 75.090 hektar. Dasar hukum, sesuai surat keputusan Kantor Pertanahan Kebupaten Buol Toli-Toli No 400.-179/1994 dan Nomor 400-517/1995.

Kedua izin lokasi atas nama CCM seluas 75.090 hektar itu diproses berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No 2/1993 tertanggal 23 Oktober 1993 tentang tata cara memperoleh izin lokasi dan hak atas tanah bagi perusahaan dalam penanaman modal. Peraturan ini terbit atas dasar Keputusan Presiden No 97/1993 tentang tata cara penanaman modal.

CCM memohon izin lokasi pertama seluas 51.000 hektar ke Kantor Pertanahan Buol Tolitoli pada 19 Februari 1994, terbit 2 Juni 1994. CCM memohon perpanjangan izin lokasi pada 19 Mei 1995, terbit 7 Juni 1995, berakhir 7 Juni 1996.

CCM telah memperoleh surat persetujuan penanaman modal/persetujuan prinsip dari Menteri Pertanian Ub. Dirjen Perkebunan, tertanggal 29 Maret 1994.

 

Perkebunan sawit,PT Hardaya Inti Plantation di Kabupaten Buol. Foto: Litbang Bappeda Buol

 

Berdasarkan data Pemerintah Buol, izin lokasi kedua terbit tertanggal 17 November 1995, atas nama CCM sekitar 24.090 hektar. Awalnya, CCM memperoleh surat persetujuan prinsip dari Menteri Pertanian, U.b. Dirjen Perkebunan pada 29 Maret 1994.

Kemudian, CCM memohon, izin lokasi kepada Kantor Pertanahan Buol Tolitoli pada 8 November 1995, terbit 17 November 1995 seluas 24.090 hektar, berakhir 17 November 1996. Pada 21 Oktober 1996, CCM memohon perpanjangan izin lokasi, terbit pada 25 November 1996, berakhir 25 November 1997.

Hingga 1998, CCM berhasil membebaskan tanah dari warga seluas 22.780 hektar, kemudian, memohon sertifikat hak guna usaha (HGU) kepada BPN. Yang memohon HGU kepada BPN adalah HIP atas dasar pengalihan izin lokasi dari CCM pada 11 Maret 1997.

Hingga kini, aktivitas perusahaan oleh HIP, merupakan anak perusahaan CCM. HGU diberikan kepada HIP seluas 22.780 hektar pada 16 Juni 1998.

Pada 12 September 1995, CCM mengajukan permohonan pencadangan kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan seluas 31.896 hektar. Menteri Kehutanan pada 27 Februari 1997 menerbitkan persetujuan pencadangan kawasan hutan di Sulawesi Tengah seluas 31.750 hektar untuk perluasan perkebunan atas nama CCM.

Berita acara pengumuman pemancangan batas-batas hutan terbit 6 Desember 1997 seluas 31.750 hektar atas nama CCM yang diketahui Bupati Buol Tolitoli saat itu, Gumyadi.

Berita acara tata batas dari Departemen Kehutanan Kanwil Sulawesi Tengah tertanggal 23 Maret 1998 seluas 32.113,30 hektar.

Pada 17 Maret 1999, HIP mengajukan permohonan mendapatkan HGU seluas 33.083,30 hektar kepada Menteri Agraria/Kepala BPN melalui Kepala Kantor BPN Sulteng. Namun, permohonon belum disetujui karena terhalang ketentuan pembatasan luas lahan perkebunan untuk komoditas sawit dalam satu provinsi seluas 20.000 hektar.

Pada 16 April 1999, Kepala Kantor BPN Sulteng menjelaskan permohonan HGU HIP tidak dapat dipertimbangkan karena bertentangan dengan Instruksi Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5/1998 tertanggal 27 Oktober 1998 tentang pemberian izin lokasi dalam penataan penguasaan tanah berskala besar.

Izin lokasi HIP sudah melewati batas maksimal 20.000 hektar karena HGU HIP sudah 22.780 hektar.

Kantor BPN menganjurkan, HIP berkonsultasi langsung kepada Menteri Negara Agraria/ BPN maupun instansi terkait.

“Apabila perolehan tanah yang dimohon dari APL, dapat dengan pola plasma atau kemitraan dengan masyarakat sekitar,” kata Amiruddin.

Pada 2011, upaya suap perizinan dengan modus pengajuan permohonan izin lokasi kepada Bupati Buol atas nama PT Sebuku Inti Plantations seluas 4.500 hektar. Lahan itu terlanjur ditanami sawit– bagian dari lahan 33.083,30 hektar yang ada permohonan HGU-nya. “Padahal HIP dan SIP sama-sama anak perusahaan CCM kala itu” katanya.

Pelepasan kawasan hutan untuk HIP seluas 9.964 hektar berdasarkan SK MenLHK 517/2018. Dasar persetujuan pencadangan kawasan hutan seluas 31.750 hektar sudah ada sejak 27 Februari 1997 berdasarkan SK Menhut No. 238 yang diberikan kepada CCM).

Proses lama, sebelum mandeg, pemilik sawit HIP tersandung korupsi di KPK. Baru 4 Juni 2014, HIP sudah mengajukan permohonan tata batas ulang.

Adapun areal yang dapat ditindaklanjuti dengan penataan batas ulang seluas 10.028 hektar, dari sebelumnya permohonan HPK seluas 16.065 hektar. Di sana, ada hutan primer 6.037 hektar hingga harus dikecualikan dari penataan batas. Fakta ini berdasarkan Surat Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Nomor S.794 tertanggal 15 Desember 2015. Lalu, realisasi lahan setelah tata batas seluas 9.964 hektar sudah disetujui pada 19 Oktober 2017. (Bersambung)

 

Keterangan foto utama:   Kebun sawit tumbuh tepat di pinggiran sungai di Kabupaten Buol. Foto: Litbang Bappeda Buol

 

 

 

 

Exit mobile version