Mongabay.co.id

Potret Kehidupan Warga di Lahan Gambut Kalteng (Bagian 1)

Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Air Sungai Mantangai, sedang tinggi. Halaman pemukiman warga Talekung Punai di tepi sungai, tergenang. Anak-anak terlihat bermain, layaknya di halaman dengan hamparan tanah. Begitu pemandangan, kala saya ke desa ini pertengahan Mei lalu. Saat hujan jarang turun, halaman itu kering. Saat musim hujan mencapai puncak, luapan sungai bisa sampai masuk rumah. Bekas air tergurat di dinding rumah warga sekitar 30-50 centimeter.

Desa Talekung Punai, masuk Kecamatan Kapuas Murung, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Sebagaimana desa-desa lain di Kapuas, air dan lahan basah menjadi bagian keseharian mereka. Desa ini pun hanya satu jam perjalanan dari Kuala Kapuas, ibukota kabupaten yang sudah dikenal dengan julukan Kota Air ini.

Walau terlihat biasa saja, lingkungan hidup di sekitar desa itu telah berubah banyak dalam tiga dekade terakhir. Salah satu paling dirasakan warga, adalah ikan tangkapan berkurang, kendati air sungai melimpah. “Ini karena hutan sudah banyak hilang karena sawit. Biasa hutan kan (kayu) gelam, sekarang sawit. Mana bisa ikan berenang dan menetas,” kata Hasan, warga Talekung Punai.

Hasan menolak tuduhan praktik menyetrum ikan jadi penyebab. Dia bilang, penyetruman hanya berkontribusi kecil atau sekitar 30% penyebab perolehan ikan merosot belakangan.

 

Proyek gambut Soeharto dan ekspansi sawit

Talekung Punai, salah satu desa terdampak proyek cetak sawah gagal, yang dikenal dengan proyek lahan gambut (PLG) sejuta hektar, pada era Presiden Soeharto pertengahan 1990-an. Kegagalan PLG jadi titik masa hilangnya sejumlah ikan dan vegetasi yang jadi sumber penghasilan mereka. Belida, bakut, peyang, dan karandang merupakan jenis-jenis ikan yang sangat sulit diperoleh setelah PLG. Vegetasi yang sudah berkurang drastis seperti rotan, purun, dan getah jelutung.

Saat ikan tak sepenuhnya bisa jadi sandaran hidup, diiringi larangan serius pembalakan hutan awal 2000-an, sebagian warga mulai bersandar pada kayu gelam (Melaleuca leuncadendra). Pada masa pembalakan hutan masih legal, gelam kurang berarti bagi warga.

Walau pekarangan rumahnya terendam air, anak-anak di Talekung Punai, Kecamatan Kapuas Murung, Kabupaten Kapuas, tetap ceria bermain. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

Setelah kontrol terhadap industri kayu diperketat, gelam yang banyak dipakai sebagai bahan penyangga (terucuk) di proyek-proyek pembangunan fisik ini mulai dilirik.

Malangnya, gelam di sana, kini terancam ekspansi perkebunan sawit. Iwan, aktivis Yayasan Petak Danum, mengatakan, perusahaan sawit juga memanfaatkan warisan PLG itu sebagai akses. “Yang dimanfaatkan perusahaan kanal sama badan jalan. Perusahaan tinggal bersihkan. Rata-rata perusahaan enggak bikin sendiri. PLG semua yang dimanfaatkan perusahaan-perusahaan di Kapuas,” katanya.

Harlianson, warga Telekung Punai, menuturkan, gelam sebenarnya masih bisa diandalkan. Yang jadi masalah, banyak warga dari desa lain juga berburu gelam di desa mereka. “Kalau cuma orang dalam ini kemungkinan masih ada. Ada yang dari Muara Dadahup juga ikut,” katanya.

“Memang enaknya kalau cari uang itu gelam. Selesai jadi duit. Itu harus mnunggu besar dulu. Kalau yang (batang) kecil-kecil harga Rp500-Rp600. Itu hanya dua, tiga sentimeter ujungnya.”

Karena kondisi ini, sebagian warga mau tak mau mencari penghasilan dengan jadi buruh di perkebunan sawit. Harlianson juga berkerja sebagai buruh harian lepas di perkebunan sawit. Menurut dia, kalau masyarakat terus menjual tanah, sampai ke tepi sungai pun akan dibeli oleh perusahaan sawit.

Situasi lebih menantang ada di Desa Sebangau Jaya, Kecamatan Sebangau Kuala, Pulang Pisau. Desa yang berdampingan dengan Taman Nasional Sebangau ini merupakan pemukiman eks transmigrasi yang datang pada 1989. Seluruh kawasan ini di hamparan lahan gambut.

Dari Kuala Kapuas, saya yang dalam perjalanan ini bersama Tengku Rivanda Ansori, Business Model Develpoment Specialist Wetlands International Indonesia, memerlukan waktu empat jam perjalanan darat, dan sekali melintasi Sungai Kahayan, pakai feri untuk sampaike Sebangau Jaya. Sebagian besar jalan setelah penyeberangan belum beraspal. Hanya jalan laterit dan tanah. Jalan utama yang kami lalui, merupakan poros menuju Pelabuhan Bahaur, di Muara Sungai Kahayan.

 

8. Sungai Mantangai di Desa Talekung Punai, Kecamatan Kapuas Murung, Kabupaten Kapuas. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Kesulitan perkampungan gambut eks transmigran

Walau infrastruktur jalan belum nyaman, dan lahan di kanan-kiri gambut, perusahaan perkebunan sawit sudah masuk, sampai Maliku, kecamatan terakhir sebelum masuk ke Sebangau. Warga Sebangau Jaya pun mengakui, mereka juga memiliki kebun sawit, termasuk Sugito, Ketua KUD Sebangau Jaya.

Hanya saja, Sugito, sudah lama tak memanen buah sawit, lantaran harga jatuh, sampai Rp500 per kilogram tandan buah segar (TBS). Dia bilang, warga setempat punya kebun sawit rata-rata dua hektar.

Hasilnya, tak seberapa. “Kalau punya saya kemarin, setengah bulan dapat enam pikul, 600 kilogram. Satu bulan anggaplah rata-rata satu ton,” katanya.

Hal senada disampaikan Dadan Nurjana, warga Sebangau Jaya. Dia punya lahan sekitar satu hektar ditanam sawit. Saat ini, sawit baru buah pasir (buah awal), hasilnya hanya dua kuintal.

Mereka mengatakan, hanya sedikit warga dari transmigrasi awal bertahan di desa itu. Dadan bilang, saat transmigran datang pertama kali, sebenarnya dalam rombongan besar. “Rombongan saya, 450 keluarga. Itu wilayah RW I saja, Sebangau Jaya,” katanya.

Warga tak betah karena selain sangat jauh akses ke pelayanan publik, desa ini kerap banjir besar. Genangan air sering masuk ke rumah saat hujan deras. Terakhir, banjir besar pada 2010. Dadan harus berpindah-pindah rumah, meski masih dalam desa yang sama. “Awalnya dari jalur bawah sana. Dijual, lalu sekarang menumpang di tanah restan PU (lahan belum terpakai dari Dinas Pekerjaan Umum-red).”

Sugito menambahkan, kondisi alam berat diperparah masyarakat sulit memperoleh penghasilan setelah larangan pembalakan hutan. Saat ini, Sugito memperkirakan, penghasilan rata-rata warga non-PNS di desanya hanya Rp700.000-Rp800.000 per bulan. “Waktu zaman kayu masih enak. Setelah kayu tutup, makin sulit. Cari makan hari-hari saja pas-pasan,” katanya.

Saat industri sawit mulai menjamur, banyak warga keluar desa. Ada juga yang mengadu nasib di kota, dengan mencari penghasilan di sektor informal. Mereka yang lebih baik nasibnya, enggan kembali. “Kampung ini makin sepi. Jadi (tanah dan rumah) dijual murah. Ada juga yang sampai sekarang belum dijual, ditinggalkan begitu saja. Maka kalau (warga) yang asli banyak pindah. Cuma yang pindah itu, enggak cabut berkas,” kata Sugito.

Ketika mereka pulang dua atau tiga tahun sekali, katanya, tempat mereka masih belum membaik. “Akhirnya dijual murah. Ya, Rp20 juta, ada Rp10 juta. Kalau orang luar mendengar lahan dua hektar Rp15 juta, itu sangat murah sekali. Kan belum tahu keadaan di sini,” katanya.

 

Kayu gelam dari kawasan hutan di Kecamatan Sebangau Kuala, Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Dia juga tertarik pindah ke kota. “Pengen jualan atau jadi sopir Grab. Kemarin dapat cerita, Rp150.000 sehari. Kerja santai. Suruh orang jemput. Nanti, orang katering, suruh antar, ya antar. Kayaknya lumayan juga. Saya memikirkan masa tua. Makin tua enggak bisa kerja berat.”

Kondisi seperti ini juga terjadi di Kabupaten Kapuas, Sebangau, saat kemarau melanda, kebakaran hutan jadi ancaman utama. Tragedi pada 2015, kemarau panjang menyebabkan lahan gambut kering dan terbakar. Hasilnya, bencana kabut asap.

Ironisnya, walaupun menyadari bencana asap itu buruk bagi kesehatan, dan secara ekonomi kerugia besar, kata Sugito, masyarakat sebenarnya tak terlalu mempermasalahkan kebakaran hutan. “Sebenarnya, kalau petani garap ladang senang dibakar. Ekonomi mungkin turun, tapi petani senang. Karena bisa tanam padi. Garapnya ringan. Maka waktu ada larangan pembakaran, mulai susah kami.”

 

Ancaman bagi air tawar

Tak hanya api jadi ancaman kerusakan ekosistem gambut. Di Kabupaten Pulang Pisau, gambut juga terdampak pasang air laut hingga jauh ke dalam. Kota Pulang Pisau, berjarak sekitar 100 kilometer ke muara laut tetapi pasang laut bisa menggenang sampai ke pemukiman di kota.

Kami berada di Kelurahan Kalawa, Kahayan Hilir, Pulang Pisau, saat pasang laut terjadi. Banyak halaman rumah warga yang tak jauh dari sungai pun tergenang.

Jaya, pengurus Kelompok Tani Bengkalung, Kelurahan Kelawa, mengatakan, genangan air karena di Pulang Pisau, jadi pertemuan air Sungai Kahayan dari hulu, dan pasang air laut dari hilir. Kanal di depan rumah Jaya, saat kami datang pun mengalirkan air tawar deras dan penuh. Pada malam hari, saat air laut surut, aliran air dari hulu pun cetek.

Merty Ilona, Kepala Seksi Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kalimantan Tengah, menjelaskan, kalau lahan gambut rusak, air laut masuk, akan menyulitkan daerah setempat mendapatkan air tawar yang bagus.

“Yang kita khawatirkan di Pulang Pisau. Air tawar, air gambut harus kita jaga. Lidah air laut itu yang bahaya. Ketika air darat habis, air laut masuk. Bagaimana saudara-saudara kita yang air tawar saja susah,” katanya.

Kerusakan gambut, katanya, indikator kerusakan adalah 40 centimeter di bawah air. Kalau tinggi muka air 40 centimeter, itu masih lembab. “Kalau pun ada kebakaran, katanya, tak akan ada kebakaran di bawah. Hanya permukaan saja,” kata staf di Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) Kalteng ini.

 

Pasang air laut, menyebabkan pekarangan warga di Kota Pulang Pisau tergenang. Ini wilayah pertemuan antara air tawar dari hulu sungai dan air laut, yang jaraknya ke muara sebenarnya jauh, sekitar 100 kilometer. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Asa dari Telaga

Dari empat tempat yang saya kunjungi, Desa Telaga, Kecamatan Kamipang, di bagian hilir Sungai Katingan, Kabupaten Katingan, tampak lebih baik dari desa lain. Meski harus ditempuh dengan perjalanan darat selama tiga jam, ditambah susur sungai setengah jam, suasana perkampungan di Telaga, tak mencerminkan sebagai wilayah terisolir. Sinyal telepon seluler memang tak ada di sini, desa yang berbatasan dengan sisi barat dengan Taman Nasional Sebangau ini jadi satu-satunya desa di hilir Katingan yang teraliri listrik PLN selama 24 jam.

Masyarakat Telaga, tak bisa juga dikategorikan sebagai orang-orang berada tetapi cukup kuat menghadapi perubahan. Masa keemasan kayu hasil hutan sudah jauh tertinggal, hanya sampai 1980-an. Namun, desa berpenduduk lebih 1.500 jiwa ini, masih menjaga identitas sebagai desa penghasil ikan sungai.

Hamdani, pedagang ikan sungai di Telaga, mengatakan, rata-rata setiap hari hampir setengah ton ikan sungai dijual keluar wilayah Telaga. Dengan andalkan ikan gabus, toman, tapah, baung, pepuyu (betok), dan lais, para nelayan kampung itu ‘ekspor’ hingga ke Kota Palangkaraya. Kampung ini juga mulai dipadati gedung-gedung sarang walet. Ia jadi bukti, sejumlah warga mampu mengakumulasi sumber daya ekonomi mereka.

Telaga punya sumber daya alam besar. Luas wilayah 86.000 hektar. Sebagian besar hutan, berbatasan dengan Taman Nasional Sebangau sisi timur. Sisi barat, bagian hilir, mereka punya Sungai Kelaru, masih cukup alami. Sebagian hutan sisi Kelaru dikelola PT Rimba Makmur Utama (RMU), perusahaan restorasi ekosistem. Telaga juga jadi satu dari sedikit desa yang memiliki hak kelola hutan melalui skema hutan desa seluas 2.600 hektar, berlokasi di sisi utara Sungai Kelaru.

Ancaman ekosistem gambut di Telaga, bukan tak ada. Bekas kebakaran hutan masih terlihat dari batang-batang kayu di Kelaru dan kanan-kiri sepanjang jalan Kecamatan Kamipang. Di situ pula telah beroperasi perusahaan sawit.

“Plasma sudah ada. Tapi hasil belum ada. Dulu kartu-kartu sudah dibagi. Kalau dulu ada empat hektar per keluarga. Ada perubahan sekarang dua hektar lagi. Semua dapat per keluarga dua hektar itu,” kata Duak Rahmanto, Sekretaris Desa Telaga.

Merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, total luas kawasan hidrologi gambut (KHG) Kalimantan adalah 8.786.009 hektar. Lebih separuh, sekitar 4.644.317 hektar, berada di Kalimantan Tengah. Fakta ini jadi tantangan serius dalam menjaga ekosistem gambut dengan melibatkan masyarakat sekitar.

Tengku Rivanda, mengatakan, masyarakat sebenarnya mau saja menjaga ekosistem di sekitar, kalau ada keuntungan yang mereka peroleh. “Kalau menguntungkan pasti dijaga. Bagaimana gambut ini juga memberikan manfaat ekonomi pada masyarakat. Kalau tidak, mereka akan punya kecenderungan untuk alih fungsi.” (Bersambung)

 

Silakan membaca lanjutan tulisan ini dalam tautan ini: Menggali Peluang Sumber Hidup Warga di Lahan Gambut Kalteng (Bagian-2)

 

***

Keterangan foto utama:  Berperahu di Sungai Kelaru, Desa Telaga, Kabupaten Katingan merupakan pengalaman yang menyenangkan. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

Hamdhani, salah satu distributor ikan dari Desa Telaga, Kabupaten Katingan, menunjukkan ikan yang diperolehnya dari nelayan Desa Telaga. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version