Mongabay.co.id

Forum Diskusi Mongabay: Mekanisme Izin Elektronik Lemahkan Pertimbangan Lingkungan?

Pembangunan jalan dan hotel di bukit karts Sewu. Foto: Tommy Apriano/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Upaya pemerintah membuka keran investasi dengan mempermudah dan mempersingkat perizinan melalui Layanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (PBTSE), atau Online Single Submission (OSS), mulai berlaku di semua jajaran pemerintahan, baik kementerian, lembaga, mapun pemerintah daerah.

Lewat perizinan terpadu satu pintu (PTSP) ataupun akses langsung ke sistem OSS secara daring di manapun dan kapanpun. Lewat sistem ini, proses perizinan lebih mudah, seperti analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), bisa bertahap.

Lewat Peraturan Pemerintah Nomor 24/2018, pemerintah mengatur antara lain, jenis, pemohon, dan penerbitan perizinan berusaha, perizinan berusaha, reformasi perizinan berusaha per sektor, sistem OSS, lembaga OSS, pendanaan OSS, insentif atau disinsentif perizinan berusaha melalui OSS, penyelesaian permasalahan dan hambatan brusaha serta sanksi.

“Hadirnya mekanisme OSS, pertanda negara proinvestasi, dan perlemah posisi mekanisme Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan-red),” kata Halik Sandera, pada diskusi yang diadakan Mongabay Indonesia, di Yogyakarta, baru-baru ini.

Halik mengatakan, membedakan OSS dengan pengurusan perizinan konvensional yakni, OSS membalik proses perizinan sebelumnya. Kalau sebelumya, izin operasional atau izin komersil keluar setelah serangkaian perizinan seperti izin lingkungan, amdal (analisis mengenai dampak lingkungan), dan lain lain-lain, wajib dikantongi pengusaha. Melalui OSS, cukup nomor induk berusaha (NIB), pengusaha bisa mendapatkan izin operasional dan izin komersil. Proses amdal, selesai bertahap pasca NIB terbit.

“Di Jogja, ini ancaman besar, persoalan status tanah belum jelas, IMB bahkan sering keluar belakangan, setelah bangunan jadi,” katanya.

Melalui OSS proses amdal, diletakkan setelah NIB terbit, tindakan itu justru melemahkan. Aturan hukum tentang OSS bertentangan dengan semangat UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang memperkuat posisi amdal.

“Jadi pertimbangan lingkungan bukan sekadar mempertahankan proyek kemudian dampak ditangani, justru posisi amdal bisa sampai pada satu keputusan, proyek ini tidak bisa dilakukan,” katanya.

Aturan tentang OSS sendiri sudah melemahkan posisi amdal padahal dalam UU PPLH– yang muncul untuk menguatkan seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)–, dan beberapa instrumen lingkungan karena menyadari amdal itu lemah, maka ditambah beberapa instrumen lain.

Menurut Halik, ada konsep keliru dari penerbitan OSS. Urusan-urusan percepatan izin, katanya, tak serta merta bisa diukur dengan waktu diperpendek. Persoalan pokok terkait perizinan di Indonesia, adalah, ada konflik kepentingan yang menyebabkan korupsi, suap dan lain-lain.

“Artinya, masalah perizinan berada di sisi tata kelola dan bukan penyederhanaan prosedur. Nah, semua peraturan itu diasumsikan, untuk mempercepat segala sesuatu maka prosedur diringkas, itu keliru.”

 

Kebakaran hutan dan lahan terlebih di gambut merupakan bencana tahunan di Kalimantan Barat yang harus diantisipasi serius. Kala meletakkan soal Amdal, belakangan, izin-izin yang lepas di kawasan gambut, bisa berpotensi memicu kebakaran hutan dan lahan Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Hariadi Kartodiharjo di Semarang, akhir pekan lalu mengatakan, kehadiran PP OSS justru membuat posisi amdal jadi tidak strategis, ketika hanya dengan mengantongi izin komitmen, pelaku usaha bisa mendapatkan izin lingkungan.

Dengan izin lingkungan, pelaku usaha bisa melakukan berbagai aktivitas seperti pengadaan tanah dan lain-lain hingga jadikan  amdal tak mempengaruhi apapun terhadap proyek kecuali sekadar mitigasi terkait dampak yang harus ditangani.

Hariadi bilang, amdal berfungsi sebagai pencegahan atas pencemaran lingkungan yang mungkin muncul oleh sebuah proyek. Kalau wajib amdal diletakkan dibelakang setelah izin lingkungan, fungsi pencegahan itu jadi hilang.

Sisi lain, katanya, penerbitan izin lingkungan tanpa syarat wajib amdal jelas melanggar UU PPLH. Tindakan ini, katanya diancam hukuman pidana sesuai Pasal 109, Pasal 110, dan Pasal 111 UU Lingkungan.

“Amdal itu posisinya di depan. Tujuannya, preventif, misal, pelaku usaha sudah melakukan kegiatan usaha tiba-tiba amdal tidak diterima, bagaimana?”

Dia contohkan, konsep amdal di luar negeri, di mana ada pengurangan wajib amdal. Studi amdal yang pernah dilakukan untuk proyek sama tidak perlu diulang lagi karena sudah memiliki standar sama.

Di Indonesia, studi amdal masih wajib oleh seluruh pelaku usaha meskipun proyek sudah pernah dilakukan oleh pelaku usaha berbeda. Demi efisiensi waktu, studi amdal yang sudah ada untuk kasus sama tidak perlu hingga hanya fokus kepada penguatan pengendalian, pengelolaan, dan pemantauan lingkungan.

“Yang dikurangi itu kegiatan wajib amdal, yang tadi wajib amdal itu ada studi, ini tak usah, langsung saja ke pemantauan, pengawasan, perbaikan lingkungan,” kata Hariadi.

Merah Johansyah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang kepada Mongabay minggu lalu mengatakan, Jatam menolak aturan OSS ini. Meskipun sektor pertambangan belum masuk perizinan yang diatur OSS, tetapi izin lingkungan pertambangan diatur OSS. PP OSS, katanya, justru mempercepat dan memperluas ekspansi pertambangan. Kondisi ini, akan berdampak kepada masyarakat di lokasi pertambangan.

“Tidak ada ruang bagi masyarakat korban terdampak, bahkan menghilangkan peran masyarakat sipil karena di dalam PP OSS tadi masyarakat yang dilibatkan cuma masyarakat terdampak,” kata Merah.

Masyarakat lain, seperti pemerhati lingkungan termasuk organisasi masyarakat sipil lain tidak mendapatkan ruang untuk monitoring. PP OSS ini hanya menguntungkan investasi pertambangan dan kepastian berusaha.”

Sistem OSS mengacu pada PP 24/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, mulai diimplementasikan sekitar 10 bulan ini. OSS yang semula di bawah Kemenko Perekonomian, bertahap dialihkan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sejak Januari 2019. BKPM akan mengambil alih OSS per Maret 2019.

Tercatat, periode Januari-12 April, sistem OSS telah melayani lebih 1.900 registrasi per hari dan menerbitkan nomor induk berusaha lebih 1.600 per hari. Penerbitan izin usaha mencapai 1.612 per hari dan izin komersial/operasional mencapai 1.238 per hari.

Dihubungi terpisang, minggu lalu, Riyatno, Kepala Pusat Bantuan Hukum BKPM, mengatakan, sedang mempersiapkan pengalihan kewenangan OSS dari Kemenko Perekonomian. Salah satu persiapan ini berupa pembuatan petunjuk teknis (juknis) OSS. Saat ini, BKPM menyediakan layanan konsultasi bagi investor yang ingin mengajukan perizinan melalui OSS.

“Masih terdapat banyak pihak yang belum memahami OSS ini,” katanya, seraya bilang BKPM sedang menyusun juknis OSS.

Keberadaan OSS, katanya, juga berupaya mencegah praktik korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Dengan proses pengurusan perizinan minim, katanya, tatap muka antara pelaku usaha dan pejabat atau pengurus OSS minim ikut meminimalisir kongkalikong.

Dia bilang, proses perizinan berusaha melalui sistem elektronik terpusat dapat terpantau setiap saat oleh pelaku usaha maupun instansi berwenang. Sistem OSS, katanya, juga menerapkan standardisasi proses penerbitan perizinan berusaha, dari sisi persyaratan maupun waktu penyelesaian perizinan, hingga dapat memberikan kepastian bagi pelaku usaha.

Nandra Eko Nugroho, pengajar Univesitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta mengatakan, sistem OSS melangkahi sistem konvensional, seperti sosialisasi bersama masyarakat. Selama ini, persoalan sosialisasi hanya dipilih pihak yang setuju investasi, tanpa mendengarkan suara mereka yang menolak dan terdampak langsung dari investasi. Belum lagi, persoalan tata ruang di Yogyakarta, belum selesai, banyak menyalahi aturan, bahkan belum memikirkan tentang pengurangan risiko bencana.

 

 

Keterangan foto utama:  Pembangunan jalan dan hotel di bukit karts Sewu. Ada aturan amdal saja, pembangunan-pembangunan di wilayah penting seperti ini bisa terjadi, bagaimana kalau andal bisa belakangan? Foto: Tommy Apriano/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version