Mongabay.co.id

KPK Cokok Gubernur Kepulauan Riau atas Dugaan Suap Izin Reklamasi

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (11/7/19) menjelaskan tentang operasi tangkap tangan (OTT) Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun terkait proyek reklamasi di Gurindam 12, Kota Tanjung Pinang. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangkap tangan Nurdin Basirun, Gubernur Kepulauan Riau, dan enam orang lainnya terkait dugaan suap izin reklamasi di Kepulauan Riau, Rabu (10/7/19).

Selain Nurdin, tercokok pula Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Riau Edy Sofyan (EDS), Kepala bidang Perikanan Tangkap Kepri Budi Hartono (BUH), swasta Abu Bakar (ABK), Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kepri, NWN, serta dua staf Dinas kelautan dan Perikanan MSL dan ARA.

“Tim KPK menerima informasi akan ada penyerahan uang di Pelabuhan Sri Bintan Tanjung Pinang. Setelah pengecekan di lapangan dan diketahui ada dugaan penyerahan uang, Tim KPK mengamankan ABK, swasta di Pelabuhan Sri Bintan Tanjung Pinang sekitar pukul 13.30,” kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (11/7/19).

Kemudian tim lain mengamankan BUH, Kepala bidang Perikanan Tangkap saat akan keluar dari area pelabuhan. Dari tangan BUH, KPK mengamankan uang sejumlah $6.000 Singapura.

Setelah mengamankan dua orang itu, KPK dibawa ke Polres Tanjung Pinang untuk pemeriksaan lanjutan. Tim KPK meminta dua staf dinas yaitu MSL dan ARA datang ke Polres Tanjung Pinang untuk dimintai keterangan. Dua orang itu hadir sekitar pukul 18.30.

Secara paralel, tim KPK mengamankan Nurdin Basirun, Gubernur Kepri 2016-2021 di rumah dinas di Tanjung Pinang pukul 19.30. Di sana, tim KPK juga mengamankan Kepala Dinas Lingkungan Hidup, NWN kala berada di rumah dinas gubernur.

Dari sebuah tas di rumah Nurdin, KPK mengamankan uang SG$43.942, US$5.303, Euro 5, RM407, Riyal500, dan RP133.610.000.

Setelah itu, tim KPK membawa NBA dan NWN ke Kepolisian Resor Tanjung Pinang untuk pemeriksaan lebih lanjut. Tujuh orang itu dibawa ke Gedung Merah Putih KPK pakai transportasi udara Kamis (11/7/19) pukul 10.35 dari Bandara Internasional Raja Haji Fisabilillah. Mereka tiba di Gedung KPK pukul 14.25 untuk menjalani proses lebih lanjut.

“Pemerintah Kepri mengajukan pengesahan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kepri untuk dibahas di Paripurna DPRD Kepri. Perda ini akan jadi acuan dan dasar hukum pemanfaatan wilayah kelautan Kepri. Terkait RZWP3K Kepri, terdapat beberapa pihak mengajukan permohonan izin pemanfaatan laut untuk proyek reklamasi untuk diakomodir dalam RZWP3K Kepri,” kata Basaria.

 

Izin reklamasi

Menurut dia, Mei 2019, Abu Bakar mengajukan permohonan izin pemanfaatan laut untuk reklamasi di Tanjung Playu, Batam buat bangun resort dan kawasan wisata seluas 10,2 hektar. Padahal, Tanjung Playu, merupakan area budidaya dan hutan lindung.

Nurdin memerintahkan BUH dan EDS membantu Abu Bakar supaya izin disetujui.

“Untuk mengakali itu, BUH memberitahu ABK supaya izin disetujui, dia harus menyebutkan akan membangun restoran dengan keramba sebagai budidaya ikan di bagian bawah. Upaya ini seolah-olah terlihat seperti fasilitas budidaya.”

Setelah itu, katanya, BUH memerintahkan EDS melengkapi dokumen dan data pendukung agar izin ABK segera disetujui. Dokumen dan data pendukung yang dibuat EDS tak berdasarkan analisis apapun. “EDS hanya copy paste dari daerah lain agar cepat selesai persyaratannya.”

 

Nurdin Basirun, Gubernur Kepri. Foto: dari laman Pemerintah Kepri

 

Basaria mengatakan, Nurdin diduga menerima uang dari Abu Bakar baik langsung maupun melalui Edy Sofyan dalam beberapa kali kesempatan, antara lain, pada 30 Mei 2019 sebesar SG$5.000 dan Rp45 juta.

“Kemudian keesokan hari, 31 Mei 2019 terbit izin prinsip reklamasi untuk Abu Bakar dengan luas area 10,2 hektar,” kata Basaria.

Pada 19 Juli 2019, Abu Bakar memberikan tambahan uang SG$6.000 kepada Nudin melalui Budi Hartono.

“Setelah pemeriksaan dan kegiatan lain, dilanjutkan gelar perkara, maksimal 24 jam sebagaimana diatur dalam KUHAP, disimpulkan ada dugaan tindak pidana korupsi memberikan atau menerima hadiah atau janji terkait dengan izin prinsip dan lokasi pemanfaatan laut, proyek reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Kepulauan Riau 2018-2019 dan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan,” katanya.

 

Empat tersangka

KPK, lanjut Basaria, meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dan menetapkan tiga orang tersangka yang diduga sebagai penerima yaitu, Nurdin Basirun, Edy Sofyan dan Budi Hartono, serta yang diduga sebagai pemberi suap, yakni Abu Bakar.

“Praktik suap seperti ini sudah berkali-kali terjadi di daerah dan KPK masih menemukan kepala daerah yang menerima suap untuk penerbitan peraturan daerah, yang akan menguntungkan pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu,” katanya.

Dia bilang, KPK menyesalkan ketidakpedulian pengelolaan sumber daya alam yang bisa menimbulkan kerusakan lingkungan dengan nilai kerugian tak sebanding dengan investasi. “KPK mencermati kasus ini karena salah satu sektor yang jadi fokus korupsi sektor sumber daya alam.”

Dengan penangkapan Nurdin Basirun, makin menambah deretan kepala daerah terseret KPK. Hingga kini, KPK sudah menangani 107 korupsi kepala daerah.

Dalam Strategi Nasional Pencegahan Korupsi yang dicanangkan Presiden Joko Widodo, terdapat tiga fokus, yakni, sektor perizinan dan tata niaga, keuangan negara, serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi.

“Pembenahan perizinan ini diharapkan bisa memberikan kesempatan pengembangan investasi di daerah, bukan ajang mengeruk keuntungan untuk kepentingan tertentu.”

“Dalam proses pemeriksaan, disampaikan juga alasan investasi. Ini kami pandang lebih buruk lagi jika alasan investasi sebagai pembenar dalam korupsi. Apalagi, kita memahami, investasi akan berarti positif bagi masyarakat, lingkungan jika dengan prinsip-prinsip keterbukaan dan good governance. Investasi semestinya tanpa korupsi dan tidak merusak lingkungan.”

Menanggapi hal ini, Alimun, Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Kota, Kepulauan Riau, mengatakan, proyek reklamasi di Kepri menimbulkan masalah bagi nelayan.

Sejak 2016, KNTI menyuarakan penolakan proyek reklamasi di Kepri, salah satu oleh pengembang Agung Podomoro di Kampung Belian, Kecamatan Batam Kota.

“Proyek reklamasi diam-diam tanpa ada konsultasi publik kepada nelayan dan masyarakat luas yang hanya menguntungkan kelompok pelaku usaha properti. OTT Gubernur Kepulauan Riau, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan termasuk pengusaha adalah wujud koruptif dari proyek-proyek reklamasi,” katanya.

Tangkap tangan KPK ini, katanya, memperjelas proyek reklamasi yang selama ini berjalan dengan cara-cara melanggar hukum.

Ketua KNTI Bintan Buyung Hariyanto menyebut, reklamasi berdampak buruk terhadap nelayan di Kepulauan Riau, tepatnya di proyek reklamasi di Gurindam 12. Dia menyinggung juga pengerukan alur laut PT Bintan Alumina Indonesia (BAI) di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Galang Batang, Gunung Kijang Bintan.

“Berbagai dampak buruk reklamasi terjadi dari hilang dan kerusakan wilayah ruang tangkap nelayan, kekeruhan air meningkat, hingga kerusakan habitat dan ekosistem pesisir mulai dari hutan mangrove, padang lamun hingga rumah-rumah ikan,” katanya.

Dampak lain, dari sumber material reklamasi yaitu pertambangan pasir di laut maupun tanah-tanah urugan.

Seharusnya Perda RZWP3K Kepulauan Riau, tidak lagi mengakomodir dan menghapuskan lokasi-lokasi reklamasi di provinsi ini.

“Reklamasi adalah proyek koruptif hingga jadi ancaman kehidupan nelayan dan lingkungan perairan pesisir. Satu pokok persoalan Raperda RZWP3K tanpa ada partisipasi penuh nelayan.”

Ketua Harian DPP KNTI Marthin Hadiwinata mengatakan, pengawasan pemerintah terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga sangat rendah.

Pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan, katanya, tidak mengidentifikasi kawasan penting dan rentan yang seharusnya direhabilitasi. Padahal, itu sudah ada mandat dalam Perpres Nomor 121/2012 tentang Rehabilitasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Pemerintah Kepri, katanya, memaksakan 114 titik lokasi reklamasi tersebar di seluruh wilayah kepulauan itu. Setelah verifikasi KPK berkurang jadi 42 titik reklamasi.

Dalam draf Perda RZWP3K versi Januari 2019 terungkap, masih ada 38 titik reklamasi dalam kawasan wisata, permukiman non-nelayan, zona industri, bandar udara, fasilitas umum, hingga zona jasa perdagangan.

Untuk pertambangan, terdapat empat blok tambang mineral berupa pasir laut, mineral serta  minyak dan gas yaitu di Blok Karimun, Blok Batam, Blok Lingga hingga Blok Natuna Anambas khusus untuk migas.

“RZWP3K Kepri harus mengakui ruang penghidupan nelayan, dengan alokasi kawasan tempat tinggal nelayan, titik lokasi tambatan labuh perahu, ruang tangkap nelayan dan wilayah budidaya petambak kecil.”

 

Keterangan foto utama:  Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (11/7/19). Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version