- Hutan Adat Pikul Pengajid seluas 100 hektar berada di Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, memiliki potensi andalan pohon tengkawang
- Hutan yang menjadi tempat riset sejumlah peneliti ini memiliki potensi tengkawang unggulan yang berbuah setiap tahun. Sementara, jenis lainnya berbuah antara tiga hingga tujuh tahun
- Kelompok Tani Tengkawang Layar telah mengolah tengkawang menjadi mentega. Mereka dapat penawaran dari perusahaan kosmetik ternama Indonesia untuk mengembangkan produk dari minyak tengkawang. Perusahaan swasta dari luar pun ingin menggunakan tengkawang sebagai salah satu penguat rasa produk cokelat
- Potensi tengkawang yang menjanjikan ini belum begitu dikenal. Terlebih, tanaman maskot Kalimantan Barat ini tidak termasuk dalam jenis tumbuhan yang dilindungi berdasarkan Permen LHK Nomor P.106/2018
Baca: Hutan Adat Pikul Pengajid, Kemilau Tengkawang yang Menarik Perhatian Peneliti
Nyala api melahap kayu bakar terlihat jelas di bawah tungku. Di atasnya, sebuah panci kukusan setinggi satu meter mengeluarkan uap ketika tutupnya dibuka. Aroma manis dan wangi menghambur ke udara.
“Ini proses pengukusan. Setelah ini akan jadi mentega,” tukas Damianus Nadu [58]. Nadu adalah Ketua Kelompok Tani Tengkawang Layar. Bisa jadi ini kelompok tani pengolahan tengkawang satu-satunya di Kalimantan Barat. Pasalnya, belum banyak yang melirik komoditi ini sebagai potensi. Musim panen tengkawang berkisar tiga hingga tujuh tahun adalah salah satu alasannya. Dalam kultur masyarakat Dayak, minyak tengkawang digunakan untuk ritual-ritual adat.
Dusun Melayang, Desa Sahan, Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang, memiliki jenis tengkawang unggul. Tanamannya dapat berbuah setahun sekali. Tengkawang [Shorea spp.] adalah pohon asli hutan Indonesia bagian barat. Jenis ini tumbuh baik di hutan hujan tropis dengan tipe curah hujan A [monsoonal] dan B [ekuatorial], hingga ketinggian 1300 m dpl [Martawijaya et al. 1981].

Masyarakat Dayak Kalimantan Barat mengenal tanaman ini dengan nama lokal, ajul, engkabang, engkabang bintang, engkabang rambai, engkabang tukul, engkabang tungkul, lelanggai, seput undai, dan tegelam.
“Tumbuhnya pun mudah,” jelas Nadu. Tanaman ini banyak terdapat di tembawang atau hutan kelola masyarakat Dayak. Tanaman ini diwariskan nenek moyang masyarakat adat, dan kebanyakan dikelola komunal. Di Dusun Melayang, warga mulai membudidayakan karena memiliki nilai ekonomi yang bagus.
Nadu merupakan tokoh masyarakat di Desa Sahan. Di lahan pribadinya, dia membudidayakan tengkawang. Begitu juga belasan anggota kelompok taninya.
Mereka didampingi Institute Riset dan Pengembangan Hasil Hutan [Intan]. Tengkawang mereka dapat banyak penawaran. Salah satu perusahaan kosmetik ternama Indonesia melirik untuk mengembangkan produk dari minyak tengkawang. Perusahaan swasta asing ingin menggunakan tengkawang sebagai salah satu penguat rasa cokelat.
Baca juga: Bagi Masyarakat Iban Sungai Utik, Hutan Adalah Ibu

Pabrik tengkawang
Pabrik tengkawang merupakan mimpi warga, agar dapat mengembangkan potensi hasil hutan bukan kayu. Beberapa bagian pabrik milik kelompok tani ini sudah permanen, dilengkapi pendingin udara. Nadu beranjak dari ruang pengukusan, menuju ruangan pengolahan biji yang menghasilkan minyak. “Kami berupaya menerapkan sistem produksi steril, jadi harus pakai tutup kepala, dan baju khusus,” katanya.
Pabrik ini juga berfungsi sebagai pusat belajar masyarakat adat berbagai daerah untuk membuat margarin tengkawang. Pabrik ini juga dampingan lembaga Intan dan Samdhana Institute. Mereka kini memiliki gudang penyimpangan komoditi mentah, rumah pengering, serta ruang penyimpanan produk akhir.
Mesin press minyak tengkawang dan mesin pembuat tepung tengkawang yang dimiliki kelompok tani merupakan bantuan dari Fakultas Kehutanan Univesitas Tanjungpura, Pontianak. Nadu bilang, mereka masih terus berproses untuk mengembangkan industri hilir dari minyak tengkawang. Selain menjadi minyak dan tepung, tengkawang dapat menjadi bahan dasar kue, es krim, produk kosmetik, dan obat herbal.

Saat ini, mesin press masih manual. Untuk mengeluarkan minyak tengkawang harus memutar tuas sehingga biji tengkawang tertekan dan mengeluarkan minyak. Minyak ditampung wadah khusus. Nadu bilang, dalam waktu dekat akan ada bantuan alat press menggunakan listrik sehingga menghasilkan minyak lebih optimal.
“Ibu-ibu sudah dilatih untuk membuat kue, cokelat dan eskrim. Pasarnya masih dicari,” kata Nadu optimis.
Ampas atau bungkil tengkawang pun bermanfaat, digunakan sebagai pakan kambing dan babi milik anggota kelompok tani. Bungkil tengkawang merupakan hasil ekstraksi lemak biji. Di Eropa, sebagi pakan sapi daging sudah dilakukan sejak 1940-an.

Panen
Panen tengkawang tak sembarang dilakukan. Masyarakat harus membuat prosesi adat dan pembagian kerja. Tetua adat menentukan kapan panen, dan siapa saja yang terlibat. Tidak terkecuali perempuan dan anak-anak. Prosesi ini juga mengatur pembagian hasil, merata dan adil.
Di masa lalu, masyarakat mengolah biji tengkawang sebagai minyak goreng, lampu, juga pengobatan. Proses ekstraksi dilakukan tersembunyi dan jauh dari permukiman.
Riset Lembaga Intan menyebutkan, bagian lain pohon tengkawang dapat dimanfaatkan. Getahnya dahulu digunakan sebagai bahan bakar penerangan dan penambal perahu. Daun segar untuk bungkus penganan. Adalah kue tumpe, yang disediakan dalam upacara adat dan tidak bisa digantikan yang menggunakan daun tengkawang.
Masyarakat punya cara membudidayaan tanaman ini. Mereka menyemai di pekarangan rumah, setelah tumbuh satu meter dipindahkan.
Di hutan adat Pikul Pengajid, di Desa Sahan, yang luasnya 100 hektar, ada pohon tengkawang besar, dapat dipeluk lima lelaki dewasa. Siklus hidupnya butuh periode antara 3 hingga 7 tahun untuk berbuah. Kondisi ini menyebabkan penurunan jumlah ditambah maraknya penebangan liar di hutan Kalimantan. Termasuk alih fungsi menjadi perkebunan sawit, hutan tanaman industry, dan tambang.
Nadu jadi saksi, ketika hutan di sekitar desanya ditebangi perusahaan kayu. “Saya salah satu orang yang menentang hutan adat kami ditebang. Tumbuhnya ratusan tahun, habisnya sebentar,” katanya.

Industri hilir
Jika Desa Sahan sudah melirik potensi tengkawang, di tempat lain komoditi ini belum begitu dikenal. Di Kapuas Hulu, salah satu daerah penghasil tengkawang pun lebih melirik budidaya kratom. Kratom atau Mitragyna speciosa adalah pohon cemara tropis di keluarga kopi asli Asia Tenggara. Layaknya teh, masyarakat mengolah daunnya untuk dijadikan herbal.
Masyarakat mulai kesulitan menjual tengkawang ke luar negeri, tersandung aturan Permendag Nomor 44 Tahun 2012. “Pelarangan ekspor buah tengkawang dilakukan tidak dibarengi persiapan industri hilir,” kata Direktur Intan, Deman Huri.
Industri pengolahan pun terbatas. Jika panen, seperti yang terjadi awal tahun ini, buahnya melimpah. Masyarakat menjual ke pengepul, dan pengepul menjual ke salah satu pabrik pengolahan minyak sawit di Siantan, Pontianak. Satu kilogram, dihargai mulai Rp3.500.
Padahal, selain untuk mengalihkan ketergantungan pada minyak sawit, sebagai minyak nabati, tengkawang punya manfaat lebih. Istimewanya, tanaman ini di dunia hanya terdapat di daratan Kalimantan dan Afrika. Namun, nilai ekonomi tengkawang menurun, mengikuti harga cokelat. “Ditakutkan, tanaman ini akan diganti dengan kodomitas lain yang lebih bernilai ekonomis,” ujarnya.
Apalagi, pohon tengkawang tidak masuk daftar Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi Permen LHK Nomor P.106/2018. Deman mengatakan, pemerintah harus mengambil langkah cepat untuk menyelamatkan maskot Kalimantan Barat tersebut. “Tengkawang tungkul sempat menjadi komoditi andalan Kalimantan Barat,” jelasnya.
Di awal 1990-an, ekspor tengkawang mencapai 3519.2 ton dengan nilai US$ 7.707.800 [Winarni et al, 2005].