Mongabay.co.id

Mengubah Nasib di Ili Wengot: Dari Penjara, Berujung Izin Hutan

 

Terhampar seluas 12.960 hektar di batas wilayah Kabupaten Flores Timur dan Sikka, Wukoh Lewoloroh sejak 1932, telah ditetapkan pemerintah kolonial Belanda sebagai kawasan hutan tutupan. Kawasan Ili Wengot merupakan salah satu hamparan yang berada dalam kawasan hutan tersebut.

“Menurut sejarah yang kami telusuri sudah tiga kali [kawasan hutan Ili Wengot] ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. Dua kali sebelum Indonesia merdeka, dan sekali setelah Indonesia merdeka,” tutur Thomas Uran, Direktur LSM Ayu Tani kepada Mongabay Indonesia.

Sejak tahun 1992, lewat SK Menteri Kehutanan RI Nomor 124/KPTS-II/1990, kawasan itu ditetapkan menjadi kawasan Hutan Negara RTK 126 yang diperuntukkan sebagai fungsi lindung.

Thomas menyebut tidak semua wilayah hutan itu adalah daerah bebas kepemilikan. Ada sekian ribu hektar yang sebelumnya tanah kelola masyarakat yang beralih menjadi hutan lindung, tanpa masyarakat mengetahui proses penetapannya.

“Petani ditangkap di lahan garapannya. Warga jadi merasa asing dari tanahnya sendiri, negerinya sendiri,” lanjutnya.

 

Theresia dan suaminya Antonius. Antonius Lado pernah di penjara sekitar 10 bulan karena dianggap menggarap di kawasan lindung tanpa izin. Dok: INFIS

 

Cerita Petani Masuk Penjara

Antonius Lado,  sekarang Ketua Kelompok Tani Desa Hikong, masih ingat cerita kelam itu. Dia salah satu yang di penjara.

Hal itu berawal pada tahun 1984, saat proyek reboisasi digalakkan oleh pemerintah. Petani penggarap dalam kawasan hutan lindung dilarang menggarap di dalam kawasan hutan. Padahal dia meyakini bahwa kebun yang ada dalam kawasan hutan telah digarap bergenerasi, yang bisa ditelusuri hingga ke kakek buyutnya.

Meski telah dilarang, bukan berarti masyarakat berdiam diri. Mereka nekat sembunyi-sembunyi masuk kawasan karena tak punya lahan garap. Hidup mereka saat itu di tengah ketidakpastian.

“Tahun 2000 kami garap lahan dalam kawasan, lalu kami ditangkap tahun 2002. Alasannya tidak ada izin. Ada 10 petani masuk dalam penjara, 6 dari Desa Hikong dan 4 orang dari Desa Boru,” sebut Antonius.

Sepuluh bulan lamanya mereka di penjara. Tak ada warga petani yang berani menggarap lahan kawasan hutan. Mereka pun memburuh, beralih untuk bekerja serabutan. Ladang pun tak terurus.

“Waktu suami di penjara anak saya umurnya masih 2 bulan. Saya terpaksa tinggal bersama orangtua agar kebutuhan hidup bisa terpenuhi. Kami hidup serba sulit, karena harus biayai anak-anak,” jelas Theresia Guo, isteri Anton.

Dalam sebulan, Theresia bisa empat kali berkunjung ke Lembaga Pemasyarakatan Larantuka. Dia menumpang mobil Pater Anton dari Gereja Boganaytar, Desa Kringa. Biasanya dia berangkat bareng istri dan keluarga petani lainnya yang  juga di penjara.

“Kami orang kecil tidak tahu apa-apa,” tuturnya menahan sedih.

Kasus petani di penjara ini lalu mengundang LSM Ayu Tani untuk melakukan pendampingan bagi masyarakat. Mereka mencoba mencari celah kebijakan agar kebutuhan lahan petani dapat terpenuhi.

“Kami mendampingi efektif sejak sejak 2002. Kami awali dengan pendokumentasian mencari kilas balik sejarah pengelolaan tanah ulayat masyarakat,” terang Thomas.

Thomas lalu membuat pendekatan kepada pejabat di Kabupaten Flores Timur. Bupati kala itu, Simon Hayon, tak keberatan jika petani kembali menggarap lahan di kawasan lindung. Syaratnya petani tidak boleh buka lahan baru dan merusak dalam kawasan.

 

Lokasi HKm Ili Wengot dari atas. Tajuk pohon terlihat rapat di lokasi tersebut. Dok: INFIS

 

“Tahun 2008, lahan seluas 50 hektar diberikan. Setiap KK petani dapat 0,5 ha. Skemanya Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM),” tutur Thomas. Pilihannya adalah Hutan Kemasyarakatan atau HKm.

Bila selama tiga tahun masyarakat dapat melaksanakan syarat-syarat yang sudah disepakati, pemkab berjanji untuk membantu lobi pada Kementerian Kehutanan RI untuk mengizinkan petani di tiga desa untuk menggarap lahan hutan.

Pada 10 Oktober 2011 2011, pemerintah pusat lewat akhirnya memberikan SK Pencadangan Areal Kelola kepada Masyarakat. Luasnya 214 hektar. Keputusan ini lalu ditindaklanjuti SK Penetapan Izin Usaha Pengelolaan (IUP) bernomor 215/2011 oleh Bupati Flores Timur.

Lahan tersebut diperuntukan bagi 422 keluarga petani yang terdiri atas 14 kelompok tani dari tiga desa yakni: Hikong, Boru Kedang dan Boru. Luasan ini mencakup hamparan Baologun, Tige Gulo, Watu Ruha, Terang Gete dan Wolo Mage.

“Masyarakat amat tergantung pada lahan HKm. Mereka berharap dapat dikembangkan menjadi sumber ekonomi. Ini sebuah solusi yang saling menguntungkan baik bagi petani maupun pemerintah,” ucapnya.

Dalam salah satu butir perjanjian, masyarakat sudah membuat pernyataan bertandatangan tidak akan memperjualbelikan lahan HKm yang mereka kelola.

 

Geliat Kehidupan

Adanya skema Hkm membuat petani berani kembali masuk kawasan hutan dan membuka kembali kebun yang telah lama mereka tinggalkan.

Anton bilang, -setelah diberi lahan HKm, selama 3 tahun pertama petani menanam tanaman umur pendek seperti umbi-umbian, tembakau, pisang, singkong, padi dan jagung. Hasil panennya sangat bagus.

Memasuki tahun keempat, hasil panen mulai menurun, mereka pun mulai melirik tanaman umur panjang. Dengan fasilitasi Ayu Tani, kelompok tani diarahkan paling kurang untuk menanam lima jenis tanaman ekonomis lewat sistem multicrop.

Pilihan utamanya yakni: kopi, kelapa, kakao, alpukat serta sawo sebagai strata tajuk atas. Sementara tanaman strata bawah dicari tanaman yang cocok seperti lengkuas, kunyit dan semacamnya.

“Saya pilih tanam kopi dan kakao,” ucap Antonius. “Sejak dapat lahan garap kami tak perlu lagi kerja serabutan. Tak perlu pergi merantau jauh-jauh ke luar daerah untuk sekedar hidup.”

 

Kakao yang ditanam masyarakat. Berbagai tanaman buah dari HKm sekarang menjadi andalan warga masyarakat. Dok: INFIS

 

Theresia mengaku, berbagai buah-buahan hasil kebun seperti pisang, ubi, singkong, nanas, dan sawo, biasa mereka jual di pondokan sederhana milik mereka persis di pinggir jalan negara.

“Dapat hasilnya antara Rp50-100 ribu per hari. Hasilnya lumayan bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga,” kata Theresia.

Untuk keberlanjutan finansial, Ayu Tani mendorong terbentuknya usaha bisnis kelompok petani dalam bentuk koperasi.

Dengan wadah koperasi harapannya petani bisa mengordinir diri, memastikan keberlanjutan finansial dan lakukan simpan pinjam. Hingga nanti dapat peroleh dukungan dari Dinas Koperasi setempat.

 

Konservasi Jenis dan Sumber Mata Air

Keberlanjutan konservasi menjadi hal utama. Petani penggarap di lahan HKm pun diperkenalkan dengan kekayaan hayati yang ada di kawasan hutan lindung Ili Wengot.

Hutan ini merupakan habitat burung punai flores (Treron floris) dan serindit flores (Loriculus flosculus) yang teridentifikasi sebagai species yang terancam punah. Kedua burung ini hanya dikenal hidup di daratan Flores saja.

Serindit flores diperkirakan hanya berjumlah 2.500-10.000 individu jumlahnya dan terus menurun. Oleh lembaga internasional IUCN, burung ini dikategorikan sebagai spesies terancam punah. Sedangkan punai flores dikategorikan dengan status rentan kepunahan.

“Bila hutan terjaga, maka kedua jenis burung ini bisa diselamatkan dari kepunahan. Kami larang warga menangkap kedua jenis burung ini, sebab terancam punah. Keduanya perlu dijaga kelestariannya,” jelas Mikael Puka, staf lapangan Ayu Tani.

Di lahan HKm petani pun diwajibkan menanam kopi dan beragam buah-buahan untuk menjamin ketersediaan pakan bagi kedua jenis burung ini.

Menurut Antonius dia kerap mendengar suara burung srindit flores. Burung-burung ini katanya, kerap memakan buah dan biji-bijian seperti kopi dan biji pohon ara.

Selain konservasi keragaman hutan, Ayu Tani memberi pendampingan kepada petani HKm, untuk melindungi area sumber mata air dan hulu sungai.

Jika hutan rusak dampaknya bakal dirasakan warga masyarakat di Boru, Hokeng, dan wilayah Sikka bagian timur yang letaknya lebih ke hilir.

“Kawasan Ile Wengot merupakan wilayah penting mata air dan hulu sungai yang mengalir ke Sikka, Boru dan Hokeng. Kerusakan kawasan ini akan berakibat pada berkurangnya debit air yang ada,” tutup Thomas.

 

Video: Semangat Juang Petani Desa Hikong

Exit mobile version