Mongabay.co.id

Menyoal Pembangunan Pelabuhan Internasional Kijing

Rumah warga yang terkena proyek pembangunan Pelabuhan Internasional Kijing, dan sudah ada penggantian mulai dihancurkan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

“Tangkap mafia dan calo ganti rugi lahan!” teriak ratusan nelayan tradisional. Mereka memasuki halaman Kantor Pemerintah Kalbar, awal Mei 2019. Menggunakan sepeda motor dan mobil bak terbuka, para nelayan bertolak dari tempat asal mereka di Desa Sungai Kunyit, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat.

Aksi unjuk rasa ini bukan kali pertama. Oktober tahun lalu, nelayan pemilik kelong dan togok sudah mengadukan nasib mereka ke pemerintah.

Kelong, adalah jermal yang dipasang nelayan untuk menangkap ikan teri, dan togok merupakan jermal buat tangkap udang. Sebanyak 20 warga berdialog dengan Pemerintah Mempawah dan PT Pelabuhan Indonesia (Indonesia Port Corporation/IPC), sebagai pelaksana pembangunan Pelabuhan Internasional Kijing.

Nelayan mempertanyakan kepastian ganti kelong dan togok yang dibongkar karena pembangunan pelabuhan. Warga kesal karena setelah dibongkar belum kunjung ada kejelasan ganti rugi. Kondisi ini menyebabkan, masyarakat kehilangan mata pencaharian utama, ditambah tak mempunyai modal memulai usaha lain.

Beberapa bulan kemudian, pada 23 Maret 2019, puluhan warga Desa Sungai Bundung Laut (SBL), Kecamatan Sungai Kunyit, pun kembali menagih janji pembayaran penggantian tahap kedua dari Pelindo.

Mereka pergi ke kantor desa. Tak ada perangkat desa menemui. Akhirnya, warga menuju Badan Pertanahan Nasional Mempawah.

Kali ini, pergantian tak hanya kelong dan togok, juga tanaman di kebun dan lahan.

Bahkan, karena tak mendapatkan respon sesuai harapan, warga berupaya menghentikan pengerjaan proyek pembangunan pelabuhan internasional ini. Meski begitu, aksi ini berakhir damai.

Pada 2 Mei 2019, juga ada aksi warga. Mereka masih buntut keresahan masyarakat terhadap masalah pembebasan lahan pelabuhan.

Satu persatu warga berorasi di halaman Kantor Gubernur Kalbar, mengungkapkan permasalahan di lapangan.

Perwakilan nelayan berteriak lantang, yang lain memegang spanduk tuntutan.

“Kami dijanjikan uang ganti rugi dari Pelindo Rp150 juta per nelayan. Ganti rugi yang kami terima tak sesuai dijanjikan, hanya Rp12 juta,” kata Rizal, koordinator aksi.

 

Di balik pagar seng itu, mulai pembangunan Pelabuhan Internasional Kijing. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Warga menuntut pemerintah daerah bertindak tegas, seperti memberikan intruksi agar pembangunan pelabuhan internasional setop, sampai masyarakat mendapatkan hak.

Aksi damai warga berhasil menarik perhatian gubernur. Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji, menemui warga menjelang tengah hari. Midji pun duduk di tangga pintu masuk kantor. Satu persatu keluhan disampaikan. “Kita akan bantu menyelesaikan masalah ini. Kita temui Pelindo.” katanya, di hadapan massa.

Bagi warga yang belum menerima uang ganti rugi, Sutarmidji menyarankan, mediasi oleh pengadilan. Pelaksana proyek, katanya, akan membayar ganti rugi sesuai putusan pengadilan.

Masyarakat pun diminta membentuk koperasi tenaga kerja bongkar muat, untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di pelabuhan nanti. Dia juga meminta, Pelindo mengakomodirkebutuhan warga, terutama untuk lapangan pekerjaan.

 

Rampung 2020

Pelabuhan di Sungai Kunyit ini, merupakan pelabuhan internasional yang masuk dalam proyek strategis nasional.  Pada 5 Maret 2019, Sutarmidji, kunjungan ke proyek Pelabuhan Internasional Kijing. Saat itu, Midji didampingi Bupati Mempawah, Gusti Ramlana, dan perwakilan Pelindo II, M Nur Utomo.

Dalam kunjungan itu, Midji menggarisbawahi agar Pelindo segera memenuhi janji kepada masyarakat, hingga pembangunan proyek infrastruktur tak mengalami hambatan. Pelindo, menyatakan, bekomitmen segera menyelesaikan soal pembebasan lahan.

“April kita selesaikan,” kata Nur Utomo, saat itu.

Pelindu optimistis, proyek rampung pada 2020, dan bisa beroperasi tahap pertama.

Pembangunan Pelabuhan Kijing ini diperkirakan menghabiskan anggaran Rp14 triliun. Ia akan jadi pelabuhan paling modern di Kalimantan. Terminal ini akan dikembangkan dengan konsep digital port dilengkapi peralatan bongkar muat modern. Pelabuhan Kijing dirancang untuk memfasilitasi kegiatan bongkar muat kapal-kapal besar.

Pelabuhan ini akan terintegrasi dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), hingga akan mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi di Kalbar. Untuk pembangunan, Pelindo telah menunjuk BUMN, PT Wijaya Karya (Wika) sebagai pelaksana. Wika akan membangun terminal dari sisi konstruksi dermaga laut, port management area, jembatan penghubung dan container yard dengan total dana investasi Rp2,7 triliun.

 

Pelabuhan Internasional Kijing, dalam pengerjaan. Rencana, pelabuhan ini mulai beroperasi 2020. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Komitmen Pelindo dalam mengembangkan pelabuhan dan logistik di Kalbar ini tertuang dalam kesepakatan kerja sama dengan Pemerintah Provinsi Kalbar, meliputi pengembangan fasilitas kepelabuhan dan logistik. Kajian potensi di Kalbar, bersama-sama dan menyusun pengembangan bidang logistik di daerah ini.

Di Kalbar sendiri, proyek-proyek pembangunan bersama Pelindo tertuang dalam rencana pembangunan jangka menegah daerah Kalbar, 2014-2023. Saat ini, Pelindo II mengelola empat pelabuhan di Kalbar, yakni, Pelabuhan Dwikora dan Nipah Kuning di Pontianak, kemudian Pelabuhan Ketapang (Ketapang), dan Pelabuhan Sintete (Sambas).

Pelabuhan ini akan jadi hinterland, terutama bagi produk olahan mineral dan komoditas perkebunan, seperti minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan karet. Pelindo juga sepakat dengan PT Aneka Tambang (Antam)– bersama Inalum dan investor asal Tiongkok–mendirikan pabrik smelter alumina di Mempawah.

Pelindo juga sudah sepakat dengan pabrik-pabrik pengolahan sawit di Kalbar, untuk mengapalkan hasil produksi lewat Kijing.

Dari sisi geografis, Pelabuhan Kijing, cukup strategis. Berdasarkan studi kelayakan, pelabuhan ini berada di Selat Karimata, yang jadi penghubung Sumatera dan Kalimantan. Posisi Kijing juga berdekatan dengan Singapura, Selat Malaka, dan Laut China Selatan. Wacananya, terbangun pusat smelter, aspal, distribusi CPO, dan transshipment bahan bakar.

Pemerintah menyebut, Pelabuhan Internasional Kijing mendesak, terutama untuk menurunkan biaya logistik di Kalbar. Sebelumnya, Kota Pontianak, mengandalkan Pelabuhan Dwikora. Seiring waktu, lahan tak lagi memadai untuk pengembangan dan hanya bisa masuk kapal relatif kecil ke pelabuhan.

Kapal besar tak bisa masuk ke Pelabuhan Pontianak, karena kedalaman Sungai Kapuas hanya 6-7 meter. Untuk Pantai Kijing, kedalaman sekitar 12-15 meter, hingga bisa masuk kapal besar.

 

Ikan asin produksi perempuan nelayan. Setelah ada proyek pembangunan pelabuhan, tangkapan ikan berkurang, bahan baku ikan asin pun berkurang. Foto: Aseanty pahlevi/ Mongabay Indonesia

 

 

Nelayan dan petani terdampak

Pelabuhan Internasional ini berlokasi di Pantai Kijing, Kecamatan Sungai Kunyit. Sebuah pantai yang jadi obyek wisata di Kalbar. Letaknya mudah dijangkau, tak jauh dari jalan raya. Sekitar 200 hektar kawasan tepian Kijing ini akan jadi pelabuhan internasional. Dari luasan itu, dua desa terkena dampak pembebasan lahan, yakni, Desa Sungai Bundung Laut dan Desa Sungai Kunyit.

Letak dua desa ini sekitar 2,5 jam perjalanan pakai mobil dari Kota Pontianak, ibukota Kalbar. Proyek ini terdampak bagi sekitar 400 keluarga Desa Sungai Bundung Laut dan 100 keluarga Desa Sungai Kunyit. Mereka sudah ada yang mendapatkan ganti lahan, ada juga yang bertahan karena tak mau melepas lahan maupun tawaran penggantian dinilai belum sesuai.

Rumah-rumah dan kebun warga sebagian sudah dihancurkan. Tersisa beberapa rumah berdiri, terutama yang belum selesai proses pembebasan lahannya.

Edi, warga Desa Sungai Kunyit ini, bersama keluarganya, masih enggan melepas tanah dan rumah mereka. Dia bilang, tawaran harga dari Pelindo, terlalu rendah. Dia contohkan, satu toilet, Pelindo mau dihargai 500.000. “Buat beli gorong-gorong dua saja sudah lebih Rp500.000, belum, dinding semen, tak usah hitung biaya tukang dan lain-lain. Mana dapat Rp500.000,” katanya.

Saat ini, total lahan orangtuanya—berdiri rumah dia dan keluarga—sekitar 3.546 meter. Ada dua rumah. Rumah dan tanah Edi, ditawar Rp150 juta lebih. Dia tak mau. “Belum lama ini, ada yang nak nawar Rp300 juta, saya tak kasih.”

Sebenarnya, dia dan keluarga berat hati melepas lahan dan rumah mereka dengan posisi strategis seperti sekarang. Kalau mau lepas lahan dan dapat duit Pelindo, dia takut, uang ganti tak mencukupi buat beli lahan di lokasi bagus dan bangun rumah seperti sedia kala. Belum lagi, baru ada informasi proyek masuk ke Sungai Kunyit, harga lahan sudah naik.

Dia cerita, kala Pelindo dan pemerintah sosialisasi 2016 sampai 2017, mereka sebutkan pelapasan lahan akan ada ganti untung. Edi protes, penyebutan ganti untung karena tawaran yang dia terima jauh dari kata untung.

“Ganti untung darimane? Diuntungkan tu kalo bagi saye, name kan keuntungan, kalo rumah sekarang satu tingkat, lalu jadi dua tingkat. Itu untung. Itupun belum tentu, apakah hidup kite lebih baek lagi di tempat baru? Karena kondisi sekarang ni kan tanah, rumah, semue harge tetap melambung.”

Untuk itu, dia memilih tetap bertahan kalau tak ada kenaikan harga penawaran dari Pelindo. “Saye akan tetap bertahan, kalau tak ade kenaikan harge. Kalau saya terima pun mungkin saya akan dapat rumah lebih kecil dari ini,” katanya, seraya bilang bukan tak setuju pembangunan, tetapi tak mau kalau sampai kehidupan dia dan keluarga jadi lebih buruk dari sekarang.

 

Nelayan sedang membuat jaring ikan. Setelah ada proyek pelabuhan, nelayan ini merasakan ruang tangkap mereka makin kecil, hasil melaut pun menyusut. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Apalagi, hidup mereka sebagai nelayan selama ini terbilang cukup. Rumah berada di tepian jalan raya, bagian belakang rumah sudah laut lepas, tempat dia dan keluarga menangkap ikan. Ikan-ikan tangkapan, langsung bisa bawa ke pasar.

Perairan laut belakang rumah Edi, termasuk titik potensial perikanan di Menpawah. Di sana, ada banyak kelong dan togok. “Nelayan dari daerah lain saja datang ke sini buat tangkap ikan. Apalagi, di laut tu ada pulau, dekat karang, banyak ikan,” kata pria 43 tahun ini.

Edi melaut setiap hari, kecuali cuaca buruk. “Kalau hujan masih mungkin jalan. Kalau angin kencang, itu tak turun,” katanya.

Dia tangkap ikan juga tak perlu jauh-jauh ke tengah laut sudah menghasilkan lumayan per hari. Sebelum ada pembangunan pelabuhan, per hari rata-rata sekitar Rp200.000-an lebih. “Name kan kite malaut, tak tentulah, kalau kasang hitung rate-rate Rp200.00 lebeh. Langsung jual ke pasar,” katanya. Dia pakai kapal motor dengan panjang sekitar tujuh meter.

Hasil tangkapan ikan beragam. Dari laut, ikan-ikan lalu disortir para perempuan nelayan. “Yang kecil-kecil dibuat ikan asin,” kata Nina, perempuan nelayan.

Edi bilang, setelah pembangunan proyek berjalan mereka agak kesulitan tangkap ikan. Wilayah tangkap jadi menyempit karena laut yang biasa tangkap ikan buat pelabuhan. “Jaoh berbedanye, suletlah nangkap ikan. Kalau pindah ke jaoh, sedangkan orang jaoh jak lari ke sinik. Sinik sumbernye. Sinik ade pulaunye. Ikan ke karang-karang banyak.”

Belum lagi, lalu lintas kapal yang mengerjakan proyek hingga menyulitkan mereka tangkap ikan. “Terganggulah. Otomatis lahan kite udah jauh mengecil. Terganggu lalu lintas die (pengerjaan proyek-red). Kapal-kapal die. Itu dah sangat teganggu. Jembatan tu panjang, jarak besar. Kite (jaring) kan beranyut. Jadi kite sangat sempit.”

 

Rumah warga yang terkena pembangunan, sudah mulai dihancurkan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Nina membenarkan ucapan Edi. Dia bilang, tangkapan ikan tak sebanyak dulu. Kalau dulu, buat ikan asin, berkilo-kilogram. Sekarang, paling sekali turun, cuma satu dua kilogram untuk bikin ikan asin.

Ikan asin, katanya, selain dijual ke pasar, juga banyak pembeli langsung datang. “Sekarang sulit, ikan dapat sedikit,” katanya, sambil menunjuk ikan-ikan asin yang terjemur.

Haimi, Plt Kepala Desa Sungai Kunyit, membenarkan, pembangunan pelabuhan masih berhadapan dengan masalah, seperti pembebasan lahan, maupun ruang hidup nelayan. Dia tak membantah kalau pembangunan pelabuhan ini berdampak kepada nelayan dan petani maupun pekebun. “Yang kena imbasnye, nelayan same petani. Yang imbas cukup lumayan besar,” katanya.

Saat ini, pembangunan pelabuhan dampak peningkatan ekonomi belum terlihat. “Pelabuhan belum beroperasi, baru pembebasan lahan dan pembangunan konstruksi.”

Mulyadi, Kepala Desa Bundung Laut mengatakan, pembangunan pelabuhan internasional ini sebenarnya berdampak baik bagi warga. “Warga yang dulu rumah tidak permanen, sekarang jadi permanen,” katanya, saat ditemui 20 Juni 2019.

Ukuran alami dampak baik buat Mulyadi, warga bisa menunaikan ibadah haji atau umroh, menyekolahkan anak-anak hingga ke perguruan tinggi dan mendapatkan ganti yang memadai.

Hampir setengah warga Desa Sungai Bundung, tergusur proyek pembangunan. Sungai Bundung Laut sendiri terdiri dari 3.000-an orang, 733 keluarga. Terkena dampak proyek sekitar 400 keluarga, dengan satu Dusun Suka Tani habis dan Dusun Mayasarit, terkena dua rukun tetangga, RT03 dan RT04.

Rumah Mulyadi pun terkena pembangunan. Dia mendapat ganti lahan sekitar Rp500 juta. Uangnya untuk membangun rumah baru, sisanya menunaikan umroh bersama istri dan menyekolahkan anak ke perguruan tinggi serta beli lahan buat kebun. “Nanti, habis rumah saye ni, kena…” katanya, seraya bilang, dia juga beli lahan untuk berkebun jeruk tak jauh dari desanya.

 

Mulyadi, Kepala Desa Bundung Laut . Foto: Aseanty Pahlevi/ Mongabay Indonesia

 

Pekerjaan warga di desa ini, kata Mulyadi, mayoritas petani dan pekebun. “Petani padi. Pekebun kelapa, pisang, jeruk, sawo. Mayoritas pisang dan kelapa.”

Sebagian warga, dari hasil ganti lahan mereka kini menempati kawasan pemukiman baru. Sudah ada sekitar 300-an rumah mulai dibangun di tiga titik. Warga kolektif membeli lahan jauh dari pesisir pantai. Lahan satu keluarga seluas 10 x 35 meter. Selain rumah, warga masih bisa memanfaatkan lahan tersisa untuk tanam beberapa pohon buah.

Namun, katanya, sebagian warga menolak berada di lahan relokasi itu karena berbagai alasan, antara lain, akses jalan buruk, belum ada listrik dan air bersih.

Pemerintah desa, katanya, akan membantu pengerasan jalan ke relokasi lewat dana desa. Selain itu, Pelindo juga akan memberikan dana tanggung jawab sosial hampir Rp1 miliar untuk pengerasan jalan, air bersih dan lain-lain. “Saya bilang, berinya jangan sekarang. Warga lagi bangun rumah, nanti kalau pembangunan rumah hampir selesai, misal, 95%, tinggal pasang lantai, pengerasan jalan bisa mulai.”

Sungai Bundung Laut adalah wilayah yang paling luas terkena pembebasan lahan, dari 200-an hektar, 149 hektar dari desa ini.

Penggantian dari Pelindo, setidaknya ada tiga tipe, yakni, lahan, bangunan dan tanam tumbuh. Penggantian tanaman pun tergantung jenis, paling mahal pohon sawo sekitar Rp1,6 juta-Rp2 juta per batang. Kalau kelapa Rp900.000-Rp1 juta, begitu juga pohon asam, nangka maupun jeruk.

“Sawo mahal karena buah banyak, satu batang bisa 200-300 kg,” katanya.

Untuk tanaman pisang, pakai satu rebun (rumpun) Rp30.000. “Same ngan tebu. Kalau sawah ganti lahan,” katanya.

Mayoritas warga desa itu setuju dengan penggantian Pelindo. Hanya ada, dua keluarga tak setuju. “Mereka menempuh jalur hukum. Dua warga meminta ganti rugi di atas harga yang ditawarkan Pelindo. Nilai jual obyek pajak Rp10.000 per meter, mereka minta Rp1 juta per meter.” Lahan warga tetap lepas dengan uang titip di pengadilan, sesuai UU No 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah.

 

Satu pohon nangka di rumah Mulyadi ini juga peroleh penggantian. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Mulyadi yang baru menjabat dua tahun sebagai kades ini, berencana, bangun Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang terintegrasi dengan pelabuhan. “Bisa bangun bidang usaha toko hasil bumi, juga pupuk dan lain-lain,” katanya.

Haimi, juga berpikir serupa, dengan ada pelabuhan ini warga bisa alih kerjaan. “Mungkin sudah saatnya alih profesi. Pendapatan saya yakin akan lebih baik,” katanya.

Dia berharap, dapat mempersiapkan warga untuk melihat peluang-peluang ekonomi. Haimi melirik BUMDEs bidang alat tulis kantor, wirausaha kuliner dan jasa.

 

Siapa nikmati untung?

Anton Wijaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat, mengatakan, Walhi tak menolak pembangunan infrastruktur pelabuhan untuk akselerasi pembangunan daerah jangka panjang. “Kita setuju saja. Masalah kita, adalah, siapa penerima manfaat dari proyek ini, apakah masyarakat setempat atau pemilik modal?” katanya, kepada Mongabay.

Bagi Walhi, katanya, dampak seperti warga kehilangan ruang hidup, tak boleh terjadi. Untuk itu, katanya, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) harus jadi syarat utama pembangunan pelabuhan itu.

“Pertanyaannya, apakah KLHS dari pembangunan pelabuhan ini sudah rampung sebelum pembangunan fisik dilakukan? Sepanjang ingatan saya, tak pernah mendengar, apalagi diundang untuk persetujuan KLHS itu.”

Kalau KLHS sudah ada, kata Anton, tentu langkah mitigasi kepada masyarakat terdampak langsung proyek, langkah pencegahan dampak dan antisipasi-antisipasinya sudah jadi ruh dari pembangunan pelabuhan ini.

“Singkatnya, saya ingin mengatakan, jika masih ada persoalan di level masyarakat terdampak langsung, seperti penolakan, konflik atau tuntutan-tuntugan lain di level masyarakat, menjelaskan, KLHS belum benar.”

Dia bilang, bobot KLHS, di atas analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). KLHS tidak hanya bicara daya dukung dan daya tampung lingkungan, juga dampak sosial, ekonomi maupun budaya bagi masyrakat di lokasi proyek.

Dia menyarankan, pemerintah daerah atau pemilik proyek harus mempublikasikan hasil KLHS agar bisa dinilai dan dipahami publik luas. Pemerintah, kata Anton, juga harus memprioritaskan penyelesaian ganti untung bagi masyarakat di tingkat tapak.

Edo Rahman, Kepala Departemen Kampanye Walhi Nasional tak heran kalau proyek pembangunan infrastruktur di lapangan, menemui berbagai masalah, seperti soal lahan.

 

Haimi, Plt Kepala Desa Sungai Kunyit. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Persoalan mendasar, katanya, pemerintah merencanakan pembangunan atau pengembangan infrastruktur publik secara sepihak, tak pernah berdasarkan kesepakatan atau keperluan bersama. “Inilah yang selalu dimanfaatkan oleh swasta dan mengatasnamakan kepentingan umum,” katanya.

Swasta, katanya, juga melihat kelemahan sistem hukum di Indonesia hingga betul-betul memanfaatkan itu. Anehnya, kata Edo, pemerintah justru tak sadar sedang dimanfaatkan. “Lebih parah lagi, justru makin memfasilitasi swasta.”

Dia contohkan, Indonesia sudah punya PP 27/2012 tentang Izin Lingkungan, di mana sejak proses awal hingga terbit izin lingkungan, perlu 130 hari. Karena ambisius, pemerintah membangun proyek infrastruktur dengan label strategis nasional dan melibatkan pihak ketiga, aturan ini kemudian dibuatkan tandingan lebih singkat secara waktu. Perpres 3/2016 menyebutkan, kalau proyek strategis nasional, izin lingkungan harus selesai dalam waktu 60 hari.

“Ini artinya apa? Memang pemerintah selalu menomorduakan dampak lingkungan dan sosial dalam sebuah proyek pembangunan infrastruktur. Paling utama, adalah investasi masuk, investasi jalan aman dan pihak ketiga senang. Kalau perlu ditambahkan investasi meski dalam bentuk utang…” katanya, kesal.

Contoh lain, soal sistem hukum Indonesia lemah dimanfaatkan pihak ketiga, yaitu, soal pengadaan tanah.

Walhi, katanya, sejak awal melawan pemberlakuan UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. “Ini sangat tidak adil bagi lingkungan dan masyarakat.”

UU ini, kata Edo, sudah buruk, malah makin diperburuk dengan kemunculan aturan-aturan turunan. Contoh, dalam UU Pengadaan Tanah, total waktu untuk memperoleh tanah sebuah proyek pembangunan lebih lima hektar, selama 414 hari.

Durasi waktu ini, katanya, sudah terhitung ketika masyarakat keberatan atau proses hukum. Faktanya, belum pernah ada masyarakat menang ketika mempertahankan tanah dari sebuah proyek. “Pasti berakhir dengan duit dititip ke pengadilan negeri setempat,” katanya, sambil mengatakan, posisi masyarakat dan lingkungan selalu jadi obyek yang bisa ‘dikorbankan’ untuk kepentingan pembangunan proyek infrastruktur.

 

Keterangan foto utama:  Puing-puing rumah warga yang terkena proyek pembangunan Pelabuhan Internasional Kijing. Rumah yang  sudah ada penggantian ini dihancurkan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Material pembangungan pelabuhan di tepian pantai. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version