Mongabay.co.id

Jaksa Masih Tuntut Ringan Pelaku Kejahatan Satwa Dilindungi

Burung-burung dilindungi ini disita dari rumah orangtua Adil. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

“Jangan coba-coba, mohon perhatian para jaksa. Pelaku kejahatan satwa liar dilindungi hanya orang tertentu saja yang berperan ekspor satwa untuk diseludupkan. Biasanya dia berupaya bisa mempengaruhi penuntutan jaksa. Jadi saya ingatkan, perhatian para jaksa jangan sampai seperti itu. Jangan coba-coba.”

Demikian kutipan instruksi yang disampaikan oleh Muhammad Yusni Jaksa, Agung Muda Pengawasan (Jamwas), juga Pelaksana Tugas Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Kejaksaan Agung, saat di Medan, belum lama ini.

Dia bilang, optimalkan penuntutan pidana kejahatan satwa liar dilindungi sesuai bukti, agar bisa jadi efek jera. “Memang tidak semua tuntutan itu jadi efek jera, tetapi minimal bisa meningkat dengan tuntutan yang tinggi.”

Pernyataan itu dia sampaikan kepada jaksa, mulai Wakil Kejaksaan Tinggi Sumut, Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Sumatera, Kepala Seksi Tindak Pidana Umum jajaran Kejaksaan Negeri se-Sumut.

 

Apakah instruksi ini berjalan? Salah satu kasus kejahatan satwa liar dilindungi di Sumut, dengan terdakwa Adil, hanya dituntut delapan bulan penjara, denda Rp1 juta, subsider satu bulan kurungan. Padahal, dalam dakwaan, Jaksa Penuntut Umum, Jessica Panggabean, mengancam terdakwa melanggar UU Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, dengan ancaman pidana lima tahun, denda Rp100 juta.

Pembacaan tuntutan terburu-buru tanpa menyebutkan hal yang memberatkan dan meringan terdakwa, jadi pemandangan dalam persidangan, yang digelar di Pengadilan Negeri Medan, akhir Juni lalu.

Sidang ditunda selama tiga kali dengan alasan tuntutan belum selesai, juga jadi tanda tanya banyak pihak. Usai persidangan, Adil, memberikan senyum ke jaksa. Pelaku yang tertangkap bersama puluhan burung dilindungi endemik Papua dan Maluku ini, lalu dibawa ke tahanan sementara.

Pembongkaran kasus ini oleh tim Wildlife Crime Unit (WCU), bersama petugas dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sumut.

Adil, diamankan di rumah orang tuanya, Jalan Mabar Medan, bersama sejumlah barang bukti, yaitu, kakatua raja [5], nuri kabare [5], kasuari gelambir-ganda [3], serta rangkong papan, kakatua koki, dan kakatua Maluku, masing-masing satu. Ada 16 burung sitaan. Seluruh burung itu, kecuali rangkong papan, merupakan emdemik Papua dan Maluku, diambil secara paksa dari alam liar.

Ketika diperiksa di Polda Sumut, pelaku mengatakan, burung-burung dilindungi itu milik abangnya, Roby–masuk daftar pencarian orang (DPO). Saat penggerebekan, Roby berhasil kabur.

Adil mengelak disebut pemilik apalagi dapat bagian untung. Dia bilang, hanya pembersih kandang dan merawat satwa.

Di persidangan, Adil mengaku burung-burung itu akan dijual Roby.

Direktur Ditreskrimsus Polda Sumut, Kombes Pol Roni Samtana menyatakan, dari hasil penyidikan sementara, pelaku adalah bagian dari jaringan perdagangan satawa liar dilindungi, dan pemain lama.

Tantyo Bangun, Ketua Umum Yayasan International Animal Rescue (IAR) Indonesia, mengatakan, perlu kapasitas JPU yang memegang perkara dalam memberikan tuntutan tinggi agar menimbulkan efek jera bagi pelaku.

Selama ini, katanya, tuntutan masih rendah. Kalau tuntutan jaksa rendah, majelis hakim tak akan memberikan putusan lebih berat dari tututan JPU.

Kuncinya, kata Tantyo, ada di tangan jaksa. Kalau mereka menuntut lebih tinggi dan vonis lebih tinggi pula, akan membuat para pelaku lebih jera.

 

Rangkong papan, yang diamankan dari tangan Adil. Satwa ini dititipkan di pusat penyelamatan satwa di Sibolangit. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Saat ini, katanya, kasus kejahatan satwa liar jarang sekali vonis lebih satu tahun padahal ancaman hukum jauh di atas itu. Padahal, katanya, memungkinkan juga JPU memberi tuntutan pasal berlapis, mulai dari UU KSDAE, UU Karantina, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, sampai UU KUHPerdata, berupa ganti rugi kerusakan ekosistem.

“Kalau semua itu dipakai, para pelaku bisa dituntut lebih lima tahun, bahkan memungkinkan lebih 10 tahun. Itu baru pidana. Perdata juga dimungkinkan, karena kerugian lingkungan cukup besar, bisa milyaran, bisa triliunan.”

Albertina, hakim tinggi Pengadilan Tinggi Sumut, saat diwawancarai Mongabay mengatakan, kejahatan satwa liar merupakan kejahatan luar biasa. Banyak sekali satwa liar dilindungi jual bebas di pasaran.

Untuk itu, sertifikasi lingkungan hidup terhadap hakim, jaksa dan para penegak hukum lain, katanya, diharapkan mampu membuka pola pikir peka lingkungan.

Marang, Kepala Satuan Tugas Sumberdaya Alam, Kejaksaan Agung, mengatakan, Jaksa Agung menekankan para jaksa konsisten dan profesional dalam penangani perkara kejahatan lingkungan dan satwa liar.

Masalah ekosistem, katanya, jadi perhatian khusus bagi Satgas Sumber Daya Alam-Lintas Negara Kejagung.

Penurunan populasi satwa, katanya, karena banyak perburuan dan perdagangan ilegal. Jadi, katanya, keseriusan penegak hukum memberikan efek jera dengan memvonis maksimal sangat penting .

Wawasan jaksa dalam penanganan kejahatan satwa liar, juga harus terus bertambah. Selain itu, katanya, pendekatan penyadartahuan, sosialisasi juga harus berjalan seiring.

“Jadi konsep pencegahan harus dilakukan, selain tindakan hukum. Jaksa harus memberikan tuntutan maksimal agar pelaku kejahatan lingkungan dan kehutanan tidak mengulangi perbuatan. Pak Jaksa Agung sangat serius melihat masalah ekosistem dan kerusakan alam yang sudah parah ini.”

 

Keterangan foto utama:    Burung-burung dilindungi ini disita dari rumah orangtua Adil. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Adil, usia persidangan. Foto: Ayat S karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version