Mongabay.co.id

Berbagi Air untuk Jaga Lahan Gambut Riau Tetap Basah

Sebuah kebun akasia yang berlokasi di atas lahan gambut Riau. Foto: Rhett A. Butler

 

 

 

 

Musim kemarau bisa jadi ancaman kebakaran kala gambut alami kekeringan. Temuan Jikalahari dan WWF Indonesia Program Riau, keberadaan perusahaan di hulu kanal yang membuat sekat mati menghambat aliran air ke kanal masyarakat di hilir.

Persoalan ini muncul dan dibahas dalam workshop bersama para pihak tentang pengelolaan gambut berkelanjutan dengan tema, “Water sharing and fire regulation” di 10 desa intervensi Giam Siak Kecil. Acara berlangsung di Aula Kantor Camat Bukit Batu, akhir Juni lalu dihadiri kepala desa dan perwakilan masyarakat peduli api.

Okto Yugo Wakil Koordinator Jikalahari, mengatakan, mereka juga menemukan sekat kanal masyarakat dirusak. Jikalahari melaporkan kasus ini ke Badan Restorasi Gambut (BRG) tetapi belum ada tindak lanjut meski BRG telah meninjau lokasi.

Sejak 2015, Jikalahari dan WWF, mendampingi masyarakat pada 10 desa di Kecamatan Bukit Batu dan Bandar Laksamana, dalam pengelolaan gambut ramah lingkungan dan bernilai ekonomis.

Kegiatan itu antara lain, bikin sekat kanal, penanaman kembali lahan gambut bekas terbakar, menyediakan peralatan pemadam kebakaran dan alat pendeteksi dini. Semua itu, kata Okto, melibatkan partisipasi masyarakat wilayah dampingan.

“Meski belum sepenuhnya teratasi, hasil pemantauan kita menunjukkan grafik kebakaran menurun sejak 2015 sampai sekarang,” kata Syamsul Kamar, Peatland Restoration Specialist WWF Riau.

 

Abdul Manan, memperbaiki sekat kanal, kala Presiden Joko Widodo, datang ke Desa Sungai Tohor, Riau, akhir November 2014. Warga berupaya menahan air agar tak lepas dengan membuat sekat-sekat di kanal. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Sapri, Kades Batang Duku, merasa terbantu dengan sekat kanal di desanya. Batang Duku, juga telah menerbitkan Peraturan Desa Nomor 07/2017 tentang, pengelolaan tata air, pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam.

Syamsul bilang, perlu keterlibatan berbagai pihak termasuk perusahaan dengan wilayah kerja di sekitar lahan masyarakat, seperti mengatur ketersedian dan tinggi muka air dalam kanal.

Dia berharap, perusahaan mau berbagi air ke kanal masyarakat agar kekeringan gambut dapat teratasi sepanjang kemarau.

Hendri Tanjung, mewakili PT Bukit Batu Hutani Alam (BBHA), tidak keberatan dengan konsep itu. BBHA, katanya, juga komitmen dengan restorasi ekosistem. Hanya, dia menginginkan ada sinergi, komunikasi dan diskusi antar pihak, misal, dalam mengatur waktu membuka dan menutup aliran air ke kanal.

“Ketika musim hujan hilir dibuka tapi hulu tidak. Nanti, air balik lagi dan terjadi banjir,” kata Hendri.

Pembahasan ini menghasilkan persetujuan bersama yang dituangkan dalam beberapa poin. Intinya, antara lain, setuju perbaiki tata kelola gambut, berbagi air antara swasta di hulu dan masyarakat di hilir untuk menjaga tinggi muka air. Kemudian, bentuk tim terdiri dari pemerintah, swasta, organisasi non pemerintah. Hal lain yang belum diatur akan ditindaklanjuti oleh tim.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1/2016 tentang Badan Restorasi Gambut, target restorasi gambut mencapai 2,4 juta hektar hingga 2020. Meski demikian, hanya 1 juta yang jadi kewajiban restorasi BRG, 1,4 juta merupakan lahan konsesi.

Data Desember tahun lalu, restorasi gambut di wilayah prirotas hingga Desember lalu, BRG sudah pembasahan lahan sekitar 680.942 hektar dengan dampak mencapai 480.000 hektar.

Tahap pembangunan infrastruktur untuk pembasahan ini, katanya, memerlukan waktu. Bila sudah terbangun, tinggi muka air gambut tidak pasti akan langsung naik.

 

Keterangan foto utama:  Perkebunan akasia yang berlokasi di atas lahan gambut Riau. Foto: Rhett A. Butler/ Mongabay

 

Kebakaran di Dusun Suka Damai, Desa Tanjung Leban, Kecamatan Kubu, Rokan Hilir, Riau, tak hanya menghanguskan kebun, sawit warga, juga belasan rumah, sepeda motor dan mobil pick up, Jumat (17/8/18). Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version