Mongabay.co.id

Ada Tanah Reforma Agraria dalam Konsesi Sawit di Buol? (Bagian 2)

Kebun lama sawit PT HIP di Kecamatan Bukal. Foto: Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Perusahaan sawit, PT Hartati Murdaya Inti Plantations (HIP) punya konsesi seluas 9.964 hektar. Dalam konsesi itu, ada lima desa transmigrasi, lahan pertanian dan program pemerintah, Kota Terpadu Mandiri, yang jadi pusat pengembangan peternakan untuk program satu juta sapi.

Awalnya, areal sekitar 100 hektar dalam kawasan pelepasan ini akan masuk dalam skema tanah obyek reforma agraria (tora) atau perhutanan sosial. Wilayah ini telah lama dikelola masyarakat.

Amiruddin Rouf, Bupati Buol berharap, melalui skema tora dan reforma agraria, wilayah kelola masyarakat dan fasilitas umum yang bisa masuk dalam pelepasan.

Baca juga: Sawit Datang, Hutan Buol pun Lepas (Bagian 1)

Rusly, Kabid Litbang Bappeda Buol, mengatakan, Kota Terpadu Mandiri (KTM), adalah program pusat meliputi beberapa kecamatan melalui dengan payung hukum peraturan daerah diperkuat SK Menteri Transmigrasi. Ia dibangun masa Bupati Amran Batalipu, pada 2009.

“KTM ini, setelah pembangunan lama jadi kota mati. Tidak ada aktivitas apapun. Proyek macet istilahnya. Agar ekonomi bergeliat juga sesuai Perda Peningkatan Pertanian, dibuatlah program mini ranch, program pengembangan peternakan,” katanya. Ia semacam kawasan percontohan untuk pengembangan peternakan dan program inovasi untuk mendukung KTM. “Program ini di atas KTM hingga bisa menghidupkan kembali area ini.”

Keinginan Pemerintah Buol ini tidak terlaksana karena terhambat dengan perusahaan yang juga menginginkan kawasan ini untuk perkebunan sawit. Ia kemudian lepas dengan terbit SK Pelepasan Kawasan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 517/2018 seluas 9.964 hektar.

Keinginan Bupati Buol agar Kadis Kehutanan Sulteng, Nahardi, sebagai ketua tim yang melakukan pelepasan kawasan memasukkan lima desa dan satu fasilitas umum dalam kawasan ini ke skema Tora itu, tidak terjadi.

“Dia (Nahardi) tolak waktu pertemuan di Bandung, pada 16 Desember 2017. Dia bilang, kami tidak memasukkan ini dalam skema tora karena kawasan ini sudah dimohonkan oleh perusahaan,”katanya.

“Cara terbaik mengeluarkan lima desa dan satu fasum yang masuk dalam kawasan adalah bupati menyetujui pelepasan kawasan, itu statement dia,” kata Rudi, sapaan Bupati Buol.

Rudi merasa, tersandera dengan pernyataan Kadishut Sulteng, yang menudingnya beraktivitas di kawasan hutan, termasuk lima desa hingga berimplikasi hukum.

“Agar saya terbebas dari jerat hukum, saya setujui pelepasan itu ke perusahaan, sementara perusahan itu sendiri sudah bermasalah dengan hukum. Melakukan banyak pelanggaran terus dapat lagi 10.000 hektar, enak betul.”

Pemerintah baik pusat maupun daerah, katanya, tidak sepantasnya melepas kawasan hutan produksi ke perusahaan yang sudah punya lahan luas tanpa mempertimbangkan kasus-kasus mereka sebelumnya.

Baca juga: Izin Kebun Sawit di Buol Bermasalah, Mengapa Pelepasan Kawasan Hutan Tetap Keluar?

Nahardi yang dihubungi Mongabay via telepon mengatakan, permasalahan ini sudah tidak menjadi kewenangan dia untuk menjawab.

Dia berdalih, persoalan ini seharusnya konfirmasi ke KLHK. Saat ini, katanya, KLHK yang punya kewenangan menjawab persoalan ini agar tak ada fitnah lagi.

“Saya tahu, kami provinsi dan dinas ini, banyak dituduh melakukan hal-hal yang tidak sesuai. Itu semua tidak benar. Kami sudah sesuai regulasi berlaku. Itu point terakhirnya,” kata Nahardi, singkat.

 

Perkampungan di Kecamatan Bukal, setiap tahun mengalami kebanjiran setiap hujan lebat. Diduga kuat akibat rusak kawasan hutan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Penerbitan Surat Keputusan LHK No. 517/2018 tentang pelepasan kawasan seluas 9.964 hektar di Buol menuai polemik. Sebelumnya, KLHK mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor P96/2018 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi.

Bab V tentang ketentuan peralihan, Pasal 4 point 3 menyebutkan, permohonan pelepasan HPK untuk perkebunan sawit yang diajukan namun belum melengkapi persyaratan atau melengkapi persyaratan namun berada di HPK masih produktif dan tak produksi sebelum Instruksi Presiden Nomor 8 /2018, permohonan dapat diproses hanya pada HPK tak produktif. Inpres No 8/2008 tentang penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan sawit serta peningkatan produktivitas perkebunan sawit.

Baca juga: Dugaan Suap Izin Kebun Sawit, Bupati Buol Ditangkap KPK

Rudi mengatakan, kawasan ini merupakan HPK dan wilayah bervariasi serta area penyangga bagi Buol untuk mengairi irigasi besar dan sumber air bersih masyarakat.

“Di dalam ada kawasan dilepas itu ada satu fasum dan lima desa. Itupun hanya 100 hektar, selebihnya hutan. Ini kami peruntukkan untuk area tadah hujan, sebagai cadangan air kita jadi tak boleh dibuka untuk perkebunan atau apapun,” katanya.

Dia bilang, harus menjaga amanat rakyat. “Mereka mau makan dari mana kalau sawah kering dan rusak? Hanya karena menguntungkan segelintir orang. Saya tetap melawan paling tidak saya tidak mengotori tangan saya.”

 

Kebun di luar HGU

Notulensi rapat tim Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sulawesi Tengah, yang diperoleh Mongabay, memperlihatkan, dari pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit, HIP ternyata berada di luar HGU dan kawasan HPK seluas 1.058 hektar.

Berdasarkan evaluasi Ombudsman juga, perusahaan perkebunan sawit, atau Non-IUPPKH selama ini tak pernah membayar pajak ketika menebang kayu hutan yang seharusnya kena pajak pertambahan nilai (PPN).

Baca juga: Hartati Murdaya Bebas, Petani Buol Protes

Abdul Haris Lapabira, Direktur Walhi Sulteng mengatakan, ada indikasi SK 517/2018 keluar seluas 9.964 hektar agar perusahaan dapat mengambil keuntungan dari kayu hutan primer yang dibuka untuk perkebunan sawit.

Selama ini, katanya, perusahaan perkebunan sawit berdalih kayu-kayu dari tebangan hutan hanya ditumpuk atau ditimbun, padahal ada kerugian negara dari nilai kayu-kayu yang hilang. Selain itu, modus menghindari pajak lain perusahaan sawit yakni gunakan pihak ketiga untuk membeli sawit dari petani atau mitra, dengan harga murah.

“Seharusnya, ketika sawit dibeli perusahaan, langsung kena pajak negara,” katanya.

Aris, sapaan akrabnya, mengatakan, Walhi merasa menemukan keganjilan dalam surat keputusan pelepasan kawasan hutan.

 

Kala perusahaan sawit masuk, hutan pun lepas…Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Salah poin dalam surat itu menyebutkan, HIP mendapatkan hak menyelesaikan konflik kalau ada hak pihak ketiga di kawasan pelepasan hutan itu. Poin itu dinilai bertentangan dengan UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Dalam UU PPLH, pejabat yang berwenang menerbitkan izin wajib mengendalikan dan mengontrol dampak izin yang terbit.

“Artinya, KLHK melepaskan tanggung jawab atas konsekuensi dari kewenangan yang dimiliki,” kata Aris.

Penerbitan SK 517/2018, katanya, juga bertentangan dengan Instruksi Presiden Nomor 8/2018 soal moratorium izin sawit yang keluar 19 September 2018. Menteri LHK menerbitkan surat keputusan yang kontradiktif dengan aturan lebih tinggi.

Inpres itu, kata Aris, terbit untuk menghentikan pelepasan kawasan hutan buat sawit dan evaluasi izin-izin yang sudah terbit dalam waktu tiga tahun setelah aturan itu terbit.

Walhi Sulteng mendesak, pemerintah segera membatalkan SK 517/2018 dan meminta pemerintah pusat maupun Pemerintah Sulteng konsisten menjalankan Instruksi Presiden 8/2018.

 

Tentang HIP

HIP merupakan perusahaan perkebunan sawit terbesar di Buol, bahkan di Sulteng. Perusahaan ini dikuasai keluarga taipan Siti Hartati Murdaya dan Murdaya Widyawimarta (Murdaya Poo).

Berdasarkan dokumen resmi yang didapat Yayasan Madani Berkelanjutan, perusahaan ini baik pemilik saham, direksi dan komisaris diisi keluarga Murdaya Poo.

Dalam akta perusahaan pada 1995, bahkan komisaris perusahaan ini sempat dijabat oleh Rony Narpatisuta Hendropriyono, anak dari Jenderal TNI (Purn.) Abdullah Mahmud Hendropriyono. Ia berdasarkan data dokumen resmi Dirjen Administasi Umum (AHU) yang dibeli April 2019.

Saat ini, duduk sebagai pemegang saham, CCM, sebagai pemilik mayoritas atau 97%, dan Totok Lestiyo pemilik saham minoritas atau 3%.

Totok merupakan tangan kanan Hartati Murdaya, di HIP. Ketika kasus korupsi suap terhadap Bupati Buol Amran Batalipu, Totok jadi saksi untuk Hartati Murdaya.

Komisaris utama perusahaan dijabat langsung oleh Murdaya Poo atau Murdaya Widyawimarta. Metta Murdaya, anak Murdaya Poo dan Hartati Murdaya didapuk jadi komisaris bersama Frans Sunarjo. Murdaya Poo pernah menjadi politisi di Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia. Kemudian, pasangan ini dikenal sebagai elit Partai Demokrat dan tim sukses Susilo Bambang Yudhoyono pada pilpres 2009. Murdaya Poo juga pernah jadi anggota DPR dari Fraksi PDIP periode 2004-2009.

 

Sepanjang mata memandang perkebunan sawit HIP di Kabupaten Buol. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Murdaya Poo, dikenal sebagai pengusaha sekaligus pendiri Group Cipta Murdaya bergerak di bidang properti, perkebunan dan tekhnologi informasi. Pada 2013, Forbes menempatkan dia pada urutan 16 orang terkaya Indonesia dengan nilai kekayaan US$1,75 miliar.

Dia lahir di Blitar, dan memulai usaha pada 1972, era Soeharto. Hingga 1992, perusahaan kontraktornya, Central Cipta Murdaya Group meningkat besar dengan mengelola PT Jakarta International Expo (JIExpo).

Direktur Utama HIP dijabat anak Murdaya Poo, Karuna Murdaya. Direktur juga dijabat anaknya bersama Prajna Murdaya dan Seri Sirithon– orang kepercayaan Hartati Murdaya dan Murdaya Poo.

Penelusuran Mongabay terhadap pemilik saham HIP, yakni PT. Cipta Karya Murdaya, nama perusahaan lama yang melakukan suap terhadap Bupati Buol Amran Batalipu. Di perusahaan itu, pemilik CCM, perusahaan milik Murdaya Poo dan Hartati Murdaya. Pemilik saham minoritas Hartati Murdaya, pernah jadi terpidana korupsi suap perizinan sawit HIP.

Di CCM, Hartati Murdaya menjabat sebagai direktur utama sekaligus pemilik saham minoritas. Anaknya, Keruna Murdaya dan Prajna Murdaya, menjabat sebagai direktur, bersama Jefri Sandra Tanudjaja dan Kirana Widjaja. Jefri Sandra Tanudjaja juga menjabat sebagai Wakil Presiden Direktur Metropolitan Kentjana Tbk.

Komisaris utama Cipta Karya Murdaya, dijabat langsung Murdaya Poo, dan komisaris anak kandung mereka, Metta Murdaya dan Upekha Theresia Murdaya.

Temuan ini menunjukkan, manfaat besar dari perkebunan sawit HIP di Buol, Sulteng menguntungkan segelintir orang, terutama keluarga Murdaya Poo. Hal ini terlihat jelas dari posisi direksi, komisaris dan pemegang saham perusahaan itu.

 

Batalkan

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berlelanjutan mengatakan, SK pelepasan kawasan ini mencederai komitmen presiden untuk memperbaiki tata kelola sawit. Sampai sekarang, Indonesia belum punya angka pasti tentang luasan kepemilikan lahan sawit, sementara ekspansi jalan terus.

Begitu juga kebocoran pendapatan negara, salah satu dari pajak. “Langkah bijak menteri menjalankan dengan sepenuh hati Inpres ini. Bukan sebaliknya, mengeluarkan SK pelepasan kawasan hutan di tengah Inpres Moratorium,” katanya.

“Seharusnya, ada penegakan hukum, bukan malah pemutihan dengan SK pelepasan kawasan hutan,” katanya.

Hingga kini, yang dirasakan sawit tak menyejahterakan rakyat, terlebih kini harga petani mandiri rendah dan risiko kegagalan sebagian beban kepada petani.

Di Buol, harga TBS tak pernah lebih Rp2.000 dari dulu. Di Indonesia, kemiskinan di sekitar perkebunan sawit, antara lain, dipicu pola kemitraan plasma perkebunan sawit. Pola kemitraan selama ini, katanya, malah menciptakan ketimpangan ekonomi dan polarisasi penguasaan lahan serta kerusakan sistem sosial budaya masyarakat.

Faktor lain, kata Teguh, tak ada perlindungan petani mandiri seperti sarana dan prasarana kebun yang mumpuni. Juga belum ada program peningkatan kapasitas bagi petani mandiri yang regular dan terukur hingga daya saing pasar lemah.

“Seharusnya, KLHS (kajian lingkungan hidup strategis-red) yang sudah dibuat Pemerintah Buol jadi alasan utama tidak pelepasan kawasan. Sudah selayaknya KLHK menghormati kebijakan pemerintah daerah yang pro lingkungan dan masa depan.”

Dia bilang, seharusnya menteri koreksi dengan mencabut atau membatalkan surat keputusan pelepasan kawasan hutan untuk HIP ini.

Belajar dari temuan Buol ini, kata Teguh, seharusnya pelaksanaan kaji ulang izin pelepasan kawasan segera jalan hingga bisa menghentikan kerusakan lebih lanjut.

KPK dan Kemendagri, katanya, juga harus menindaklanjuti penemuan dari Ombudsman Perwakilan Sulteng.

Begitu juga dengan rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi, Ombudsman RI dan Walhi Sulteng, yakni, KLHK harus mencabut Surat Keputusan Nomor 517 tentang pelepasan dan penetapan batas areal pelepasan kawasan hutan produksi kepada HIP.

KLHK, katanya, harus transparan dalam memberikan izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit. “Ini sebagai bentuk keterbukaan dan asas kehati-hatian, dan menelaah benturan terhadap aturan hukum lain yang lebih tinggi,” katanya.

 

Evaluasi seluruh izin

Sementara itu, Laode Muhammad Syarif, Wakil Ketua KPK mengatakan, KLHK, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang, harus mengevaluasi seluruh perizinan perkebunan sawit. Ia sebagai mandat Inpres 8/2018 dan secara transparan melibatkan pemerintah daerah.

Hasil evaluasi perizinan ini, katanya, harus ditindaklanjuti segera termasuk dengan langkah-langkah penegakan hukum. Selain itu, evaluasi perizinan harus transparan dan diumumkan ke publik sebagai bentuk akuntabilitas.

“Gubernur Sulawesi Tengah dan Bupati Buol harus melaksanakan kewajiban mereka terkait pengawasan dan pembinaan serta evaluasi kinerja perusahaan perkebunan sawit,” katanya.

Mongabay menghubungi kantor HIP di Jakarta, untuk konfirmasi pada 15 Mei 2019, melalui kontak telepon yang tertera di website resmi perusahaan, namun tak ada respon. Mongabay juga menghubungi untuk konfirmasi via email yang tertera di website resmi perusahaan namun hingga kini tidak ada respon. (Selesai)

 

Keterangan foto utama:  Kebun lama sawit PT HIP di Kecamatan Bukal. Foto: Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version