Mongabay.co.id

Mampukah Perkampungan Tua Bertahan di Tepi Sungai Musi?

Rumah-rumah panggung yang masih bertahan di kampung 14 Ulu, Palembang. Foto: Nopri Ismi

 

 

Gagasan memindahkan perkampungan tua di tepian Sungai Musi, di Palembang, pernah muncul setelah era Reformasi 1998. Ide itu datang karena kondisi perkampungan-yang dinilai kumuh. Namun, sejumlah tokoh masyarakat Palembang menolak. Salah satunya budayawan Djohan Hanafiah [1939-2010]. Dia mengusulkan perkampungan tua ditata dan dijadikan objek wisata, bukan digusur.

Dalam perkembangannya, mampukah kampung-kampung tua ini bertahan dari arus pembangunan?

“Bisa saja tidak dapat bertahan, sebab saat ini pembangunan di sekitar Sungai Musi terus berjalan, membuat sejumlah perkampungan tua tergusur. Misalnya, sekarang ada pembangunan jembatan yang menghubungkan Palembang Ulu dan Palembang Ilir,” kata Muhammad Hairul Sobri, Direktur Eksekutif Walhi [Wahana Lingkungan Hidup Indonesia] Sumatera Selatan, Sabtu [29/6/2019].

Baca: Kejayaan Bahari dan Kesadaran yang Hilang Merawat Sungai Musi

 

Rumah-rumah panggung yang masih bertahan di tepi Sungai Musi, tepatnya di Kampung 14 Ulu, Palembang, Sumatera Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Saat ini, sudah ada jembatan baru yang menggusur perkampungan tepian Sungai Musi, yakni Jembatan Musi II, Jembatan Musi IV dan Jembatan Musi VI. Masih ada dua lagi jembatan yang akan dibangun yakni Jembatan Musi III dan Jembatan Musi V.

Salah satu pembangunan yang menghilangkan kampung tua, yang diduga kota yang di masa Kerajaan Sriwijaya dan sempat menjadi pusat pemerintah Kesultanan Palembang, adalah Kuto Gawang.

Oleh pemerintahan Soekarno, Kuto Gawang dijadikan lokasi pabrik PT. Pupuk Sriwidjaya. Pabrik ini diresmikan pada 24 Desember 1959. “Artinya, jika arah pembangunan tidak menghormati dampak lingkungan dan budaya masyarakat, penggusuran akan terjadi,” lanjutnya.

Jelasnya, segala bentuk perencanaan pembangunan harus berbasis daya dukung dan daya tampung lingkungan. Permasalahan akan muncul seiring perubahan tata ruang yang hanya mementingkan kepentingan modal.

Baca: Asian Games dan Jejak Kehidupan Bahari di Sungai Musi

 

Perahu ketek masih menjadi angkutan utama di Sungai Musi untuk jakur Palembang Ilir dan Palembang Ulu. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia, kampung atau sebagian wilayah kampungnya berada di tepian Sungai Musi sekitar 33 kampung. Ada Palembang Ulu; 1 Ulu, 2 Ulu, 3-4 Ulu, 5 Ulu, 7 Ulu [Kampung Kapitan], 10 Ulu, 11 Ulu, 12 Ulu, 13 Ulu 14 Ulu [Al-Munawar], dan Plaju. Di Palembang Ilir; Pulo Kerto, Gandus, Karang Jaya, Karang Anyar, 36 Ilir, 35 Ilir, 32 Ilir, 30 Ilir [Suro], 29 Ilir, 28 Ilir, 16 Ilir, 13 Ilir, Kuto Batu, Lawang Kidul, 5 Ilir, 3 Ilir, 2 Ilir, 1 Ilir, Sei Selincah, Sei Selayur dan Sei Lais.

Hampir semua kampung tersebut terbentuk ratusan tahun lalu. Setidaknya di masa Kesultanan Palembang dan pemerintahan Belanda.

Syamsul Asinar Radjam dari INAgri [Institut Agroekologi Indonesia], juga mencemaskan tergusurnya kampung-kampung tua tepian Sungai Musi di Palembang. “Sangat mungkin tergusur. Desa saja sudah banyak hilang akibat pembangunan yang tidak berpijak pada kepentingan lingkungan dan budaya. Apalagi perkampungan di kota,” katanya.

Ada dua sebab yang memungkinkan sebuah kampung akan digusur. Pertama, kampung itu dicitrakan kumuh dan tidak akan aman sehingga perlu dipindahkan ke permukiman baru. Kedua, direbut pelaku usaha untuk kepentingan pariwisata karena pemandangannya atau industri.

Sutrisman Dinah, jurnalis dan aktivis lingkungan yang sering melakukan jelajah Sungai Musi mengatakan, mungkin 10-20 tahun ke depan sejumlah kampung di tepian Sungai Musi hilang atau berubah. “Menurut saya, kampung-kampung yang hilang atau berubah akan terjadi di sekitar Pelabuhan Boom Baru, Sekanak, dan Gandus.”

Baca: Wow! Sungai Musi Bisa Diselamatkan dengan Pohon Bambu

 

Jembatan Musi VI yang membentang di Sungai Musi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Revitalisasi peradaban sungai

Terkait ancaman tersebut, sebaiknya apa yang harus dilakukan pemerintah dan masyarakat Palembang? “Revitalisasi peradaban tepi sungai di Palembang. Penataan, pembangunan, pengembangan komunitas tepi Musi dengan pendekatan kreatif,” kata Syamsul.

“Memang belum ada model yang eksis dapat ditiru. Tapi strateginya, mungkin dapat dipikirkan bersama agar pembangunan tidak melenyapkan kampung-kampung dan jejak peradaban tepi Sungai Musi,” lanjutnya.

Hairul Sobri menekankan menjaga tradisi dan budaya masyarakat kampung dan meningkatkan ekonomi masyarakatnya dengan potensi yang ada. “Tradisi yang harus dilestarikan misalnya, penghormatan terhadap sungai dengan air sebagai sumber penghidupan seperti di masa lalu.”

Ini kerja berat, sebab kita harus mengubah paradigma pembangunan yang sudah ditawarkan sejak pemerintah kolonial Belanda. Terancamnya kampung-kampung tua di tepian Sungai Musi merupakan buah dari pemikiran pembangunan yang berorientasi daratan. “Jadi, untuk menyelamatkan kampung-kampung tua itu pemikiran bahari harus dihidupkan kembali,” kata Sutrisman Dinah.

Baca juga: Warna-warni Bantaran Anak Sungai Musi, Upaya Meningkatkan Kesadaran Masyarakat?

 

Dinding air dan badan jalan, serta pagar dan seng rumah warga di tepian Sungai Sekanak dicat warna-warni. Upaya ini menghilangkan citra anak Sungai Musi yang kumuh. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Beberapa waktu lalu pemerintah Sumatera Selatan melakukan upaya menjadikan sejumlah kampung tua di tepian Sungai Musi sebagai objek wisata. Dikutip dari Kompas, disebutkan lima kampung tua di tepian Sungai Musi yang dikembangkan sebagai objek wisata. Ada kampung Al-Munawar yang biasa disebut “kampung Arab” karena masyarakatnya berasal atau keturunan Yaman. Al-Munawar merupakan nama pemimpin terakhir komunitas Arab di masa pemerintahan Belanda. Saat ini sudah ada lima homestay bagi wisatawan.

Kemudian Pulau Kemaro dan 10 Ulu sebagai lokasi wisata religi etnis Tionghoa. Selanjutnya, 1 Ulu sebagai lokasi wisata kuliner, dan 3-4 Ulu sebagai kawasan wisata tekstil.

Sementara pemerintah Kota Palembang lebih fokus pada penataan sanitasi dan mengatasi persoalan sampah, khususnya di anak-anak Sungai Musi. Setiap pekan, aparat pemerintah dan masyarakat melakukan pembersihan anak Sungai Musi pada setiap kampung.

 

Penanaman bambu di sepanjang DAS Sungai Musi sudah dilakukan sebanyak 2.000 pohon. Tujuannya, mengembalikan kondis Sungai Musi seperti dahulu. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Harnojoyo, Wali Kota Palembang, pada 2018 lalu, dikutip dari Kaganga.com, menargetkan normalisasi dan restorasi 300 anak Sungai Musi yang ada di Palembang. Harnojoyo ingin mengembalikan julukan “Venesia dari Timur” karena keberadaan sungai di Palembang di masa lalu.

Strategi membangun kesadaran atau kecintaan masyarakat terhadap Sungai Musi dan anak-anaknya, dilakukan Harnojoyo yang melakukan gotong royong. Membersihkan sampah di aliran sungai.

Seperti yang pernah diberitakan Mongabay Indonesia, sekitar 221 anak Sungai Musi di Palembang hilang. Tahun 1930-an tercatat 316 anak Sungai Musi di Palembang, dan kini tersisa 95 sungai. Hilangnya ratusan anak Sungai Musi kemungkinan besar karena ditimbun atau menyempit akibat pengembangan infrastruktur seperti jalan dan permukiman penduduk yang sudah meninggalkan tradisi rumah panggung.

 

 

Exit mobile version