- Seekor macan masuk Kampung Cimalingping, Kecamatan Kasomalang, Subang, Jawa Barat, 1 Juni 2019 lalu. Kejadian ini baru pertama kali dialami warga.
- Macan yang ditangkap ini memiliki berat 30 kilogram dengan panjang 208 centimeter. Saat ini dititiprawatkan di Kebun Binatang Bandung. Kondisinya sehat, hanya menunggu waktu dilepasliarkan di Taman Nasional Gunung Ciremai.
- Kawasan konservasi yang ada macan tutul, umumnya luas. Seperti taman nasional di seluruh Jawa, ditambah suaka margasatwa dan beberapa cagar alam. Kendala utama untuk menginventarisir adalah biaya besar, meskipun tergantung metode dan intensitasnya.
- Macan tutul dan macan kumbang adalah spesies yang sama. Meski warna rambut dominan hitam, namun macan kumbang memiliki sejumlah totol jika dilihat dari dekat. Pola totolnya sama dengan macan tutul yaitu “rosette” atau kembangan.
Juju Juangsih [62], warga Kampung Cimalingping, Kecamatan Kasomalang, Subang, Jawa Barat, tak bisa melupakan peristiwa yang dialaminya. Pagi itu, 1 Juni, 2019, pukul 04.30 WIB, saat membuka pintu dapur rumahnya, ia kaget bukan kepalang.
Sesosok tubuh besar hitam, melompat ke arahnya, menerkam. “Tiba-tiba saja melompat ke arah saya,” kata Juju menceritakan kejadian itu, beberapa waktu lalu.
Setengah sadar, Juju teriak minta tolong. Tetangganya, Mimin [53], menghampiri Juju yang berlumur darah.
“Waktu itu saya tanya, kunaon bi kunaon eta mastaka getihan kitu? [kenapa bi kenapa itu kepala berdarah?],” ucap Mimin.
“Ku anjing hideung badag [sama anjing hitam besar] katanya,” tiru Mimin. Rumah Juju dan Mimin hanya terhalang satu kediaman.
Warga pun ramai berkerumun. Juju segera dibawa ke puskesmas setempat. Namun, karena lukanya parah, ia dirujuk ke Rumah Sakit Ciereng Subang.
Mimin menuturkan, warga bingung dengan apa yang dialami Juju. Mereka tetap mencari anjing hitam itu, meski belum ketemu.
“Dokter bilang, tidak mungkin luka saya dikarenakan anjing. Tidak ada gigitan atau bekas gigi, yang ada cakaran,” kata Juju.
Juju pulang dengan kepala penuh jahitan. Dua luka robek sepajang 10 centimeter di dahi membuatnya harus menerima 50 jahitan.
Baca: Sedih, Macan Tutul Ini Mati Ditembak karena Dianggap Meresahkan

Anton Hidayat, warga setempat, curiga. Sorenya, kata Anton, warga berinisiatif mencari lagi sosok misterius itu. Selang berapa jam, diketahui satwa yang melukai Juju bukan anjing, melainkan macan tutul hitam. Biasa disebut juga macan kumbang.
“Ternyata macan, ngumpet di rumah warga,” ungkap Anton.
Laporan macan tutul masuk permukiman diterima Kepolisian Sektor Jalan Cagak. Polisi datang dan memberitahu warga jika jenis ini dilindungi undang-undang. Butuh waktu satu hari satu malam menangkapnya. Pihak Kebun Binatang Bandung turut mengevakuasi.
“Jika polisi tidak datang, mungkin sudah kami bunuh. Ya bagaimana lagi, pilihannya antara manusia atau satwa. Ketidaktahuan telah memicu amarah warga,” ucapnya.
Anton mengatakan, ini kejadian pertama. Sepengetahuannya, Kampung Cimalingping jauh dari gunung. Kalaupun ada hutan, itu tanahnya warga, sudah gundul. “Tidak tahu juga bila dari Gunung Cipunagara, tapi jaraknya 10 kilometer ke arah Tangkuban Perahu,” ujarnya.
Baca: Macan Tutul Jawa yang Mulai Terasing di Habitatnya

Macan yang ditangkap ini memiliki berat 30 kilogram dengan panjang 208 centimeter. Ia masih dititiprawatkan di Kebun Binatang Bandung. “Kondisinya sehat. Kami tinggal menunggu waktu yang ditetapkan untuk dilepasliarkan,” ujar Sulhan Syafi’i Marcom, dari Kebun Binatang Bandung.
Menurut informasi, rencananya pelepasliaran dilakukan di Taman Nasional Gunung Ciremai [TNGC]. Mongabay-Indonesia pun menghubungi Kepala TNGC Kuswandono. “Jadwal tepatnya menunggu instruksi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat,” terangnya.
Menurut Hoogerwerf [1970], ukuran rata-rata tubuh macan tutul jawa, jantan dewasa, dari moncong hingga ujung ekor sekitar 215 cm, tinggi [60-65 cm], dan berat [52 kg]. Sedangkan betina, panjang dari moncong hingga ujung ekor berkisar [85 cm], tinggi [60-65 cm], dan berat [39 kg].
Baca: Pertama Kali Terfoto Kamera Trap, Macan Tutul Terbukti Masih Ada di Cikepuh

Macan kumbang?
Di Indonesia, macan tutul jawa memang dikenal juga dengan julukan macan kumbang. Perbedaan warna ini, banyak ditemukan di Pulau Jawa dan di Benggala, India. Perbedaan akibat pigmen melanistik yang dimiliki macan tutul jawa, sehingga individu yang memiliki warna dasar gelap [hitam] dikatakan mengalami melanisme.
Ketua Forum Macan Tutul Jawa [Formata], Hendra Gunawan, menuturkan secara gambalng perihal ini. Dia mengatakan, beberapa spesies dari ordo karnivora mengalami “melanisme” atau penghitaman warna rambut tubuh. Macan tutul, khususnya macan tutul jawa termasuk yg mengalami melanisme, dinamakan macan kumbang atau black panther.
“Jadi, macan tutul dan macan kumbang adalah spesies yang sama. Meskipun warna rambut dominan hitam, akan tetapi macan kumbang masih memiliki sejumlah totol jika dilihat dari dekat. Atau, pada cahaya terang. Pola totolnya sama dengan macan tutul yaitu berbentuk “rosette” atau kembangan,” jelasnya, Senin, 8 Juli 2019.
Hendra mengatakan, fenomena melanisme dapat dilihat dari sisi ekologi perilaku dan genetika. Dari perilaku, proses melanisme dianggap sebagai adaptasi macan tutul dengan lingkungannya. Dugaan ini didasari fakta bahwa macan kumbang banyak ditemukan di hutan tropis yang rapat dan gelap.
Sementara, macan tutul berada di hutan terbuka, savana, atau gurun. Di wilayah ini tidak pernah atau jarang ditemukan macan kumbang. “Di Pulau Jawa, macan kumbang banyak ditemukan di hutan alam lebat di Jawa Barat. sementara di Jawa Tengah yang hutannya banyak tanaman jati, jarang ditemukan macan kumbang,” jelasnya.
Berdasarkan sisi genetika, fenomena melanisme dibawa gen resesif. Berdasarkan referensi, jika macan tutul kawin dengn macan tutul maka peluang anaknya 3 tutul, 1 kumbang. Jika macan tutul kawin dengan macan kumbang, peluang anaknya 2 tutul dan 2 kumbang. “Bagaimana jika macan kumbang kawin dengan macan kumbang? Semua anaknya macan kumbang.”
Baca juga: Peneliti LIPI: Satwa yang Tertangkap Kamera Itu, Lebih Tepat Macan Tutul Ketimbang Harimau Jawa

Biaya mahal
Hendra menuturkan, kendala utama untuk menginventarisir keberadaan macan tutul adalah biaya yang besar. Meskipun, tergantung metode dan intensitasnya. Sebagai gambaran, kalau menggunakan kamera trap, dengan pembagian 1 grid luasnya 100 hektar [1 km x 1 km] maka dipasang kamera berhadapan [dua unit].
Bisa dikalkulasikan berapa luasan yang disurvei. Dibagi grid dan dikalikan jumlah kamera yang harga rata-rata Rp4-5 juta.
Periode ideal monitoring biasanya berjenjang enam bulan. Ongkos tadi belum termasuk biaya surveyor pengecek kamera, tenaga ahli yang menganalisis data, dan laporan. Jadi cukup mahal, belum lagi kalau menggunakan GPS collar transmitter.
“Tentunya peralatan [transmitter dan receiver] juga mahal. Penghitungan, biasanya per metapopulasi. Misal, untuk Taman Nasional Gede Pangrango kita anggap satu metapopulasi,” paparnya.

Hendra menjelaskan, kawasan konservasi yang ada macan tutul, umumnya luas. Seperti taman nasional di seluruh Jawa, ditambah suaka margasatwa seperti Cikepuh, Gunung Sawal, dan beberapa cagar alam seperti Kamojang, Ijen, Gunung Tilu, serta Leuweung Sancang.
Meski begitu, kata Hendra, macan tutul juga banyak terdapat di luar kawasan konservasi yaitu di hutan produksi dan hutan lindung. Diperkirakan, sekitar 50% populasi macan tutul di seluruh Jawa berada di hutan produksi.
“Ini yang potensial menimbulkan konflik, karena tekanan dan gangguan terhadap hutan produksi cukup tinggi. Terlebih, hutan produksi tidak dikhususkan sebagai perlindungan macan tutul. Tugasnya, produksi semata,” tandasnya.