Mongabay.co.id

Ikan Gabus yang Terusir dari Rawa dan Sungai

 

 

Ikan gabus [Channa striata] adalah ikan yang setiap hari dikonsumsi masyarakat Palembang, Sumatera Selatan. Dagingnya dijadikan sebagai bahan makanan pempek, tekwan, kerupuk, dan pindang. Namun, ikan ini mulai sulit didapatkan di rawa dan sungai di Palembang. Mengapa?

“Sekarang ini jarang dapat ikan gabus kalau mancing di Palembang. Dulu, di rawa Jakabaring dipastikan dapat ikan gabus, kini sebulan sekali belum tentu ada. Mungkin banyak rawa di Jakabaring yang ditimbun jadi perumahan dan perkantoran. Kami mencari di luar Palembang,” kata Rudi [56], warga Sentosa, Plaju, Palembang, yang memiliki komunitas mancing.

“Di Palembang, ikan gabus memang sudah sulit didapat karena habitatnya hilang atau rusak, misalnya rawa dan sungai. Selain itu, rawa dan sungai tersisa, airnya sudah terkontaminasi limbah dan sampah,” kata Muhammad Iqbal, peneliti ikan dari Universitas Sriwijaya, Minggu [07/7/2019].

Data terakhir dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Sumatera Selatan, di Palembang tersisa rawa seluas lima ribu hektar dari sebelumnya seluas 200 ribu hektar. Sementara kondisi anak Sungai Musi hampir semuanya tercemar limbah dan sampah.

Baca: Manfaat Ikan Gabus, Sumber Protein Tinggi Penyembuh Penyakit

 

Nelayan tradisional yang menggantungkan hidup mencari ikan dengan peralatan sederhana. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia di sejumlah pasar tradisional, tidak ada pasokan ikan gabus dari Palembang. Umumnya dari Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Ogan Ilir [OI], Banyuasin, Musi Banyuasin, dan Muara Enim.

Misalnya wilayah Plaju dan Jakabaring, ikan gabus dari Kabupaten OKI dan OI, wilayah Kertapati dari Ogan Ilir (OI), wilayah Gandus dari Muaraenim dan Banyuasin, serta wilayah Palembang Ilir lainnya dari Banyuasin dan Musi Banyuasin.

Setiap hari, berdasarkan data terakhir Pemerintah Palembang, sekitar dua ton ikan gabus dipasok ke Palembang. Pada Bulan Ramadan, jumlah ini meningkat dua kali lipat.

Baca: Jakabaring Palembang, Kisah Perubahan Rawa Gambut dan Harapannya

 

Ikan gabus yang perlahan sulit didapati di rawa maupun sungai di Palembang. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Perubahan bentang alam

Diperkirakan beberapa tahun ke depan, Palembang akan mengalami krisis ikan gabus, seperti halnya ikan belida yang sudah dirasakan saat ini. “Populasi ikan gabus memang terlihat menurun, ini karena berkurangnya habitatnya di sejumlah wilayah di Sumatera Selatan, termasuk pemancingan yang berlebihan dan tidak lestari,” kata Muhammad Iqbal. Hilangnya habitat itu, misalnya dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit, HTI, dan pembangunan infrastruktur.

“Habitat ikan gabus itu sama seperti ikan belida. Hanya, ikan gabus sedikit lebih baik beradaptasi dengan habitat tersisa. Namun jika habitatnya habis, jelas ini di masa mendatang akan langka,” katanya.

Baca: Sudah Lima Tahun, Ikan Belida Tak Kunjung Dapat

 

Kanal yang berada di dalam kompleks olahraga Jakabaring yang surut atau mengering di musim kemarau. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Di Kabupaten OKI, yang dulunya banyak menghasilkan ikan gabus, kini mulai berkurang. Misalnya, di Kecamatan Sirah Pulau [SP] Padang.

“Sekarang ini setiap nelayan di SP Padang maksimal mendapatkan ikan gabus sebanyak 10 kilogram setiap hari. Tapi, rata-rata hanya lima kilogram. Kalau dulu, bisa mencapai 20-30 kilogram sehari dengan cara memasang bubu atau mancing,” kata Odang Suhendra, warga SP Padang, yang saat menyelesaikan sarjananya di Universitas Muhammadiyah Palembang, meneliti ikan gabus, Sabtu [06/7/2019].

Ironinya, selain hasilnya menurun, hampir setiap nelayan di SP Padang menangkap ikan gabus dengan cara menyetrum. “Ini dilarang pemerintah, tapi terpaksa mereka lakukan sebab sangat sulit mendapatkan dengan cara memasang bubu atau memancing,” jelasnya.

“Akibatnya, banyak ikan yang ditangkap bukan hanya berukuran besar juga kecil, sementara anak-anak ikan gabus banyak yang mati terkena strum,” lanjutnya.

Baca: Gambut Rusak, Inilah Dampak Nyata yang Dirasakan Masyarakat Palembang

 

Rawa sebagai habitat ikan gabus, kini terus berkurang di Palembang maupun daerah lain di Sumatera Selatan. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Dijelaskan Odang, saat ini ada empat lokasi yang menjadi sumber pencarian ikan para nelayan di SP Padang. Setiap lebak, sekitar 10 nelayan beraktivitas setiap harinya. Keempat lokasi itu; Lebak Ulak di Desa Ulak Jermun, Lebak Kedukan di Desa Terusan Menang, Lebak Air Hitam di Kecamatan Jejawi, serta persawahan warga SP Padang. Ikan yang didapatkan selain gabus adalah lele, sepat, dan betok.

“Setiap hari, para nelayan itu mendapatkan pemasukan sekitar Rp150 ribu. Ini belum dikurangi biaya BBM untuk perahu ketek yang mereka gunakan,” katanya.

Keempat lokasi pencarian ikan itu kondisinya masih bagus, tapi memang tak jauh dari lokasi itu terdapat banyak perkebunan sawit. “Mungkin karena buangan racun yang dibawa air menyebabkan terganggunya biota air yang berdampak pada populasi ikan gabus,” jelasnya.

 

Ikan gabus. Foto: Wie146/Wibowo Djatmiko/Wikimedia Commons/Lisensi Dokumentasi Bebas GNU

 

Toman sudah sulit

Salah satu jenis ikan yang masih keluarga ikan gabus, toman [Channidae], saat ini juga populasinya mulai berkurang. “Sudah sulit, setiap hari belum tentu dapat,” kata Marawi [50], nelayan yang mencari ikan di Sungai Belido, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, [03/7/2019] lalu.

“Masih ada, tapi memang tidak setiap hari didapatkan para nelayan di SP Padang,” tutur Odang.

Muhammad Iqbal membenarkan toman merupakan ikan yang sangat terancam, “Jenis yang terancam punah itu toman merah [Channa moruloides],” katanya.

Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi dari UIN Raden Fatah Palembang, mengatakan pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha, harus memikirkan masa depan populasi ikan gabus. “Ikan ini sama seperti daging sapi di Sumatera Barat. Jika di Sumatera Barat makanan setiap hari adalah rendang, di Palembang adalah pempek yang berbahan ikan, khususnya gabus.”

“Bahkan ikan ini dipilih para leluhur wong Palembang karena memiliki manfaat yang baik bagi kesehatan. Salah satunya yang dipahami saat ini sebagai pencegah penyakit kanker,” kata Yenrizal.

 

Ikan toman merah yang ditemukan di Kalimantan. Foto: Shalam

 

Ada beberapa upaya yang harus dilakukan. Pertama, moratorium rawa dan gambut, dan setiap perusahaan perkebunan, HTI atau infrastruktur, yang menggunakan lahan basah yang luas, harus menyediakan kawasan rawa atau tetap menjaga sistem perairan sebagai habitat ikan. “Jadi bukan hanya membuat hutan, juga menyediakan habitat ikan,” katanya.

Kedua, harus ada aturan terkait ukuran ikan yang boleh ditangkap seperti gabus, toman, lele, baung, atau lais. “Caranya dengan mengontrol para pengepul. Misalnya, ada pengepul yang membeli ikan dengan ukuran kecil, dia harus dihukum, sehingga jera membeli dari nelayan. Nelayan pun tidak akan lagi mencari atau melepas kembali ikan yang kecil.”

Ketiga, harus diupayakan penelitian dan pengembangan budidaya ikan gabus. “Hewan saja dapat dikloning apalagi hanya budidaya. Para peneliti dan pemerintah harus fokus soal ini, pasti terwujud,” paparnya.

 

 

Exit mobile version