Mongabay.co.id

Kala Banjir Bandang Lenyapkan Desa di Sultra, Berkaitan Izin Usaha Banyak Bermasalah?

Banjir yang melanda Sultra, awal Juni lalu. Foto: BNPB

 

 

 

 

 

 

Awal Juni lalu, banjir bandang melanda tujuh kabupaten dan kota di Sulawesi Tenggara. Kabupaten Konawe dan Konawe Utara, dua daerah terparah bencana ini. Ada desa hilang terlibas banjir bandang. Ada juga pemukiman sampai sekolah terendam lumpur.

Bencana banjir di Konawe dan Konawe Utara, menyebabkan ribuan jiwa mengungsi, kehilangan tempat tinggal, hilang mata pencaharian dan harta benda, serta trauma. Paling parah, musibah membuat beberapa desa terutama di Konawe Utara, tinggal nama. Rumah-rumah yang mendiami desa itu hilang terseret arus dan sedimentasi lumpur.

Baca juga: Lingkungan Rusak Picu Bencana di Sulawesi Tenggara

Dua desa yang tinggal nama itu adalah Desa Walalindu dan Tapuwatu. Terdekat dengan ibu kota Sultra, adalah Tapuwatu. Mongabay mengunjungi daerah ini Jumat (21/6/19).

Nama desa ini nyaris tak dikenal orang sebagai salah satu desa di Konawe Utara. Dalam bahasa daerah Konawe, Tapuwatu berarti ujung batu.

 

Daerah terdampak banjir di Konawe Utara. Foto: BNPB

 

 

Desa hilang

Menuju Tapuwatu, memakan waktu sekitar 20 menit dari Wanggudu, ibukota Konawe Utara. Lokasinya, tepat di bantaran Asera, sungai terbesar di Konawe Utara. Wilayah ini porak poranda, hancur bagai diterjang tsunami saat bencana banjir Konawe Utara, Jumat (7/6/19). Dari 80 rumah, hanya tersisa lima yang masih berdiri.

Sebanyak 75 rumah lain, hilang tak berbekas diterjang banjir bandang setinggi enam meter. Kondisi makin parah, saat banjir datang disertai material lumpur, pohon dan bebatuan. Lima rumah tersisa, nyaris roboh, bergeser dari tempat semula. Ia tak bisa lagi ditinggali, karena terselimut lumpur tebal bersama material bebatuan.

Kini, desa itu seperti lapangan luas dengan pepohonan dan semak. Semua berwarna kecoklatan. Lokasi ini tempat berdiri 75 rumah terbangun memanjang di pinggir Sungai Asera. Kiri-kanan jalan masuk desa sepanjang 300 meter, hanya terlihat sisa-sisa perabotan warga yang hanyut. Semua rusak, tertutup lumpur tebal setinggi satu meter.

Beberapa warga yang nampak berada di lokasi, Sabtu (22/6/19) siang, terlihat mengais-ngais lumpur. Berusaha menemukan perabotan dapur yang tak sempat diselamatkan.

Erwin, warga Desa Tapuwatu, terlihat pasrah mengamati rumah yang tersisa lantai. Dinding dan tiang, hanyut terbawa banjir.

“Saya mungkin tak akan tinggal di sini lagi. Saya belum tahu akan tinggal di mana,” katanya.

Pria 38 tahun ini trauma saat banjir menerjang desa. Air sungai naik dengan cepat saat tengah malam, membuat mereka tak bisa menyelamatkan perabotan. “Malam itu, saya hanya bisa bawa istri dan anak-anak serta baju di badan. Keluarga hanya pakai baju di badan,” kata ayah empat anak ini.

 

Siswa SMP ini tak bisa belajar di kelas mereka karena sekolah terendam lumpur dari banjir bandang. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

Sekolah tertimbun lumpur

Salah satu sekolah di Kecamatan Asera juga menyisakan cerita pilu. Puluhan siswa kini tak bisa belajar lagi di sekolah yang tertimbun lumpur. Saat banjir mulai surut 15 Juni 2019, gedung SMPN 1 Asera dipenuhi lumpur. Endapan hingga satu meter.

Sampai Sabtu (22/6/19), lumpur mulai mengeras seperti tanah biasa. Kalau tak dibersihkan cepat, sekolah terancam rusak dan tak bisa terpakai lagi. Bangunan sekolah, nyaris roboh diterjang banjir. Masih berdiri, bangunan rusak parah usai terendam sampai bagian atap gedung.

Alisa, pelajar SMP ditemui di lokasi mengatakan, sudah dua minggu lebih tak menempati sekolah. Dia dan 28 siswa lain, mencari sekolah di atas gunung untuk melanjutkan ulangan semester yang tertunda. “Kami ulangan di SDN 03 Asera, bergabung sama anak SD,” katanya.

Baju dan buku-buku hanyut. Yang tersisa hanya beberapa pasang. “Sudah enam hari ulangan, kami bergiliran sama anak SD pakai ruangan.”

 

Buntut kejahatan lingkungan?

Kondisi Desa Tapuwatu, kini tertutup lumpur sedimentasi menguatkan keterangan Walhi Sultra dan Kepala Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) Nasional, bahwa banjir di Konawe Utara karena kerusakan lingkungan dampak pembukaan lahan baru di hutan untuk pertambangan dan perkebunan.

Mongabay, Minggu (23/6/19) mencoba menghubungi Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sultra, Boy Ihwansyah, ingin menanyakan ihwal sedimentasi dan batang pohon yang mengapung Desa Tapuwatu. Sayangnya, Boy belum bisa dihubungi sampai Selasa (25/6/19).

Dalam rilis BPBD beberapa hari pasca benana banjir, Boy mengatakan, alih fungsi lahan jadi area pertambangan dan perkebunan, jadi penyebab banjir.

“Kalau kita lihat, dalam material banjir itu terdapat sedimen alam, seperti lumpur dan pepohonan. Secara visual itu menunjukkan, banyak terjadi alih fungsi lahan di daerah tangkapan air. Ini jadi salah satu penyebab banjir di Sultra,” katanya.

Boy menyebutkan, alih fungsi lahan di Sultra, banyak terjadi. Lahan-lahan resapan air, katanya, beralihfungsi jadi pertambangan dan perkebunan.

Dari 17 kabupaten dan kota di Sultra, enam kabupaten terendam banjir. Enam kabupaten itu adalah Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, Kota Kendari, Buton Utara, dan Bombana.

“Banjir juga diprediksi membuat ribuan warga mengungsi, ribuan hektar sawah terendam, dan jembatan penghubung antarkabupaten putus,” katanya.

Serupa Konawe Utara, banjir luapan Sungai Konaweha di Kabupaten Konawe, dianggap karena pembukaan lahan hutan untuk perkebunan sawit di hulu sungai. Sampai saat ini, Mongabay belum bisa mengetahui pemilik usaha kebun sawit di hulu Sungai Konaweha.

Kata Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Sultra, Selasa (25/6/19), Sungai Konaweha meluap karena volume air tinggi. Volume air ini, katanya, meningkat karena hutan sebagai daerah resapan air menipis di hulu sungai.

Abdul Jalil, Kepala Seksi Penanganan DAS, mengatakan, kalau dilihat di hulu Sungai Konaweha ada pembukaan lahan perkebunan sawit. Dinas Kehutanan, katanya, sudah meneliti bahwa tanaman sawit menyebabkan tidak ada resapan air.

“Air itu tidak meresap dan mengakibatkan laju serta volume air di sungai menngkat,” katanya.

Kondisi inilah yang menyebabkan banjir di Konawe. Hingga kini, langkah yang mereka lakukan, hanya menanam pohon di wilayah kritis. Sayangnya, langkah ini belum maksimal karena pada 2019, BPDAS hanya tanam di 300 hektar.

“Jadi tak sebanding dengan pembukaan lahan. Tetap kita berupaya reboisasi di lahan kritis tadi.”

La Ode Syarif, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melihat secara kasat mata bisa dibilang, bencana ini karena kebun tebu, sawit dan tambang yang merusak lingkungan.

Kala berkunjung di Sultra dan memberikan kuliah umum tentang penuntasan kasus hukum bidang lingkungan, dia bilang, banjir bandang di Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, Kolaka Timur dan sekitar ini dampak dari pertambangan yang tak peduli lingkungan.

“Kalau ada yang mengatakan tambang itu tak merusak lingkungan, itu salah. Melalui aktivitas tambang ini kerusakan lingkungan terjadi dari hulu sampai hilir,” katanya, Senin (24/6/19).

Hanya, katanya, dampak kerusakan pertambangan itu ada yang bisa dimiminalisir, dan dihindari. Dia contohkan, tambang sudah operasi, mereka harus segera menutup lubang.

Syarat perizinan pertambangan ini, katanya, salah satu harus menyerahkan jaminan reklamasi tambang. “Jaminan ini bisa dipakai untuk membiayai penutupan lubang ketika pelaku pertambangan tak bertanggung jawab atau melarikan diri,” katanya.

 

Genangan air ini dulu rumah, yang sudah menghilang terlibas banjir bandang. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

IUP tambang di Sultra banyak bermasalah

Gubernur Sultra , Ali Mazi mengatakan, IUP di Sultra, banyak bermasalah. Dari IUP yang ada hanya dua IUP clear and clean (CnC). Di depan La Ode, Mazi curhat soal ketidakpatuhan para pemegang IUP di Sultra.

Pemerintah Sultra, katanya, kesulitan menertibkan pertambangan, terutama masalah administrasi dan dana jaminan reklamasi (jamrek) yang masih dikelola kabupaten alias belum diserahkan penuh ke provinsi.

“Tolong para sekda disampaikan ke bupati, kemarin 22 Juni, saya sudah bersurat agar manajemen itu diserahkan ke provinsi. Termasuk soal jamrek, administrasi pertambangan itu diserahkan ke provinsi. Provinsi juga bingung harus bagaimana terutama masalah IUP,” katanya dalam rapat koordinasi antara Pemprov Sultra dan Koordinator Supervisi dan Pencegahan (Korsupgah) KPK, di ruang rapat Gubernur Sultra.

Mazi bilang dari total 393 IUP di Sultra, hanya 52 nyaris memenuhi ketentuan berlaku. Itupun, katanya, persyaratan tak sempurna. “Hanya dua IUP yang sudah clean and clear.”

 

Bagaimana penanganan dan pencegahan?

Hingga Selasa (25/6/19), pengungsi banjir di Konawe Utara bertambah jadi 2.502 keluarga, total pengungsi sudah 9.609 orang. Di Konawe, tercatat 18.000 jiwa terdampak dan mengungsi. Ribuan orang masih menempati tenda darurat di sekitar lokasi banjir. Dengan persediaan makanan dan pakaian yang mengandalkan bantuan relawan.

Data lain, ada 370 rumah hanyut. Sisanya, 1.962 rumah terendam. Bupati Konawe Utara, Ruksamin, memastikan tak ada warga kekurangan makan dan kelaparan. Bantuan logistik di Konawe Utara, mencukupi. “Alhamdulillah, tidak ada korban jiwa. Kami meminta masyarakat bersabar, karena Pemda Konawe dan pemerintah pusat akan membantu,” katanya.

Pemerintah daerah, katanya, akan membangun hunian sementara. Kerusakan banjir Konawe Utara, tak hanya rumah dan bangunan umum. Pemerintah daerah, juga berupaya menangani banjir di kabupaten itu.

Dia tak menampik kalau kerusakan lingkungan jadi penyebab banjir. Hanya, katanya, dia harus kembali meneliti lebih lanjut dengan para ahli.

Menurut Ruksamin, saat ini fokus penanganan pasca bencana. Caranya, dengan pendataan korban dan kerugian. Dia juga berjanji mengawasi perkebunan dan pertambangan.

“Sekalipun kewenangan itu diambil alih oleh provinsi, kita juga akan tetap pengawasan. Hingga daerah kita terhindar dari bencana banjir ini.”

Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), juga mengunjungi daerah banjir dan tempat pengungsian warga di Konawe. Dia bilang, harus ada solusi jangka panjang untuk bencana banjir bandang di Sultra. Khusus di Konawe, PUPR akan menambah bendungan dan pekerjaan tanggul.

“Tetapi tak efektif jika tak dibarengi proses penghijauan di hulu Sungai Konaweha. Itu koordinasi antarlembaga harus benar-benar serius, agar semua bisa kembali normal. Artinya, saya di Pekerjaan Umum membangunkan bendungan dan tanggul, Kehutanan fokus penghijauan. Nanti, itu kerja gubernur atau bupati setempat,” katanya.

Beberapa fokus pekerjaan PUPR, kata Basuki, menambah panjang Jembatan Ameroro, Konawe, yang melintasi Sungai Konaweha dan menambah bendungan. Juga mempertinggi tanggul-tanggul sepanjang DAS Konaweha. “Tidak saja di Konawe, di Konawe Utara juga akan dibangun hal-hal yang sama,” katanya.

Gubernur Sultra, Ali Mazi pun berjanji mengevaluasi izin pertambangan dan  perkebunan di Sultra, terutama wilayah-wilayah yang dianggap jadi penyebab banjir. Dia sampaikan ini di hadapan komisioner KPK, La Ode Syrief.

 

 

 

Keterangan foto utama:     Banjir yang melanda Sultra, awal Juni lalu. Foto: BNPB

 

 

 

Exit mobile version