Mongabay.co.id

Cerita Bencana Kekeringan yang Terus Berulang

 

Siang yang cukup terik. Seorang warga di Desa Dermaji, Kecamatan Lumbir, Banyumas, Jawa Tengah tengah berada di areal persawahan. Kondisi tanahnya sudah retak-retak, meski masih ada tanaman padinya. Sebagian masih hijau, tetapi yang lainnya telah menguning.

“Saya di sini untuk mencari pakan ternak. Daripada mengering, tanaman padi yang nyaris puso ini saya potong saja. Lumayan, masih bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak,” ungkap Kasiran (56) seorang petani setempat.

Tak hanya di desa setempat, di Desa Wlahar Wetan, Kecamatan Kalibagor, Banyumas, kondisinya juga hampir sama. Sawahnya mengering. Tanaman padinya tidak dapat diselamatkan.

“Di sekitar sini ada embung yang sebelumnya menampung air, tetapi saat sekarang volume air sudah sangat minim, sehingga tidak dapat dialirkan ke sawah-sawah. Petani di sini pasrah tidak dapat panen karena mengalami kekeringan,” jelas Sartam (54).

baca : Seratusan Ribu Hektar Lahan Pertanian Kekeringan, Apa Upaya Kementan?

 

Tanaman padi dibiarkan karena sawah kering kerontang di Kalibagor, Banyumas, Jateng. Padi dipastikan puso. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Memasuki musim kemarau, dari catatan dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (Dintan KP) Banyumas, luas kekeringan di wilayah setempat hingga awal Juli luasannya mencapai 1.000 hektare.

“Hingga awal Juli, kekeringan di Banyumas tercatat mencapai 1.000 ha. Rinciannya, 700 ha kekeringan ringan, 150 ha kekeringan sedang dan 100 ha lainnya kekeringan berat. Sedangkan 54 ha tanaman padi dipastikan puso. Umumnya, tanaman padi tersebut berumur kurang dari dua bulan dan berada pada areal sawah tadah hujan,”kata Kepala Dintan KP Banyumas Widarso pada Rabu (10/7/2019).

Kekeringan di Banyumas diperkirakan masih panjang dan berdampak pada areal pertanian. Bahkan, sawah irigasi teknis dari Sungai Serayu juga akan terkena akibatnya. Sebab, daerah irigasi (DI) Serayu sudah mulai ditutup sejak awal Juli lalu. Penutupan aliran irigasi sebetulnya telah diundur dari awal Juni menjadi Juli, untuk memberikan kesempatan bagi petani. Tetapi kenyataannya, masih banyak petani yang membutuhkan pasokan air untuk sawah mereka.

“Areal sawah yang mendapat pasokan air dari DI Serayu luasannya mencapai 3.000 ha dengan umur antara 1-3,5 bulan. Untuk umur yang masih muda, tentu akan terkena dampaknya jika mengalami kekurangan air. Kami belum tahu, kondisi nantinya bagaimana setelah tidak ada aliran air ke sawah. Namun, kami telah memobilisasi pompa-pompa untuk petani untuk mengalirkan air. Namun, syaratnya tentu harus ada sumber air yang terdekat, sehingga bisa dipompa untuk mengairi sawah mereka,” kata Widarso.

baca juga : Inilah Adaptasi Masyarakat Enrekang Atasi Kekeringan

 

Petani berusaha menyedot air dari sungai untuk mengaliri sawahnya di Sumpiuh, Banyumas, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Tak hanya di Banyumas, di Cilacap kekeringan yang melanda areal persawahan juga cukup luas. “Kekeringan di Cilacap tersebar di sejumlah kecamatan. Sampai awal Juli, luasan kekeringan sawah mencapai 4.313 ha. Kategori ringan 4.29 ha dan sedang 55 ha. Kemungkinan dampak kekeringan semakin meluas, kami masih terus mendata. Namun demikian, banyak juga petani yang kini telah memasuki panen, sehingga tidak terlalu berdampak pada tanaman padi,”ungkap Kepala Bidang Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Pertanian Cilacap Ermawati Syahyuni.

Ermawati mengatakan pihaknya telah mengirimkan pompa-pompa air untuk para petani yang kekeringan. Pompa bisa dipakai kalau di sekitarnya memang ada sumber air, misalnya sungai. Tetapi jika sungainya mengering, maka satu-satunya jalan menunggu hujan. “Sampai sekarang, kami masih mendata berapa luasan sawah yang kini mengalami kekeringan dan apakah ada padi yang puso,” ujarnya.

Kondisi kekeringan di Jateng selatan juga berdampak pada kondisi air Waduk Sempor, Kebumen yang sudah kritis. Hanya tersisa 2,1 juta m3 atau 5,5% dari volume maksimal 38 juta m3. Sehingga hal itu tidak memungkinkan untuk mengaliri areal sawah di sekitar waduk.

Kepala Bagian Unit Pengelola Bendungan (UPB) Waduk Sempor, Darmaji, kondisi air waduk dianggap kritis karena kurang dari 10%. “Kekeringan tahun ini lebih parah jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sebab, tahun ini volume tinggal tersisa 2,1 juta m3. Sedangkan elevasi hanya tunggal 47,7 meter dari elevasi normal 72 meter. Kritisnya air di Waduk Sempor akibat tidak adanya hujan sejak Maret lalu. Sehingga tidak ada air yang ditampung. Sementara tahun-tahun sebelumnya, hujan masih berlangsung pada April-Mei,” ujarnya.

Dengan kondisi waduk yang kritis, maka saat sekarang sudah mampu mengalirkan air ke areal sawah irigasi teknis dari Waduk Sempor. “Waduk Sempor itu mengairi areal sawah dengan luasan mencapai 6.478 ha. Kebutuhan airnya berkisar antara 3-4 kubik per detik. Karena tidak memungkinkan lagi untuk dialirkan, maka memang ada ancaman kekeringan pada areal sawah yang kini ditanami padi umur 1,5-2 bulan tersebut. Volume air yang tersisa 2,1 juta m3 hanya cukup untuk sumber air PDAM guna memenuhi kebutuhan air minum masyarakat,” jelasnya.

menarik dibaca : Adakah Solusi Permanen Krisis Air Bersih Ketika Kemarau Datang?

 

Volume air Waduk Sempor, Kebumen, yang semakin kritis karena musim kemarau. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Darmaji mengatakan selain sudah tidak ada hujan, dua sungai yakni Sungai Cincingguling dan Sungai Sampang tak ada lagi airnya ke waduk. “Hulu kedua sungai mengering, sehingga tidak ada air yang mengalir di kedua sungai dan masuk ke waduk,” tambahnya.

Pengamat cuaca Stasiun Meteorologi BMKG Cilacap Rendi Krisnawan mengatakan kalau sebagian Kebumen dan Purworejo di Jateng selatan cukup awal memasuki musim kemarau, karena mulai pada dasarian (10 hari) kedua dan ketiga pada bulan Mei. “Kalau di Jateng, umumnya awal musim penghujan dimulai pada Mei hingga awal Juni. Hanya Wonogiri saja yang mulai masuk kemarau pada dasarian ketiga bulan April,”kata Rendi.

Berdasarkan prakiraaan kemarau yang dirilis BMKG Semarang, lanjut Rendi, setiap daerah mempunyai waktu berbeda-beda panjangnya musim kemarau. “Kalau khusus untuk wilayah Jateng bagian selatan, musim kemarau sampai saat sekarang masih dalam kategori normal. Belum ada fenomena el nino,”ujarnya.

Dari data BMKG Semarang menyebutkan, wilayah yang paling panjang mengalami kemarau di Jateng adalah daerah pantura Jateng bagian timur di sebagian Jepara, Pati dan Rembang dengan panjang 200-210 hari atau sekitar 7 bulan.

Sedangkan paling pendek musim kemarau terjadi di sebagian wilayah Cilacap dan sabuk Gunung Slamet di sebagian Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal dan Brebes. Di wilayah sabuk gunung tertinggi di Jateng itu, kemarau diperkirakan berlangsung 9-10 dasarian atau sekitar 3-4 bulan.

“Jadi masing-masing daerah berbeda masa berlangsungnya musim kemarau. Tetapi secara umum, kami mengimbau kepada masyarakat untuk bersiap-siaga dan menghemat air,”katanya.

menarik dibaca : Menabung Air Hujan, Memanfaatkan Saat Kemarau

 

Warga di Desa Kediri, Kecamatan Karanglewas, Banyumas mendapat suplai air bersih. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dikatakan oleh Rendi, berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh BMKG Semarang, pada 10 hari awal Juli, secara umum tidak terjadi hujan di hampir seluruh wilayah Jateng. Pada 5-6 Juli sempat hujan, tetapi tidak signifikan.

Berdasarkan monitoring hari tidak hujan yang ekstrem, terjadi di Cokrotulung, Klaten karena tak ada hujan selama 76 hari, disusul Pracimantoro, Wonogiri selama 73 hari, kemudian Baturetno dan Giritontro, Wonogiri serta Ngrejeg, Magelang tidak hujan selama 72 hari. “Secara umum, untuk keseluruhan wilayah di Jateng, curah hujan rendah berkisar 0-10 mm,” jelas Rendi mengutip rilis BMKG Semarang.

Untuk dasarian kedua pada Juli, curah hujan juga tidak tinggi, hanya di bawah 50 mm dalam 10 hari kedua bulan Juli. “Pada umumnya dari dasarian kedua Juli 2019 hingga dasarian kedua Agustus 2019 diprakirakan curah hujannya dalam kriteria rendah atau di bawah 10 mm per dasarian.”

Sebetulnya, sudah ada embung, waduk serta aliran sungai agar menjadi andalan pada saat musim kemarau. Tetapi, karena tidak ada hujan sehingga pasokan air sangat minim yang akhirnya juga berdampak pada areal pertanian. Bagi petani harus pandai-pandai memilih tanaman dan mengatur pola tanam, agar tanaman tidak terkena dampak kekeringan. Cerita kekeringan boleh jadi berulang, tetapi seharusnya dampaknya dapat diminimalkan.

 

Exit mobile version