Mongabay.co.id

Forum Diskusi Mongabay: Menanti Implementasi Perhutanan Sosial di Kotawaringin Barat

Lahan-lahan kosong terus ditanami. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay/ Indonesia

 

 

 

 

 

 

 

Dulu, sebagian warga di sekitar Sungai Arut dan Sungai Lamandau, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, mencari hidup di hutan. Areal ‘terlarang’, seperti suaka margasatwa pun biasa jadi tempat perambahan, demi memperoleh kayu, jelutung, dan ikan-ikan di sungai maupun rawa sekitar.

Kini, mereka tak lagi berani masuk hutan apalagi ke Suaka Margasatwa (SM) Lamandau, yang dekat tempat mereka tinggal. Mereka memilih jalur yang disediakan pemerintah, membentuk kelompok tani, untuk mendapatkan hak kelola hutan melalui perhutanan sosial dengan skema hutan Kemasyarakatan (HKm). Sayangnya, usulan mereka sejak 2012, tak kunjung mendapatkan kejelasan hingga kini.

Baca juga: Cerita Konservasi dari Dea Tanjung Putri (Bagian 1)

 Problema itu terungkap dalam forum diskusi bertema Tantangan Mewujudkan Perhutanan Sosial di Kabupaten Kotawaringin Barat, yang dihelat Mongabay, bekerja sama dengan Yayasan Orangutan Indonesia (Yayorin), di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, akhir Mei lalu.

Sejumlah anggota kelompok tani pengusul HKm, di kawasan penyangga Suaka Margasatwa Lamandau, Kotawaringin Barat, hadir dalam forum diskusi ini. Mereka dari Kelompok Tani Sepakat, Sungai Gandis, Mawar Bersemi, Tani Sejati, dari Desa Tanjung Putri dan Kelurahan Mendawai Seberang, Kecamatan Arut Selatan. Ada juga dari Komunitas Masoraian, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kotawaringin Barat.

Kegiatan ini juga dihadiri pegiat organisasi masyarakat sipil, seperti dari Orangutan International Foundation (OFI), Orangutan Foundation UK, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kotawaringin Barat, dan dari kalangan pemerintahan.

“Kami dulu perambah hutan, sekarang masuk wilayah HKm. Kami tahu persis wilayah itu bagaimana. Kami ingin izin itu datang. Kami akan menggali potensi di sana,” kata Yanto, dari Kelompok Tani Sejati, Pangkalan Bun.

Abdul Jabar, dari Kelompok Tani Sungai Gandis, menuturkan, mereka memperjuangkan izin usaha pengelolaan (IUP) HKm, sejak prosedur memperoleh status itu harus melalui rekomendasi pemerintah daerah. “Karena bupati kemarin tidak respon. Dalam artian, apa masalah di daerah ini kami tidak mengerti,” katanya.

Mereka mengeluhkan perizinan HKm yang tak kunjung datang. “Kendala kami hanya izin. Sudah beberapa tahun, mulai 2012, sampai sekarang. Yayorin sudah mendampingi masyarakat cukup luas, dari kabupaten, provinsi, pusat. Kemarin kami sudah kirimkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sampai sekarang, belum ada kepastian.”

 

Warga Tanjung Putri, usai tanam pepohonan dengan menghijaukan lahan kritis. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

Kenapa HKm?

Guna memperoleh IUPHKm, beberapa kelompok tani didampingi Yayorin. Eddy Santoso, Direktur Yayorin mengatakan, memulai konservasi kawasan penyangga bagian timur Suaka Margasatwa Lamandau pada 2009. Tujuan konservasi ini, katanya, agar suaka yang ditetapkan 1998 itu terjaga. “Jangan sampai teralih fungsi seperti jadi perkebunan sawit,” katanya.

Setelah melalui rangkaian studi dan menyimak pendapat dari Pemkab Sukamara dan Kotawaringin Barat, katanya, perumusan model mengatasi gangguan habitat orangutan dengan melibatkan masyarakat sekitar.

“Intinya, orangutan selamat, juga didukung masyarakat. Masyarakat mendapat komposisi penting terhadap sumber daya hutan. Artinya, ekonomi meningkat. Kami mendapat skema HKm,” kata pria juga Ketua Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan (MSDP), Fakultas Pertanian, Universitas Antakusuma, Pangkalan Bun ini.

Pemilihan skema HKm, katanya, juga dilakukan setelah mereka menggelar studi bersama World Agroforestry (ICRAF) “Karena kita ketahui wilayah sepanjang daerah penyangga itu gambut. Dengan rata-rata kedalaman 134 sentimeter, dan penghitungan emisi dulu dilakukan ICRAF sampai angka 70 ton per hektar,” katanya.

Tak lama, agenda konservasi kawasan penyangga wilayah timur Suaka Margasatwa Lamandau, mulai, lewat proyek yang disebut Kemitraan Pelestarian Ekosistem Lamandau (KPEL). Proyek ini, melibatkan beberapa lembaga, termasuk Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalteng. Dalam KPEL dirumuskan, masyarakat jadi komponen pendukung pelestarian hutan.

Saat kegiatan berjalan, masyarakat sekitar masih bisa beraktivitas di suaka margasatwa. Meski begitu, rambu-rambu jelas, tak boleh tanam petik (cutting) vegetasi di kawasan. “Kita berharap, masyarakat lambat laun dapat beraktivitas keluar kawasan,” kata Eddy.

Pada 2012, kelompok pengusul HKm di kawasan penyangga Suaka Margasatwa Lamandau mengakomodasi program penurunan emisi dari deforestasi dan perusakan hutan (REDD). Saat program REDD jalan, katanya, ada peningkatan stok cadangan karbon tiga ton, atau naik 70 ton ke 73 ton per hektar, di areal kelompok pengusul HKm.

Demi menjaga dan mempertebal stok karbon di kawasan itu, kelompok pengusul HKm megembangkan berbagai upaya, seperti menjaga 30.000 jelutung di areal 450 hektar oleh Kelompok Sepakat. Di Kelompok Tani Sejati seluas 200 hektar. Kelompok Sungai Gandis menginisiasi praktik integrasi pertenakan sapi dengan tanaman hutan. Mereka juga mengembangkan budidaya ikan air tawar, dengan keramba jaring apung, kolam tanah, dan kolam terpal. “Kemudian ada inovasi juga dari masyarakat, keramba kolam tanah.”

Komunitas Masoraian, tengah mengusulkan memperoleh izin HKm, untuk pengembangan pariwisata susur sungai dan danau. Danau Masoraian, sudah beberapa kali membuka trial trip wisata. Di sini, pengunjung akan memperoleh pengalaman menikmati kesunyian danau, keasrian hutan, tinggal di lanting, dan atraksi menangkap ikan secara tradisional.

“Hanya jasa lingkungan. Enggak ada yang lain. Karena emang di situ gambut,” kata Gusti Samudra, Ketua Komunitas Masoraian.

Eddy mengklaim, upaya masyarakat ini lumayan membuahkan hasil, ditandai nyaris tak ada lagi ancaman kebakaran berarti, kecuali di Sungai Pasir, Kabupaten Sukamara.

 

Warga Tanjung Putri, Lamandau, hidup dengan wilayah rawa gambut. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

Tak mudah

Dalam mengusulkan HKm, proses tak mudah. Eddy bilang, ada pemahaman di pemangku kepentingan, bahwa HKm itu seperti skema hutan tanaman rakyat (HKm), di mana masyarakat diatur boleh tebang pohon. Hal inilah, katanya, yang membuat upaya mendapatkan rekomendasi pemerintah daerah molor bertahun-tahun.

“Kami (ragu) terus, apa enggak, terus apa enggak. Kelompok ingin mendapatkan dukungan bisa mengelola. Kami juga percaya masyarakat bisa mengelola. Di beberapa tempat juga ada contoh masyarakat bisa mengelola,” kata Eddy.

Alamolyani, dari Kelompok Sepakat mengatakan, mulanya, masyarakat sulit menerima skema HKm. Pada fase awal, kelompok terbentuk, anggota masih masuk di Suaka Margasatwa Lamandau. Saat tu, BKSDA masih memberi toleransi bagi warga memanfaatkan sumber daya alam. “Kita punya cadangan wilayah yang bisa diakses untuk kegiatan seperti memantung (mencari getah jelutung) dan ikan,” katanya.

Tak lama, warga yang biasa mencari jelutung dan ikan pun bergabung dan setuju membentuk kelompok dinamai Sepakat. Kemudian anggota kelompok ada keluar, ada juga yang masuk, seiring proses perizinan dan administrasi pengusulan HKm.

Pasang-surut semangat anggota kelompok pun terjadi. Satu sisi, usaha-usaha ekonomi warga tak langsung memperoleh hasil memuaskan. Sisi lain, isu kehadiran plasma sawit, lumayan menggoda. “Sampai sekarang enggak jelas juga. Malah ada isu lagi, kawasan berstatus APL (alokasi penggunaan lain-red) yang berbatasan langsung dengan mata air kami mau dialihfungsikan,” katanya.

 

Ancaman penguasaan lahan perorangan

Muhdari, Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Mendawai Seberang, berpendapat, pemerintah harus tegas mengalokasikan peruntukan areal kawasan hutan tersisa. Secara de facto, saat ini, baik perorangan atau kelompok sudah menduduki kawasan yang berstatus APL dan hutan produksi (HP) di sana.

“Di hutan produksi di Mendawai Seberang ini sudah habis dibagi-bagi oleh kelompok. Ini diakui oleh kelurahan dulu. Sekarang, kalau hutan produksi, kita arahkan pada komoditas tertentu, program tertentu. Mumpung ini masih belum ada,” katanya.

Dari cerita Muhdari, ada juga ancaman lahan-lahan kelompok jatuh ke penguasaan perseorangan yang kuat secara ekonomi. “Di hutan produksi itu sudah ada kelompok-kelompoknya. Bahkan, di sana sudah masuk alat-alat berat. Rata-rata selesai. Kalau masyarakat Mendawai Seberang itu tidak punya uang untuk mengupah alat berat. Lahan itulah yang dikasih sebagai imbalannya,” katanya.

Kondisi hutan di Mendawai Seberang, terutama di sekitar Jalan Poros Pangkalan Bun–Sukamara, sudah terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok dengan sekat parit dan jalan. “Pemilik sudah ada. Cuma sampai sekarang di lokasi itu belum diterbitkan SKT (surat keterangan tanah-red). Kalau SK kelompok ada.”

Mardani, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengingatkan, jangan sampai skema perhutanan sosial dimanfaatkan perorangan atau kelompok orang yang kuat. “Bicara perhutanan sosial, itu untuk masyarakat. Untuk sumber penghidupan. Jangan sampai untuk melegalisasi kawasan hutan jadi kepemilikan pribadi,” katanya.

Dia  juga menyesalkan di Kotawaringin Barat, belum ada peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat. Kondisi ini, , menjadi kendala utama masyarakat adat memperoleh pengakuan hutan dan wilayah adat.

Masalah seperti yang diungkapkan Mardani kini dirasakan pengelola Taman Wisata Hutan Jurung Tiga, Desa Pasir Panjang, Pangkalan Bun. Secara legal, Jurung Tiga belum mendapat pengakuan kuat atas tanah yang mereka kuasai. Padahal, wilayah itu, merupakan tanah leluhur dari beberapa warga Dayak Pasir Panjang.

“Kami mencoba membuka Jurung Tiga, tidak mengurangi konsep hutan. Kami keluarga besar, lebih kuat untuk mengklaim di sekitar Jurung Tiga, sebagai tanah adat. Situsnya masih ada. Selain tanam tumbuh, di situ masih ada kuburan yang umurnya sudah ratusan tahun,” kata Sugeng, perwakilan pengelola Jurung Tiga.

Camat Arut Selatan, Syahruddin membenarkan, saat ini ada beberapa lahan, tidak efektif. Sebagian lahan itu sebenarnya dalam penguasaan perusahaan. Beberapa waktu lalu, katanya, dia sudah mengundang rapat untuk meninjau ulang di Tanjung Terantang, Tanjung Putri, dan Kumpai Batu Bawah.

“Itu ditinjau ulang. Ada dua perusahaan di Tanjung Putri, Terantang dan Kumpai Batu Bawah. Mungkin tak bisa berkegiatan karena tidak bisa mengoversi hutan produksi jadi hutan produksi konversi dan APL. Ada beberapa APL yang tak dikerjakan.”

Dia berharap, semua pemangku kepentingan bisa saling berkoordinasi dan mendukung penuntasan penguasaan lahan maupun hutan. Apalagi, katanya, beberapa wilayah akan terkena program restorasi gambut. “Di Mendawai Seberang, Raja Seberang sampai Kotawaringin Lama, dengan kegiatan pembuatan sekat kanal, sumur bor, di samping ada stimulan pemberdayaan masyarakat peduli api.”

Fajar Dewanto, Field Director OFI, menyatakan, skema perhutanan sosial sebenarnya lebih mudah dicerna masyarakat. Bertolak dari pengalaman bersama Komunitas Masoraian, katanya, proses cukup panjang, mulai penguasaan wilayah, mengatur penggunaan alat tangkap ikan, dan upaya pengembangan.

“Tak ada skema cukup baik. Menerjemahkan ke masyarakat juga rumit. Bicara karbon, kita jual angin atau apa. Dengan perhutanan sosial ini lebih mudah dicerna masyarakat. Sangat sayang hari ini tidak ada KPHP (Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi-red). Karena yang punya wilayah hutan produksi ini KPHP,” katanya.

Dia mendorong, KPHP bisa maju bersama kelompok pengusung perhutanan sosial. “Masyarakat ingin membantu menyelamatkan hutan. Ingin berkegiatan di hutan tanpa merusak, tapi memberikan manfaat.”

 

Keterangan foto utama:    Lahan-lahan kosong terus ditanami warga di Tanjung Putri, Lamandau. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay/ Indonesia

 

Hasil panen warga dari keramba. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version