Mongabay.co.id

Mencari Solusi Selamatkan Pulau Bengkalis dari Abrasi

Masyarakat Desa Bantan Sari mencari buah tanah pada bekas daratan yang telah berubah jadi lumpur. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Abrasi mengkhawatirkan masyarakat Bengkalis, terlebih mereka yang tinggal di sebelah utara pulau yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka ini. Rumah Ahmad Maulana, selemparan batu ke bibir pantai. Kebun sawit dan karet satu persatu roboh kala terhempas ombak. Maulana, nelayan dan petani Desa Muntai Barat.

Di seberang sungai sebelah rumah Maulana, Pos TNI Angkatan Laut juga terancam abrasi. Beruntung, ada sedikit mangrove tumbuh dan menahan lumpur, juga pemecah ombak sepanjang 100 meter yang membentengi mangrove.

Pemecah ombak juga dibangun di perbatasan Desa Muntai Barat dan Muntai—sebelum 2016. Keduanya, masih satu administrasi pemerintahan desa. Pemecah ombak itu belum efektif penuh menahan laju abrasi sepanjang pantai, kecuali pada bagian timbunan batu yang dibangun.

Baca juga: Abrasi Pantai dan Laut di Riau Bahayakan Keselamatan dan Sumber Hidup Warga (Bagian 1)

Panjang pantai Desa Muntai Barat dan Muntai, sekitar tujuh kilometer. Semua dalam kondisi kritis. Abrasi telah melenyapkan kebun masyarakat, fasilitas desa seperti tempat timbangan ikan, kilang es, gudang ikan, jalan desa dan sebagian rumah penduduk.

Laju pengikisan daratan 6-10 meter per tahun. Puncaknya, mulai November sampai menjelang tahun baru atau ketika musim angin utara.

Kondisi serupa terus mengancam desa sebelah utara Pulau Bengkalis. Di Desa Bantan Timur, bibir pantai hanya beberapa meter lagi di rumah layak huni yang ditempati para nelayan Suku Akit. Bahkan, kala pasang tinggi, rumah mereka terendam dan sampan bisa naik ke pekarangan rumah.

 

Badan sungai ini mulai ditinggikan untuk manahan tinggi air laut yang masuk. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Di sebelahnya, Desa Bantan Sari, air laut merendam sawah masyarakat dan sudah lama ditinggalkan pemilik. Tanggul manual dari timbunan tanah beberapa kali runtuh terhempas ombak. Di sini, dulu ada perkampungan tua. Berencah, namanya. Beberapa kuburan tampak diselimuti semak setelah penduduk menjauh dari bibir pantai.

Sampai Desa Jangkang dan Desa Deluk, abrasi perlahan-lahan terus mengikis kebun masyarakat dan fasilitas desa lain. Di Jangkang, abrasi banyak mengikis kebun sawit dan karet. Di Deluk, tembok beton sudah terbangun lebih awal hingga bisa menahan daratan yang tersisa. Kini, jadi tempat wisata, Pantai Indah Penampar. Di ujung tembok abrasi tetap saja ‘menjilat’ daratan sampai belasan meter.

Cerita Tumin, sebelum tahun 80-an, sepanjang Pantai Desa Muntai atau 500 meter dari bibir pantai sekarang, banyak pohon api-api. Sejak minyak tumpah dari kapal tanker, api-api mati.

Baca juga: Abrasi Ancam Keberadaan Pulau-pulau di Riau (Bagian 2)

Setelah itu, abrasi tak terbendung. Masyarakat sudah empat kali tanam mangrove tetapi tak ada yang berhasil, kecuali dibentengi terlebih dahulu dengan timbunan batu-batuan pemecah ombak.

“Dulu banyak kapal lalu lalang di pantai ini bawa minyak,” kata Tumin.

Cerita Tumin senada dengan Maulana. Ketika bakau dan api-api masih banyak, nelayan mudah cari ikan dan udang. Pohon-pohon itu juga tempat nelayan berlindung kala musim angin dan ombak besar.

Sebaliknya, ketika daratan terus terkikis, jarak dan lokasi tangkapan nelayan makin jauh. Sekarang, nelayan desa itu terpaksa libur berbulan-bulan melaut sampai angin utara selesai.

Pembuatan kayu arang masih berlangsung juga salah satu penyebab mangrove makin berkurang. Ditambah lagi, pembuatan cerocok untuk pondasi bangunan juga mengandalkan pohon api-api.

Acing, pemilik kedai harian Desa Muntai, beberapa kali menegur warga desa yang masih suka menebang mangrove. Acing menanam sendiri mangrove di belakang rumah untuk melindungi kebun karet yang tersisa. Jarak kini hanya puluhan meter saja ke bibir pantai.

Cerita tumpahan minyak, penebangan mangrove sampai pembuatan kayu arang itu juga sampai ke telinga Robert Siburian, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Temuan mereka, ada 168 panglong kayu arang masih beroperasi di Pulau Bengkalis.

Tiap panglong menghabiskan 18 ton mangrove untuk menghasilkan tiga ton arang selama 2-3 bulan.

Robert bilang, pengusaha panglong itu tak masalah kalau usaha ditutup. Produksi kayu arang, katanya, tak begitu menguntungkan bagi pengusaha termasuk pekerja. “Tinggal kita pikirkan solusi pemberdayaan selanjutnya untuk masyarakat yang sudah lama bergantung dengan pekerjaan itu.”

 

Sisa tanaman mangrove di belakang rumah Acing, Desa Muntai, yang ditebang dan dihempas ombak, untuk melindungi pohon karet dan rumahnya. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

Masalah tutupan lahan

Berdasarkan peta administrasi, Bengkalis terbagi berdasarkan tiga wilayah. Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat masing-masing dua kecamatan dan Pulau Sumatera, ada tujuh kecamatan. Ketiganya, terdampak abrasi dengan laju 2-7 meter per tahun. Ketiga pulau itu juga berhadapan langsung dengan Selat Malaka dan hampir seluruh garis pantai dalam kondisi kritis.

Khusus Bengkalis, terutama di Kecamatan Bengkalis, kondisi itu menimpa tujuh desa, seperti Prapat Tunggal, Simpang Ayam, Sebauk, Pangkalan Batang, Pedekik, Wonosari dan Sekodi. Panjang daerah terdampak abrasi 31 km dan 21 km dalam kondisi kritis, upaya penanggulangan baru 0,55 km.

Sedangkan di Kecamatan Bantan, berdampak pada enam desa, yakni, Jangkang, Selatbaru, Teluk Papal, Bantan Air, Muntai dan Pambang Pesisir. Panjang abrasi mencapai 42 km dan 41,5 km dalam kondisi kritis, penanganan baru 5,5 km.

Dalam delapan tahun terakhir, Pemerintah Bengkalis, telah menghabiskan Rp300 miliar lebih membangun breakwater di beberapa titik, mencakup tiga wilayah itu.

Tahun lalu, bangun breakwater sempat terhenti dan kembali jalan 2019 di Kecamatan Bengkalis dengan anggaran Rp1, 601 miliar.

Pemerintah Bengkalis mengusulkan, ke Pemerintah Pusat anggaran Rp2 triliun lebih untuk mempercepat penanggulan abrasi ini.

Rinto Sekretaris Bappeda Bengkalis, mengatakan, kalau seluruh dibebankan pada anggaran daerah tak memungkinkan karena biaya itu lebih dari separuh APBD Bengkalis.

Kamis 4 Juli 2019, sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah pusat meninjau beberapa desa yang terdampak abrasi. Dalam rombongan ini, sudah terbentuk tim studi untuk mengkaji kondisi di lapangan, dan solusi guna menyelamatkan Pulau Bengkalis, sebagai pulau terluar dan titik perbatasan dengan negara tetangga.

Solusi tak sekadar berbentuk fisik. Pemberdayaan dan peningkatan ekonomi masyarakat juga jadi kajian tim yang diketuai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ini. Mengingat, selain perikanan tangkap dan budidaya, perekonomian berbasis lahan jadi sumber pendapatan masyarakat Bengkalis.

Ada temuan jadi masalah selama observasi lapangan satu harian penuh oleh tim. Virni Budi Arifanti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyebut, tutupan hutan di Pulau Bengkalis, kurang 1% dari keseluruhan Riau.

Tutupan lahan gambut kurang bagus. Sebaran Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) sebagian menjorok ke Pantai Meskom yang jadi salah satu titik abrasi terparah. Status lahan di sekitar abrasi adalah areal penggunaan lain (APL).

 

Simulasi Pulau Bengkalis setelah alih fungsi lahan

 

Dian Afriyanti, mewakili Kedeputian Penelitian dan Pengembangan Badan Restorasi Gambut (BRG) mengatakan, 97% KHG Pulau Bengkalis berkanal atau hanya 1.500-an dari 65.400 hektar tidak berkanal. Itupun, kata Dian, tetap berdampak karena jarak tidak begitu jauh dengan lahan berkanal.

Masalah lain, tinggi muka air dalam kanal juga pada level berbahaya. Fungsi lindung gambut sudah jadi zona budidaya. Dian menyarankan, harus memperbaiki gambut dan menimbun kanal-kanal kembali. “Ini jadi permasalahan besar.”

Zuli Laili Isnaini, Peneliti Pusat Studi Bencana Univertsitas Riau juga tak menampik temuan lapangan. Ekonomi berbasis lahan salah satu faktor degradasi gambut karena pembukaan lahan yang menyebabkan kekeringan. Dia menyarankan, perlu edukasi pada masyarakat untuk pengolahan hasil pertanian guna mengurangi pembukaan lahan baru.

Sahat M Panggabean, Plh Deputi Bidang Koordinasi Sumberdaya Alam dan Jasa Kemenko Bidang Kemaritiman, saat memimpin rapat bersama tim studi di Ruang Rapat Bupati Bengkalis, mengatakan, temuan dan masukan dari tim akan jadi catatan dan rekomendasi saat rapat lanjutan di tingkat pusat.

Sayangnya, selama lebih kurang empat jam membahas hasil tinjauan lapangan itu, tak ada sedikitpun menyinggung soal alih fungsi lahan. Seperti hasil tracking, Sigit Sutikno Dosen Teknik Sipil Universitas Riau bersama peneliti dari Yamaguchi University Jepang. Abrasi juga karena kanal-kanal buatan perusahaan.

Ada pembahasan lanjutan bersama Gubernur Riau Syamsuar. Isi diskusi lebih kurang sama. Syamsuar juga menegaskan, perlu keterlibatan pemerintah pusat untuk andil menyelamatkan pulau-pulau terluar di Riau. Usulan lain, pembangunan breakwater dilakukan pada titik nol daratan yang tergerus abrasi.

Mengenai tutupan lahan gambut kembali disinggung. Kali ini oleh Isnadi Esman Sekjen Jaringan Masyarakat Gambut Riau. Kabakaran hutan dan lahan, pembangunan kanal dan intrusi air laut adalah salah satu penyebab laju abrasi karena penurunan permukaan lahan gambut. “Yang pernah kami kaji bersama akademisi, penurunan permukaan gambut itu 9-10 centimeter per tahun.”

 

 

Keterangan foto utama:    Masyarakat Desa Bantan Sari mencari buah tanah pada bekas daratan yang telah berubah jadi lumpur. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Batang kelapa terakhir milik Ahmad Maulana yang diterjang abrasi. Sisanya, tinggal pohon karet dan rumah. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version