Mongabay.co.id

Desa Burno: Lestarikan Rimba, Menuai Berkah dari Hasil Ternak

 

Tampak denyut rutinitas ratusan warga Desa Burno, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang di pukul 6 pagi itu. Ada yang bersepeda motor, ada pula yang berjalan kaki. Pemandangan rutin pagi seperti ini hal biasa bagi kebanyakan warga

Semua membawa milkcan atau wadah susu berkapasitas 15 liter menuju ke cooling unit. Setiba di lokasi, warga sabar menanti giliran para petugas yagn memeriksa susu yang mereka bawa. Tiap wadah pun diperiksa teliti untuk mengetahui kandungan lemak dan protein yang ada di dalam susu.

Desa Burno memang unik. Desa yang letaknya di pinggir hutan ini penduduknya 1.650 KK, sedang total populasi sapi perahnya sebanyak 1.300 ekor. Dari seluruh dusun, maka Dusun Karanganyar yang terbanyak populasi sapinya. Berpenduduk 262 KK, jumlah sapi 912 ekor. Total produksi susu pun mencapai 5.300 liter per hari.

“Saya mengumpulkan susu dua kali sehari. Jam 6 pagi dan 3 sore,” kata Miseli (55) salah seorang peternak. Dia bapak dari empat anak.

 

Peternak memberi pakan sapi perah dengan rumput gajah dari kawasan Perhutanan Sosial. Foto: Eko Widianto/Mongabay Indonesia – INFIS

 

Pagi itu Miseli memikul dua milkcan. Saban hari aktivitas ini, dia lakoni dengan giat. Meski itu berarti dia harus berjalan sejauh dua kilometer dari rumahnya.

Miseli bukan asli warga Burno, dia pendatang dari Probolinggo. Sejak tahun 2004 dia bermukim di Burno. Jauh sebelumnya, dia tak pernah terbayang bakal mampu memiliki delapan ekor sapi perah dari hasil keringatnya.

Sebelumnya dia bekerja mencari kayu bakar di tepi hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Probolinggo.

Kayu dikumpulkan untuk dijual sebagai kayu bakar di Pasar Senduro yang berjarak lima kilometer dari rumahnya. Untuk hidup sehari-hari dia menanam jagung di petak sekitar 500 meter persegi.

“[Kalau hanya tergantung] penghasilan cari kayu bakar saja tak cukup,” katanya.

Nasibnya berubah sejak sapi perah mulai jadi primadona di Burno. Setiap ekor sapinya mampu menghasilkan sekitar 10-15 liter per hari. Sedangkan harga susu seliter antara Rp5.300 sampai Rp5.500. Dibantu dua orang anaknya, tiap hari Miseli memerah susu dari lima ekor sapi. Ketiga sapinya yang lain belum mengeluarkan susu.

“Rata-rata dalam setip 10 hari penghasilan kotornya Rp3 juta. Asal telaten,” katanya.

 

Jalan Panjang Kemitraan Kehutanan

Geliat ekonomi masyarakat Desa Burno seperti sekarang dapat ditelusuri jejaknya dari terbentuknya Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wono Lestari pada 2006. Setahun setelahnya, LMDH membuat perjanjian kerjasama pengelolaan hutan dengan Perum Perhutani.

Total lahan yang dikerjasamakan oleh LMDH Wono Lestari berjumlah 940 hektar. Di luar kawasan hutan negara, warga memiliki hutan rakyat seluas 357 hektar.

Sejalan dengan pengalaman mengelola lahan hutan, pada tahun 2017 LMDH Wono Lestari mengelola hutan Perhutanan Sosial lewat skema Pengakuan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK). SK-nya sendiri ditandatangani oleh Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan, KLHK.

 

Petani mengangkut rumput gajah untuk pakan ternak sapi perah peliharaannya. Foto: Eko Widianto/Mongabay Indonesia – INFIS

 

Ketua LMDH Wono Lestari, Edi Santoso menyebut jalan panjang untuk memperoleh perjanjian kerjasama pengelolaan hutan ini tak mudah. Seperti cerita klasik banyak desa tepi hutan di Jawa, masyarakatnya hidup miskin.

Umumnya karena mereka tak punya akses mengelola hutan, bahkan tak jarang dilaporkan ke polisi karena menjarah hasil hutan.

“Setiap bulan ada [saja] warga kami yang kena dihukum,” ujar Edi.

Padahal ketergantungan masyarakat dengan hutan, sangat tinggi. Mereka mencari kayu bakar dan menjadi buruh sadap getah damar. Namun hidup mereka selama bertahun-tahun dibalut oleh kemiskinan.

Mereka tak berdaya, karena tak punya modal ekonomi dan pembinaan keterampilan. Kadang tanaman mereka dibeli tengkulak dengan sistem ijon dan borongan. “Banyak yang kena tipu pedagang. Pisang dibeli murah.”

Di bawah tekanan ekonomi itu, masyarakat lalu ajukan protes. Puncaknya, dua hektar hutan tanaman mahoni milik Perhutani pun mereka babat habis. Itu sekitar tahun 1995.

Sampai 2001, meski sudah ada skema pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) warga belum bisa mengakses lahan di hutan. Edi menyebut Perhutani saat itu bertindak setengah hati dalam memberi keleluasaan dalam mengelola.

Sebabnya, tak ada perjanjian yang mengikat, padahal warga sudah amat menjaga dan merawat tegakan pohon damar dan mahoni.

Hal itu lambat laun berubah, sejak ada perjanjian lewat wadah LMDH. Petani diizinkan memanfaatkan lahan di bawah tegakan kayu hutan. Awalnya mereka menanam jagung dan talas, lantas berkembang tanam pisang.

Berdasarkan kesepakatan antara LMDH Wono Lestari dan Perum Perhutani KPH Probolinggo, warga pun punya program memulihkan hutan. Hutan produksi yang terdiri dari tanaman mahoni pun kembali pulih 100 persen.

“Saya malu kalau tak kembali menjadi hutan,” kata Edi. Dia bilang dari 683 anggota LMDH semuanya terlibat menanam dan memulihkan hutan.

Para petani pun rajin bermusyawarah, untuk menentukan tanaman mana yang cocok untuk ditanam di bawah tegakan hutan. Berdasarkan kesepakatan, saat tegakan pohon berusia dua sampai enam tahun lahan tumpangsarinya ditanami pisang. Pada usia enam tahun di bawah tegakan ditanam kopi, kaliandra dan rumput gajah.

Rumput gajah inilah pula yang kemudian jadi bahan pemasok untuk pengembangan ternak masyarakat seperti usaha sapi perah dan kambing ras.

 

Para petani LMDH Wono Lestari melakukan pembibitan tanaman damar di area hutan produksi Perum Perhutani. Foto: Eko Widianto/Mongabay Indonesia – INFIS

 

Kambing Ras Senduro

Potensi pakan ternak di bawah tegakan hutan yang berlimpah pun yang mendorong warga mengembangkan ternak kambing. Seperti yang dilakukan oleh M. Arifin yang beternak kambing ras senduro sejak tahun 2002. Dengan keulatannya, dia sekarang punya 100 ekor kambing, dimana 40 ekor diantaranya anakan.

Kambing ras senduro sebenarnya secara turun-temurun dipelihara warga. Diperkirakan ia keturunan kambing etawa yang dulu dibawa masuk saat zaman Belanda. Kambing ini cukup produktif, sekali melahirkan bisa menghasilkan 1-2 anak. Ia bakal terus produktif menghasilkan susu sampai usia 10-11 tahun.

Menurut penuturannya, Arifin awalnya juga turut beternak sapi perah. Namun saat harga jual susu sapi tak stabil, dia lalu banting setir mencoba peruntungan jadi peternak kambing.

Sekarang dia bisa berbangga. Kambing senduro miliknya pernah dinobatkan sebagai kambing terbesar dan terberat dalam Silaturahmi Nasional (Silatnas) di Batu, Jawa Timur 2018. Berat kambingnya sampai 149,8 kilogram. Saat itu kambingnya sempat ditawar Rp105 juta.

Ciri kambing senduro umumnya berciri tubuh besar dan berwarna putih. Saat kambing masuk usia produktif harga jualnya sampai Rp10-20 juta per ekornya.

Arifin mengaku tak sanggup memenuhi kebutuhan permintaan 500 ekor kambing dari pelanggannya di Jakarta. “Kewalahan saya, tak sanggup mas.”

Untuk susu kambing dia menjual langsung ke konsumen seharga Rp30 ribu per liter. Selain itu per minggu Arifin memasok 100 liter susu beku ke pabrik susu etawa di Yogyakarta. Susu ini lalu diolah menjadi susu bubuk.

 

Peternak kambing ras Senduro memerah susu untuk dipasok ke pabrik pengolah susu etawa di Yogyakarta. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia – INFIS

 

Meski Arifin hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar, namun berkat keuletanya, dia sekarang mampu mengolah susu menjadi kafier seharga Rp12.500 yang dibungkus dalam kemasan 250 mililiter.

Hutan bagi Arifin berarti penyedia pakan untuk ternaknya, khususnya pakanan hijau.

Dia sekarang mengelola sekitar 12 hektar petak hutan di bawah tegakan damar. Selain kaliandra juga ada pisang dan sengon. Dalam sehari dibutuhkan setidaknya 10 karung daun kaliandra untuk pakan ternaknya

Pakan itu lalu dia campur dengan kedelai untuk asupan protein dan kangkung kering. Walhasil formula khusus itu membuat kambingnya menghasilkan susu berkualitas dan bergizi.

Awalnya Arifin sama dengan anggota LMDH Wono Lestari lainnya, hanya kebagian 250 meter persegi lahan. Selain menanan tumpangsari, tugasnya adalah menjaga tegakan, melakukan pembibitan, menjaga keamanan sampai menyadap getah damar.

Sejalan waktu, setelah berjalan empat tahunan sejumlah anggota tak mampu mengelola lahan garap. Dengan sejumlah kompensasi, lahan itu lalu diserahgarapkan kepada Arifin.

Dengan konsep Kulin KK dia pun merasa ada jaminan penyediaan pakan untuk 35 tahun dia berusaha. “[Beda] kalau dulu was-was, takut kebijakan bisa berubah sewaktu-waktu. Tak bisa garap lahan, tak bisa menanam kaliandra lagi,” tutupnya.

 

Video: Kemitraan Desa Hutan

Exit mobile version