Mongabay.co.id

Sudah Lima Tahun, Ikan Belida Tak Kunjung Dapat

 

 

Ikan belida sumatra [Chitala hypselonotus] adalah ikon Kota Palembang. Tidak heran patungnya, dialek Palembang menjadi belido, terpajang di Plasa Benteng Kuto Besak [BKB] Palembang. Ikan ini adalah bahan makanan pempek dan pepes yang dinilai paling enak rasanya. Bagaimana populasinya saat ini?

“Wah, sudah lima tahun ini kami tidak mendapatkan belido. Sudah habis,” kata Marawi [50], nelayan atau dikenal sebagai “pemancing” ikan di Sungai Belido, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Rabu [03/7/2019].

“Terakhir ada yang dapat 15 kilogram di sini. Ya, itu lima tahun lalu,” lanjutnya.

Baca: Berapa Jenis Ikan yang Hidup di Sungai Musi dan Pesisir Timur Sumatera Selatan?

 

Dua anak terlihat menjaring ikan di Sungai Belido. Foto: Ikral /Mongabay Indonesia

 

Sungai Belido yang panjangnya sekitar 90 kilometer, merupakan habitatnya belida di Sumatera Selatan. Dinamai “Sungai Belido” karena selama ratusan tahun para nelayan sering mendapatkan ikan belida di sungai yang bermuara di Sungai Musi.

Ikan belida selain ditemukan di Sumatera Selatan, juga di Kalimantan bernama ikan pipih, Thailand dan Malaysia, merupakan ikan yang paling disukai kaum ningrat Kesultanan Palembang, baik digoreng, dibuat pepes, atau dijadikan bahan baku pempek. Atau kerupuk yang diadon dengan tepung sagu.

“Tidak ada yang terbuang dari ikan belida, tulang dan kulitnya pun digiling untuk dijadikan pempek kulit,” kata Hayani [52], warga Dusun Muara Belido yang kini menjadi Desa Harapan Mulia.

Saat ini tidak semua orang Palembang mampu makan ikan belida. Selain harganya mahal juga sulit didapatkan. Hanya sejumlah rumah makan atau toko pempek dan kerupuk yang masih menggunakan ikan belida, yang sebagian besar dipasok dari Bangka dan Kalimantan.

Baca: Kini Mencari Ikan di Sungai Musi Butuh Jala Panjang

 

Saat ini mencari ikan bukan menjadi sumber utama masyarakat yang hidup di sepanjang Sungai Belido. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Rusaknya rawa-rawa dan sungai

Beragam pendapat disampaikan para nelayan maupun warga di sepanjang Sungai Belido, tentang hilangnya ikan belida. “Mungkin karena dulunya banyak yang mencari ikan dengan nyetrum di sungai ini. Kan banyak anaknya yang mati. Sekarang sudah dilarang, tapi ikan itu tetap sulit didapatkan,” kata Hayani.

“Ya, habis diambil, sebab harganya mahal. Satu kilogram bisa mencapai Rp150-200 ribu. Kecil maupun besar pasti diambil untuk dijual,” kata Marawi.

Marawi juga tidak paham jika ikan belida dilarang ditangkap atau dilindungi. “Wah, baru tahu kalau menangkap dan menjual ikan belida bisa dipenjara. Untung sudah tidak ada lagi,” katanya.

Baca: Ikan Belida Makin Langka, Mengapa?

 

Marawi dan Mang Mad, dua pencari ikan di rawa dan Sungai Belido. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Nadi [46], serang speedboad yang juga pengepul ikan di Sungai Belido, menilai habisnya ikan ini karena terus dipancing atau ditangkap. “Saya juga belum tahu kalau ikan belida dilindungi,” katanya, Kamis [04/7/2019].

Muhammad Iqbal, pegiat lingkungan dan penulis buku “Ikan-Ikan di Sungai Musi dan Pesisir Timur Sumatera Selatan [2018]” bersama Indra Yustian, Arum Setiawan dan Doni Setiawan menjelaskan, “Langka atau terancam punahnya ikan belida di Sumatera Selatan karena habitatnya banyak yang hilang dan terjadi overfishing,” katanya, Kamis [04/9/2019].

Habitatnya rusak karena pembukaan lahan untuk berbagai tujuan konversi seperti perkebunan sawit, HTI, infrastruktur jalan, permukiman, dan lainnya, yang masih belum memperhatikan ruaya atau migrasi ikan.

“Selain itu, perlindungan kawasan untuk konservasi ikan belum sepopuler mamalia seperti harimau dan gajah. Atau juga burung migran, rangkong, sehingga jalur terbang sangat penting.”

Baca juga: Sungai Musi Tercemar, Ikan-ikan Diduga Mengandung Merkuri

 

Perahu tongkang di Sungai Belido, sebagai angkutan barang dari Palembang ke pesisir timur Sumatera Selatan. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia, sebagian besar kawasan rawa di sekitar Sungai Belido sudah hilang. Selain dijadikan persawahan baru karena pertumbuhan penduduk, juga diubah menjadi kebun sawit, karet dan permukiman. “Dulu, sebagian besar di sepanjang Sungai Belido adalah rawa dipenuhi hutan. Sekarang sudah habis,” kata Arsun [55], warga Desa Harapan Mulia.

Tepian Sungai Belido juga banyak mengalami erosi akibat berkurangnya pohonan besar di tepian sungai. Erosi ini menyebabkan sungai mengalami pendangkalan, sehingga pada musim penghujan banyak rumah yang terendam akibat meluapnya sungai yang lebarnya rata-rata 60 meter. Tahun 2014 lalu, pemerintah melakukan pengerukan dasar sungai guna mengatasi banjir.

Penyelamatkan ikan belida di Sumatera Selatan sudah pernah diupayakan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Menurut Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan [DJPB KKP] Slamet Soebjakto, pada akhir 2017 lalu, pihaknya menebar sedikitnya 260 ribu ekor benih ikan endemik seperti nilam, baung, dan belida ke Sungai Musi.

Pertengahan 2018, Pemerintah Palembang berencana mengembangkan budidaya ikan belida yang melibatkan para pelaku budidaya ikan di Palembang yang saat ini tercatat 700 kelompok. Disebutkan pada 2019 ini adak disediakan bibit ikan belida dan ikan gabus di Palembang.

Baca: Begini Usaha KKP Selamatkan Ikan Belida Endemik di Sungai Musi. Seperti Apa?

 

Petani menanam padi di sawah tadah hujan di Dusun Muara Belido [Desa Harapan Mulia], Kecamatan Muara Belidon, Kabupaten Muara Enim, Sumsel. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Mencari ikan sebagai sampingan

Jika dahulu mencari ikan merupakan pendapatan utama masyarakat di sepanjang Sungai Belido yang juga disebut sebagai Suku Belido, kini mencari ikan adalah sampingan.

Ribuan kepala keluarga di Desa Harapan Mulia, Sungai Kayu Ara, Mulia Abadi, Ulak Baru, Kayu Ara Baru, Putak, Gumai, Karta Mulia, serta Sebau, kini menjadikan persawahan padi dan perkebunan karet sebagai sumber pendapatan utama keluarga. Sebagian warga menjadi serang speedboad atau perahu tongkang yang beroperasi hingga pesisir timur Sumatera Selatan.

Penghasilan padi dan karet terbilang rendah. Satu hektar sawah hanya menghasilkan sekitar 300 kilogram beras. Penanam padi dilakukan satu kali setiap tahunnya karena tergantung musim penghujan. Sementara harga getah kisaran Rp7.000 per kilogram.

“Untung masih ada ikan di sungai ini. Selain buat makan, juga dijual, seperti gabus atau baung,” kata Nurul [35], warga Desa Ulak Baru, yang memasang jaring dan bubu.

Warga mencari ikan sore hari, saat air sungai surut atau setelah mereka pulang dari berkebun atau aktivitas lain. Selain mengecek bubu yang dipasang saat air pasang, juga memasang jaring, menangkul, atau memancing. Mereka yang mencari ikan ini bukan hanya bapak dan ibu, juga anak-anaknya.

 

Hanya sebagian kecil tepian Sungai Belido yang ditumbuhi pohonan besar. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Pemasok ikan gabus

Meskipun sebagai pekerjaan sampingan, ikan yang didapatkan warga di Sungai Belido, tetap menjadi salah satu sumber pasokan ikan air tawar bagi masyarakat Palembang. Setiap hari, sekitar 500 kilogram ikan yang dihasilkan dari Sungai Belido.

“Setiap hari, sekitar 100 kilogram ikan saya jual ke Palembang,” kata Nadi, pengepul ikan di Desa Ulak Baru. “Ikan yang menjadi andalan gabus dan baung. Tapi kebanyakan gabus. Ikan sepat juga dijual saat musim kemarau seperti sekarang ini,” lanjut Nadi yang juga pemilik speedboad penumpang Sungai Belido- Palembang.

“Ongkos penumpang hanya cukup buat beli BBM, pendapatan saya dari menjual ikan. Jika banyak, sehari bisa untung Rp500 ribu,” katanya.

Ikan gabus yang dibeli seharga Rp20 ribu per kilogram dari nelayan, dijual Rp30 ribu per kilogram di tangan pedagang di Palembang. Ikan baung harganya lebih tinggi. “Saya jual Rp60 ribu dan saya ambil Rp50 ribu per kilogram,” katanya.

 

Belida, ikan air tawar dilindungi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Perda perlindungan belida

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106 tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi, ikan belida termasuk di dalamnya.

Ada empat jenis ikan belida dilindungi yakni belida borneo [Chitala borneensis], belida sumatra [Chitala hypselonotus], belida lopis [Chitala lopis], dan belida jawa [Notopterus notopterus].

Terkait peraturan tersebut, Pemerintah Palembang diminta segera melahirkan peraturan daerah [perda] terkait perlindungannya. “Perda ini harus melindungi ikan belida, tapi juga tetap menyediakan pasokan bagi pedagang pempek atau rumah makan di Palembang.

“Perda itu juga menjamin budidaya ikan belida. Misalnya, mereka yang menangkap apalagi menjual dari alam wajib ditangkap dan diproses hukum. Sementara kebutuhan ikan belida untuk konsumsi masyarakat dapat dilakukan melalui budidaya,” kata Al Adiat, pegiat lingkungan sungai dan kelautan di Palembang.

 

Sungai Belido yang bermuara ke Sungai Musi. Dulunya sentra ikan belida sumatra [Chitala hypselonotus], sejak lima tahun terakhir sulit didapat. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Slamet Soebjakto, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan [DJPB KKP], juga pernah berharap Wali Kota Palembang menginisiasi penyusunan regulasi, seperti peraturan daerah untuk mengatur pengelolaan sumber daya ikan endemik ini dengan melibatkan masyarakat lokal.

“Perda perlindungan ikan belida memang harus ada. Ikan itu sebagai indikator kondisi sungai. Kepunahannya di Sumatera Selatan menunjukan telah rusaknya kualitas sungai, khusus Sungai Musi,” kata Muhammad Hairul Sobri, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Sumsel, Kamis [04/7/2019].

Muhammad Iqbal berharap, pemerintah segera memetakan lokasi atau habitat ikan belida yang masih ada. Kemudian, susun rencana aksi dari data yang ada, sebagai pedoman upaya konservasi. Tentunya, dengan melibatkan stakeholder atau instansi terkait, termasuk komunitas pemancing lokal.

 

 

Exit mobile version