Mongabay.co.id

Harus Ada, Rencana Aksi Citarum Harum

 

 

Formulasi penanganan Sungai Citarum terus dimutakhirkan. Dua bulan terakhir, rapat koordinasi gencar dilakukan. Dana yang dibutuhkan untuk operasional Satgas Citarum Harum tahun 2019 diklaim telah dikucurkan pemerintah pusat sebesar Rp602 miliar. Tak hanya itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mendapat tambahan dana pinjaman dari Bank Dunia senilai Rp1.4 triliun.

Gubenur Jawa Barat Ridwan Kamil membahas hal itu dalam rapat Koordinasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah [Kopdar], di Kabupaten Kuningan, Kamis [11/7/2019]. Dana turun semester awal 2020.

“Sekarang dana ada, tinggal kita kompak bekerja untuk Citarum,” ujar Ridwan Kamil dihadapan kepala daerah dari 27 kabupaten/kota seperti dikutip Kompas.id.

Bantuan dana Bank Dunia akan difokuskan untuk delapan kabupaten/kota di Daerah Aliran Sungai [DAS] Citarum: Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Cianjur, Bekasi, Purwakarta, dan Karawang. Dana bakal diprioritaskan untuk 22 sektor di 629 desa, dari 112 kecamatan yang tersebar di delapan wilayah itu.

Baca: Kajian Ilmiah Pencemaran Citarum Dibutuhkan, Sebagai Acuan Pemulihan Sungai

 

Sungai Citarum yang menghadapi masalah berat, mulai sampah, pendangkalan, hingga pencemaran. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Tambahan regulasi

Butuh waktu satu tahun program Citarum Harum memiliki roadmap. Selama ini, upaya penanganan sungai terpanjang di Jawa Barat ini masih parsial.

“Juni lalu, Pak Gubernur sudah menandatangi peraturan rencana aksi percepatan pengendalian pencemaran dan kerusakan Daerah Ailiran Sungai [DAS] Citarum,” kata Ketua Pokja Penyusunan Rencana Aksi Citarum M. Taufiq Budi Santoso kepada Mongabay-Indonesia baru-baru ini.

Menurut Taufiq, Peraturan Gubernur Nomor 28 tahun 2019 merupakan tafsiran dari Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum.

Pergub diharapakan menjadi pedoman semua yang terlibat. “Pemerintah daerah maupun pihak terkait tidak perlu repot merancang kerangka kerja. Semua tertuang di pergub,” ucap Taufik yang menjabat Kepala Bappeda Jabar.

Baca juga: Menanti Sungai Citarum Pulih, Akankah Terwujud?

 

Sungai Citarum bertabur sampah. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Pada pergub tertuang 12 rencana aksi yang bakal dikerjakan periode 2019-2025. Tahun ini, kata Taufiq, difokuskan pada pengendalian lahan kritis, sampah, dan pengelolaan sumber daya air. Dana yang dibutuhkan untuk merealisasikan rencana aksi mencapai Rp16.1 triliun. Kebutuhan dicicil melalui anggaran APBN, APBD Provinsi, APBD Daerah serta lembaga terkait.

“Setiap tahun anggaran harus dikawal dan dikejar. Rencana aksi ini mendorong pemerintah daerah menganggarkan berdasarkan kemampuan masing-masing,” katanya.

Balai Besar Wilayah Sungai [BBWS] Citarum, misalnya. Unit pelaksana teknis Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ini memiliki tupoksi pemeliharaan sekaligus pembangunan insfrakturtur sungai.

Tahun ini, BBWS menambah infrastruktur pengendali banjir dengan membangun terowongan air, tanggul sungai, dan kolam retensi. “Kami masih mengerjakan proyek multiyear di antaranya floodway. Untuk normaliasi sungai belum karena wilayah hulu Citarum belum baik dan anggarannya belum ada,” terang Kepala Bidang Pelaksanaan Jaringan Sumber Air BBWS Citarum, Suwarno.

 

Banjir akibat meluapnya Sungai CItarum membuat masyarakat Kampung Muarabaru, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, harus rela menerima. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Masalah dan perbaikan

Koswara, Ketua RT 03/07 Kampung Muarabaru, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, menyebut, tempat tinggalnya mengalami masalah, sejak 30 tahun diterpa meluapnya Sungai Citarum.

Banjir yang menghantam membuat kondisi rumah warga kini berada lebih rendah dari sungai. “Kami hanya berharap solusi jangka pendek pemerintah untuk menyudahi penderitaan ini,” ungkapnya.

Dosen Sekolah Arsitektur dan Perencanaan Kota Institut Teknologi Bandung, Denny Zulkaidi, menyebut, perlu adanya pengendalian tata ruang. Sejauh ini belum ada sinkronisasi rencana tata ruang wilayah [RTRW] dari pusat hingga daerah. “Pengembangan atau pembangunan yang direncanakan nasional harusnya diakomodasi provinsi dan direkomendasikan lagi ke kabupaten/kota.”

 

Kentang, sebagai hasil pertanian masyarakat di wilayah aliran Sungai Citarum. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dari data yang dihimpun, luas hutan di DAS Citarum mengalami penurunan, meski rehabiltasi telah dilakukan. Kepala Balai DAS Citarum – Ciliwung, Taruna Jaya, mengakui kondisi itu. Ia mengatakan, lahan kritis di DAS Citarum mencapai 609.000 hektar. Pihaknya telah menargetkan penghutanan kembali seluas 9.750 hektar dengan anggaran Rp115 miliar.

“Butuh waktu mengatasi lahan kritis ini. Kami targetkan kuantitas penanam pohon tiap tahun ditambah,” ujarnya.

 

Lahan kritis di DAS Citarum perlu penanganan segera. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Komandan Sektor VI Satgas Citarum Kolonel Yudi Zanibar mengatakan, pengerukan sedimentasi di Bojongsoang dilakukan sejak akhir Agustus 2018. Lebih 100.000 meter kubik diangkut dari sungai berhulu di Gunung Wayang ini.

Menurut Yudi, sedimentasi menjadi pemicu utama banjir di Bojongsoang, Dayeuhkolot, dan Baleendah. “Pengerukan bertujuan mengurangi ketinggian banjir. Tapi di sisi lain, menjadi dilema. Jika letakkan di bantaran sungai, tidak menutup kemungkinan masuk lagi ke sungai saat musim hujan,” ujarnya.

Salah satu lagi yang digalakkan Sektor VI adalah menghindari masyarakat membuang sampah ke sungai. Yudi menyebut, ini masalah tersulit karena harus melalui pendekatan budaya. “Padahal, budaya yang besar adalah budaya yang menghargai keberadaan sungai. ini dibuktikan di Inggris dengan peradaban Sungai Themes ataupun Italia dengan wisata sungai di Venice. Jangan sampai, Sungai Citarum menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version