Mongabay.co.id

Tri Maharani Cerita soal Tangani Korban Ular Berbisa sampai Darurat Antivenom

 

 

 

 

 

Ular sebagai penyebar sekunder berbagai benih dengan memangsa tikus atau burung. Ular juga menempati posisi penting dalam rantai makanan, sebagai penjaga keseimbangan ekosistem, antara lain, mencegah populasi hama meledak.

Beberapa jenis ular memiliki bisa (venom) mematikan dalam melumpuhkan mangsa terpaksa menyuntikkan bisa itu saat bertemu manusia. Akibatnya, manusia jadi korban. Banyak dari mereka meninggal atau cacat permanen.

Di Indonesia, angka terbilang tinggi. Tri Maharani, masih mengingat wawancara dengan Mongabay pertama kali beberapa tahun silam.

Baca juga: Tergigit Ular Berbisa? Berikut Ini Rekomendasi WHO

Dokter dengan banyak waktu didedikasikan untuk penyelamatan korban ular berbisa ini berharap tak ada lagi korban jiwa atau kecacatan. Salah satunya, memberikan pertolongan pertama dengan benar.

Mongabay harus bantu aku mempopulerkan cara pertolongan pertama akibat gigitan ular berbisa. Selama ini kita banyak salahnya,” katanya, Mei lalu, di Yogyakarta.

Setiap akhir pekan dia tak lelah keliling Indonesia. Ada saja yang membutuhkan kepakaran tentang penanganan gigitan ular berbisa. Mulai dari yang ingin berkonsultasi, perawatan, hingga mendapatkan antivenom yang tak ada di Indonesia. Karena reputasi ini, Maha dikenal memiliki jaringan sangat baik dengan sumber serum antibisa ular.

Nyaris putus asa karena minim dukungan, dan menguras uang pribadi, Maha bertekad menyelamatkan lebih banyak lagi korban gigitan ular. Baginya, nyawa manusia tidak ternilai. Berikut petikan bincang-bincang Maha dengan Mongabay seputar ular berbisa dan soal krusial penanganan korban di Indonesia.

Dokter Maharani, satu-satunya dokter perempuan yang ahli pengobatan racun bisa di Indonesia?

Kalau yang mempelajari toksinologi itu memang baru aku. Cuma aku ini sebetulnya dokter spesialis emergensi. Di emergensi itu ada bidang yang namanya toksinologi, bukan toksikologi, ya. Kalau toksikologi itu semua, mulai dari bahan kimia, dan sebagainya. Aku tidak, aku cuma yang berasal dari hewan.

Kenapa pilihannya itu?

Oh… ceritanya panjang. Sebetulnya S3 ku biomedik, kemudian spesialisku emergensi, master ku immunologi. Sampai suatu hari ketemu teman dari luar negeri yang bilang di Indonesia, penanganan gigitan ular, sengatan hewan, banyak yang keliru. Aku diundang jadi pembicara di sebuah konferensi di luar negeri, ngomong tentang penanganan gigitan ular di Indonesia. Sepulang dari sana, 2012, aku baru sadar, di Indonesia itu salah semua bertahun-tahun. Akhirnya, aku berkomitmen dengan diri sendiri, aku akan belajar, akan menolong mereka.

Pada 2015, WHO tahu apa yang aku kerjakan mulai 2012 hingga 2015. Waktu itu, aku keliling dengan uangku sendiri, edukasi, menghadiri berbagai acara, memakai guideline WHO keluaran 2010.

Lalu WHO tanya, dokter Maha, kami mau merevisi buku 2010 tentang gigitan ular. Kami sudah lihat pekerjaan dokter Maha di Indonesia dan kami tidak melihat nama lain yang direkomendasikan pada kami kecuali dokter Maha. Karena yang intens melakukan edukasi tentang snakebite tidak ada nama lain selain aku. Akhirnya, aku diangkat menjadi adviser WHO hari itu juga untuk membuat guideline WHO 2016. Jadilah, aku satu-satunya dari Indonesia dan Asia untuk menulis itu.

 

Ular welang (Bungarus fasciatus) yang berbisa tinggi sekaligus predator alami ular. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Guideline biasanya diperbarui berapa tahun?

Tergantung, kalau sudah benar tidak diperbarui lagi. Akan diperbarui kalau ada penemuan baru lagi. Dari 2010, baru diperbarui 2016.

Nah, sejak jadi adviser WHO tentang gigitan ular, aku bekerja lebih giat lagi karena sekarang sudah ada guideline kan. Pada 2017, aku ditelpon lagi, dokter Maha, kami mau membuat proyek besar bernama SEWG, Snakebite Envenoming Working Group, yang akan membuat resolusi untuk 2019-2030, untuk reduksi kasus gigitan ular di seluruh dunia.

Aku disuruh mengirim persyaratan. Dari 65 orang terpilih 13 orang, tiga perempuan dan 10 pria. Salah satu perempuan itu adalah aku, yang lain dari luar negeri semua. Jadi, aku bersyukur jadi reviewer dari SEWG tadi. Akhirnya, kami membuat resolusi WHO tentang reduksi gigitan ular WHO (launching 23 Mei lalu). Nanti, seluruh anggota WHO harus ikut resolusi itu. Seperti Indonesia, yang tidak punya program gigitan ular, karena jadi anggota WHO otomatis ikut. Kayak HIV/AIDs, TB, itu Indonesia otomatis ikut.

Menurut dokter Maha, mengapa pemerintah kita agak terlambat dalam soal penanganan kasus gigitan ular?

Biasalah, kita tidak ada data. Data gigitan ular di Indonesia itu tidak ada yang mengumpulkan. Aku orang pertama di Indonesia yang mengumpulkannya, dari case per case, lewat lembaga yang aku dirikan di Indonesia, RECS, Remote Envenomation Consultation Services. Kami kumpulkan semua kasus gigitan ular di Indonesia secara online. Akhirnya, aku dapat semua data gigitan itu riil.

Jadi, ketika ada orang konsultasi, ada kendala seperti dokternya tidak mau sesuai guideline WHO, mereka pakai cara-cara tersendiri, keluarga minta pulang, tidak punya duit untuk beli antivenom, kami catat kasusnya. Biasanya aku datang ke kota itu.

Dalam sehari berapa kasus yang diterima?

Banyak, bisa riga hingga 10 kasus di seluruh Indonesia. Yang menghubungi juga banyak banget. Sampai aku gak praktik ke mana-mana, cuma praktik di satu rumah sakit. Aku PNS, Kepala Departemen Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daha Husada Kediri. Ya, sudah di situ saja karena waktu ku sudah habis di snakebite ini.

Hasilnya bagus, aku jadi tahu angka kasus di Indonesia itu 135.000 per tahun. Data 2018 di bawah HIV/AIDs, 191.000 dan di atas kanker 133.000. Artinya, masuk 10 penyakit terbanyak yang terabaikan. Maka, resolusi WHO tadi untuk NTD, neglected tropical desease. Artinya, setelah ini tidak boleh lagi terabaikan.

Kenapa pemerintah Indonesia belum ke sana?

Karena tidak ada data, tidak ada dana, atau mungkin tidak punya ekspert juga. Aku satu-satunya ahli toksinologi di Indonesia. Aku tidak bisa ngomong nggak peduli, nanti aku dipecat (tertawa). Aku cuma bisa ngomong begini, care-nya kurang.

Dokter itu sebetulnya bukan pekerjaan dan posisi. Dia adalah soul, jiwa. Nah, ketika seseorang itu menjadi dokter maka jiwanya jiwa dokter. Seperti juga prajurit, dia bukan posisi, juga bukan pekerjaan tetapi jiwa dia prajurit.

Kalau ada orang bertanya mengapa aku melakukan semua ini, mau cari apa, pencitraan? Enggak lah. Yang jelas, adalah panggilan jiwaku untuk menolong orang yang digigit ular, karena tidak ada lagi yang mau menolong mereka toh.

Tidak takut sama ular?

Ya tidaklah. Sebenarnya, hewan itu tidak akan menggigit kalau tidak merasa terancam. Jadi, lebih baik tidak membuat mereka merasa terancam.

Penemuan dari kasus-kasus terbaru?

Banyak. Indonesia sangat amazing untuk kasus-kasus gigitan ular. Misal, dalam tiga bulan terakhir, aku banyak menemukan kasus gigitan ular hijau dengan kondisi kreatinin meningkat atau gagal ginjal akut. Sebetulnya, pada kasus-kasus hematotoksin karena gigitan ular hijau ini harusnya tidak ada gagal ginjal. Aku mendapat fenomena itu, entah mungkin karena antivenom yang tidak ada, dan memang tidak ada. Antivenom Indonesia itu tidak meng-cover ular hijau.

Bisa jadi karena green pit viper kan myotoksin juga. Itu yang membuat terjadi peningkatan kreatinin yang menyebabkan gagal ginjal. Ini fenomena yang tidak ada selain di Indonesia. Jadi itu memang harus diteliti.

Di luar negeri golongan ular tanah dan lain-lain kasusnya banyak. Fatalitas di Indonesia tinggi, dalam satu bulan ini ada tiga yang mati. Padahal, di Thailand dalam satu tahun tidak ada yang mati.

Mengapa?

Ya salah satu karena kecepatan dan ketepatan dalam menangani, ada antivenom, dan paling penting, ada pertolongan pertama di masyarakat yang benar. First aid kita masih pakai tradisional yang salah. Ada yang dicelup, dibakar, akhirnya malah jadi luka bakar. Dikasih jamu-jamuan, dikasih keris.

 

Seseorang memegang ular berwarna hijau yang tidak berbisa. Ular memegang peran penting dalam rantai makanan. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

* * *

Indonesia baru memproduksi satu antivenom untuk tiga jenis ular, yaitu, ular tanah, kobra, dan welang. Setidaknya, ada 76 jenis ular berbisa di Indonesia. Saat perlu, harus mendatangkan dari luar negeri. Maha kerap merogoh kocek sendiri untuk mendapatkan serum anti bisa ular (SABU) itu dan menyerahkan gratis untuk pasien. Dia rela mengesampingkan kebutuhan pribadi, menabung demi sebotol serum yang harga bisa puluhan juta rupiah.

Cerita bagaimana SABU didapatkan, lalu didistribusikan ke rumah sakit yang merawat pasien, sering jadi kisah heroik nan epik. Karena tak jarang SABU harus sampai ke pasien dalam hitungan jam, dan pasien berada di rumah sakit terpencil. Jika tidak, nyawa manusia taruhannya. Kisah itu berkali-kali dialami perempuan kelahiran 31 Agustus 1971 ini.

Ketersediaan antivenom di Indonesia masih menjadi masalah besar hingga banyak korban terpaksa kehilangan nyawa. Bisa dibilang, Indonesia, darurat antivenom.

Bagaimana antivenom dibuat?

Dari bisa ular. Produksi antivenom sendiri memang tidak mudah. Dari venom itu tidak langsung bisa dipakai. Dia harus melalui proses purifikasi. Diambil imunoglobulin, hanya diambil Fab, kemudian diperbanyak dalam serum kuda. Karena Indonesia, masih memakai kuda untuk memperbanyak antivenom tadi.

Kita sudah bisa bikin?

Bisa, tapi Indonesia punya satu antivenom saja untuk tiga jenis ular, yaitu, ular tanah, kobra, dan welang. Itu sudah diproduksi dari tahun 50-an. Memang belum ada riset-riset baru karena penelitian baru itu juga mahal. Memang produksi di Indonesia itu belum produksi promosi. Jadi susah.

Maksudnya?

Untuk vaksin itu promosi. Kemudian stemcell itu promosi. Tapi untuk antivenom itu tidak. Karena mungkin itu tadi, riset mahal, terus tidak profit. Sekarang kan BUMN, jadi harus menghasilkan profit. Apakah laku atau tidak, apakah orang yang digigit ular sebanyak itu, apakah bisa membuat produksi terus seperti vaksin? Kalau antivenom kan tidak. Bisa saja tahun itu yang digigit banyak, lalu turun drastis. Itu yang disebut obat bukan promosi.

Kalau pakai herbal?

Tidak bisa. Jadi, dari semua riset WHO sampai sekarang ini, ternyata semua obat tradisional itu gagal. Karena itu, adalah protein enzimatik. Harus diikat oleh protein enzimatik juga yaitu antivenomnya. Jadi, semua cara-cara itu terbukti tidak bisa mengeluarkan antivenom.

Jadi harus pakai pengobatan modern, serum antibisa?

Ya. Jadi begini, menurutku sebelum menuju antivenom, di Indonesia harus dihapuskan cara-cara salah untuk first aid atau penanganan awal. Seperti aku latihkan ke mereka. Mereka harus lakukan cara first aid WHO, yaitu, dibuat tidak bergerak atau imobilisasi. Selama ini kan semua orang diikat, dikeluarkan darahnya, disedot, atau dibuat sayatan.

Mereka pikir dengan itu bisa mengeluarkan venom. Ternyata, venom itu tidak lewat pembuluh darah, tapi lewat kelenjar getah bening, hingga tidak bisa keluar dengan cara-cara itu. Ia harus imobilisasi, supaya ketika tidak bergerak, tidak menjalar ke seluruh tubuh hingga tidak merusak semua organ dalam tubuh.

Aku pernah membuat sebuah riset. Orang yang aku temui di pasar, di mal, di mana-mana, semua jawabannya sama, diikat. Artinya, bangsa Indonesia ini berada dalam ketidakmengertian first aid atas gigitan ular yang benar. Maka, pe er (pekerjaan rumah-red) seperti ini adalah mereka memberitahukan ke lingkungan, keluarga masing-masing, tentang first aid yang benar.

Selama ini kita banyak salah. Cara-cara tadi itu memang lebih populer karena ada di film Suzzanna (tertawa). Sementara, aku tidak pernah bikin film. Di acara TV ternyata cara mereka salah juga. Aku dipanggil ke Flores, untuk menolong tim sebuah stasiun TV.

Artinya, begini, di Indonesia itu harus ada perubahan. Dari penanganan first aid salah ke penanganan yang benar. Setelah itu, baru tahap produksi antivenom karena antivenom itu mahal. Ya, semoga saja dengan resolusi WHO tadi WHO memproduksi semua antivenom untuk semua negara, hingga bisa gratis seperti HIV/AIDs. Bayangkan, antivenom ular Papua, harga beli dua sama dengan satu mobil, Rp80 juta!

 

Tri Maharani memperlihatkan cara pertolongan pertama gigitan ular berbisa. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia
Sunda pit viper, si cantik nan berbisa. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version