Hukum adat merupakan perangkat penting dari kepercayaan, tradisi yang menyuburkan nilai-nilai dan praktek bijak masa lampau. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 B Bab IV Perubahan ke-2 menyatakan ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Panglima Laot merupakan salah satu institusi hukum adat tertua, memperoleh legitimasi UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, menyusul Qanun Nomor 9/2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat dan Nomor 10/2008 tentang Lembaga Adat.
Hukum adat laot Aceh mengatur berbagai hal terkait aktivitas di sektor kelautan. Mulai dari penerapan batasan wilayah, hari pantang melaut, pelestarian lingkungan, pelaksanaan ritual, relasi sosial dan ketentuan lain.
Panglima Laot, memiliki tugas menegakkan aturan adat laot dan memberikan sanksi bagi pelanggar. Sanksi dapat berupa penyitaan hasil tangkapan hingga membayar denda dan pelarangan melaut untuk jangka waktu tertentu.
Panglima Laot dianggap sebagai salah satu sistem adat yang paling lestari di Nusantara. Sejumlah publikasi menyebutkan bagaimana peran penting Panglima Laot hingga kini.
Sayang, tidak cukup banyak rujukan yang mengurai tantangannya. Bahasan mengenai Panglima Laot berkisar pada keagungan sejarah, muatan hukum tata kelola sumber daya sistem tersebut semata. Padahal, terlepas dari peran penting Panglima Laot, tersingkap sejumlah tantangan.
Melacak Asal Mula Panglima Laot
Panglima laot bermula pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Kerajaan Islam Aceh (1607-1636). Kala itu, Panglima Laot bertugas memobilisasi masyarakat pesisir untuk berperang serta memungut biaya cukai pada kapal-kapal yang singgah di pelabuhan.
Pada masa setelah kemerdekaan diraih, tugas dan peran Panglima Laot beralih sebagai pemimpin adat dan mengatur kebiasaan yang berlaku dibidang penangkapan ikan di laut, termasuk mengatur wilayah penangkapan, penambatan perahu dan penyelesaian konflik.
Seiring waktu, Panglima Laot mengalami perubahan. Secara tradisional masyarakat Aceh hanya mengenal Panglima Laok Lhok atau wilayah pesisir pantai, dimana nelayan berdomisili dan melakukan usaha penangkapan ikan. Lhok merujuk pada satu desa pantai, beberapa desa (kemukiman) satu kecamatan atau satu kepulauan. Panglima Laot Kabupaten kemudian terbentuk saat musyawarah Panglima Laot se-Aceh di Kota Langsa tahun 1982. Struktur baru tersebut dimaksudkan memudahkan koordinasi dan penyelesaian sengketa antar Lhok.
Pada tahun 2000, lewat pertemuan Panglima Laot di Kota Sabang dan Banda Aceh, Panglima Laot Provinsi juga dibentuk.
Panglima Laot, Tantangan dan Perannya dalam Konteks Kekinian
Namun, nyatanya, di beberapa wilayah (Lhok) pelaksanaan hukum adat dan peran Panglima Laot tidak berjalan seperti seharusnya. Pengetahuan mengenai hukum adat laot kian tergerus, khususnya di generasi yang lebih muda. Tanggung jawab yang diemban Panglima Laot tidak disokong kapasitas yang setara.
Dahulu, posisi Panglima Laot dipegang oleh figur yang memiliki karisma, wawasan dan pengetahuan mumpuni di bidang kelautan. Belakangan ini Panglima Laot tidak lagi selalu dijabat pemimpin representatif.
Dengan kapasitas yang tidak memadai, tidak mudah bagi Panglima Laot untuk menjalankan fungsi sebagaimana diharapkan. Akibatnya, berbagai pelanggaran atas hukum adat, misalnya penangkapan dan penggunaan alat tangkap yang destruktif, lumrah terjadi.
Secara kelembagaan, Panglima Laot tidak mendapatkan akses yang cukup untuk membangun kapasitas pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dari sisi pembiayaan. Tidak ada alokasi anggaran khusus untuk Pemangku Adat Panglima Laot maupun pengelolaan lembaga, dari Lhok sampai Kabupaten.
Umumnya kebutuhan operasional Panglima Laot mengandalkan pungutan bersumber dari nelayan yang bergantung pada hasil tangkapan musiman. Tidak jarang bahkan biaya harus dipenuhi sendiri oleh Panglima Laot sendiri. Tentu saja tidak mudah bagi sebagian Panglima laot yang juga hidup dalam keterbatasan. Akibatnya, jabatan Panglima Laot tidak menarik bagi mereka yang berkecukupan.
Tantangan lain berkaitan dengan ketidakjelasan batasan wilayah tangkapan dan kelola antar lhok maupun batas antara wilayah adat dan batas administratif pemerintah. Saat ini nelayan dinilai bebas menangkap ikan di mana saja di seluruh perairan Aceh. Sementara dari konteks penyelesaian sengketa, nelayan tersebut akan berhadapan dengan Panglima Laot setempat di wilayah sengketa terjadi.
Mencermati sejumlah tantangan tersebut, dibutuhkan upaya serius memperkuat kelembagaan Panglima Laot dan mengembalikan peran dan fungsinya sebagai bagian dari struktur adat untuk memimpin pelaksanaan hukum adat laut.
Selain itu, butuh kejelasan peran dan fungsi Panglima Laot Kabupaten dan Provinsi dalam koordinasi lembaga adat laot dan pemerintah. Penguatan kelembagaan juga berkaitan dengan internalisasi Qanun Nomor 9/2008 tentang Pembinaaan Adat Istiadat dan Qanun Nomor 10/2008 tentang Lembaga Adat kepada Nelayan.
Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan ekonomi kelembagaan dan aparatur Panglima Laot mutlak dibutuhkan, agar Panglima Laot dapat melaksanakan fungsinya secara optimal. Guna mendukung pengawasan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan dibutuhkan kerjasama antara Panglima Laot dengan Pemerintah terkait kejelasan batas wilayah dan pembagian peran dalam fungsi pengawasan terhadap pelarangan berbagai aktivitas yang merusak.
Sejatinya, kebijakan dan program kelautan-perikanan berkelanjutan harus turut mengungkit kapasitas Panglima Laot, nelayan dan masyarakat pesisir. Panglima Laot semestinya ditempatkan sebagai mitra Pemerintah, tidak saja pada aspek pengawasan, namun dalam ranah perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program secara keseluruhan.
Demikian, pengakuan Panglima Laot seyogyanya dilekatkan juga dengan kebijakan pendanaan.
Tanpa upaya sunggguh-sungguh memperkuat Panglima Laot, sulit mengharapkan institusi ini memberi andil atas tata kelola laut. Bukan mustahil, kelak hanya ada sebagai formalitas semata!
* Ina Nisrina (Senior Coordinator Aceh) dan Suryani Amin (Knowledge Management Coordinator) pada Wildlife Conservation Society Indonesia Program. Isi artikel ini merupakan tanggung jawab penulis