Mongabay.co.id

Pembangunan PLTA di Aceh, Kajian Potensi Gempa dan Analisis Lingkungan Prioritas Utama

Sungai Alas-Singkil akan dibendung, demi alasan listrik. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Rencana pembangunan sejumlah PLTA terus digaungkan di Aceh.

Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur mengatakan, sebagian besar proyek PLTA, sedang dikerjakan maupun direncanakan, berada di hutan lindung Kawasan Ekosistem Leuser [KEL] dan hutan Ulu Masen.

“Mereka pasti akan memilih lokasi dalam hutan karena butuh air. Hutan akan rusak dan laju deforestasi bertambah,” jelasnya, Rabu [17/7/2019].

Muhammad Nur mengatakan, PLTA Kluet 1 di Aceh Selatan, direncanakan sebagian besar air Sungai Kluet dialihkan alirannya ke pipa sepanjang 12,29 kilometer. Proyek ini juga akan menimbulkan perubahan sosial masyarakat maupun lingkungan.

Hasil analisis Walhi Aceh menunjukkan, kebutuhan energi listrik Aceh saat ini sekitar 250 mega watt. Sementara beban puncak, berkisar antara 260-360 mega watt.

Jumlah pelanggan sekitar 1.245.644 unit. Rinciannya, rumah tangga [1.117.644 unit], industri [1.884 unit], usaha [81.964 unit], sosial [35.575 unit], serta gedung pemerintah [7.224 unit].

“Harus diakui, Aceh masih bergantung pasokan listrik dari Sumatera Utara sekitar 180 mega watt, karena tiga pembangkit listrik yang ada belum memenuhi kebutuhan energi,” sebutnya.

Saat ini, pembangkit listrik tenaga mesin gas [PLTMG] baru menghasilkan energi 80 mega watt dari kapasitas mesin 180 mega watt. Pembangkit listrik tenaga uap [PLTU] di Nagan Raya hanya menghasilkan energi 60 mega watt dari kapasitas mesin 2×100 mega watt. Begitu pula dengan pembangkit listrik tenaga diesel [PLTD] yang baru menghasilkan energi sekitar 20 mega watt.

Baca: Alasan Listrik, PLTA akan Dibangun di Sungai Alas-Singkil

 

Sungai Alas-Singkil termasuk sungai terpanjang di Aceh. Alirannya juga menuju Samudera Hindia. Sungai ini akan dibendung demi alasan listrik. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Ketua Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA], Farwiza mengatakan, dari berbagai ekosistem di seluruh dunia, sungai yang mengalir lepas ke laut merupakan jenis ekosistem langka. “Air tawar merupakan sumber penghidupan di bumi.”

Menurut dia, keberadaan pembangkit listrik tenaga air [PLTA] di hutan lindung meskipun status hutannya diubah ke zona pemanfaatan, akan merusak fungsi ekosistemnya. Kawasan hutan lindung merupakan areal yang menjaga daya dukung lingkungan, termasuk fungsi air.

“PLTA bukan sumber energi terbarukan sehijau yang sering digembar-gemborkan banyak pihak. Penelitian Patrick McCully [2001] menunjukkan dalam beberapa kasus, terutama skala besar, PLTA justru mengeluarkan emisi lebih besar dari PLTD,” ujarnya, Kamis [18/7/2019].

 

Air bersih merupakan potensi alam yang melimpah di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Farwiza menyebutkan, banyaknya rencana pembangunan PLTA di Aceh merupakan fenomena aneh, karena nilai ekonomis PLTA turun dari tahun ke tahun. Beberapa negara maju malah membongkar bendungan dan merestorasi daerah aliran sungai.

“Dampak yang segera teridentifikasi dari pembangunan proyek adalah putusnya koridor satwa dan meningkatnya risiko bencana. Berdasarkan penelitian PusGen KemenPUPR, Aceh memiliki kerentanan gempa.”

Dia berharap, pemerintah di Aceh atau Pusat tidak lagi memikirkan listrik hanya dari PLTA atau batubara. Sudah saatnya memikirkan energi ramah lingkungan tanpa merusak hutan dan sungai.

“Ada mikro hidro, panel surya yang semakin mudah dan murah sebagai pembangkit listrik skala kecil, dan membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi di lokasi sesuai.”

Baca: Tidak Hanya Mengancam Kelestarian Leuser, Peneliti: PLTA Tampur Berada di Wilayah Rawan Gempa

 

Desa Lesten, Kecamatan Pining, Gayo Lues, tempat pembangunan PLTA Tampur direncanakan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh, Syahrial, dihubungi terpisah menjelaskan, untuk pembangunan PLTA di hutan lindung, pengurusan izin tidak sama dengan lahan perkebunan atau hak guna usaha [HGU].

“Untuk HGU, status hutannya harus diubah dari hutan lindung ke areal penggunaan lain. Sementara PLTA, hanya diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan yang statusnya tetap hutan negara,” urainya.

Sementara untuk pengurusan analisis mengenai dampak lingkungan dan rencana kerja, tetap harus dibahas dan disetujui tim. Setelah itu, baru diurus izin pinjam pakai kawasan hutan [IPPKH] ke pemerintah.

“Mereka diharuskan membayar biaya rehabilitasi hutan dan mengikuti aturan lainnya,” ujar Syahrial.

Baca: Dua Mega Proyek PLTA Ini Dikhawatirkan Mengancam Kelestarian Leuser

 

Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan hutan mengagumkan di Sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Lokasi rawan gempa

Dalam gugatan Walhi Aceh terhadap izin PLTA Tampur 1 di Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh, saksi ahli yang dihadirkan pada 16 Juli 2019, adalah Nazli Ismail. Dia ahli gempa dari Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Dalam keterangannya, Nazli mengatakan, Kabupaten Gayo Lues, tempat PLTA Tampur 1 akan dibangun, berada pada zona patahan aktif gempa Sumatera. Tepatnya di Sesar Samalanga, Lhokseumawe, dan Gayo Lues.

“Potensi gempa pada sesar ini berada pada posisi dangkal. Semakin dangkal posisi gempa semakin kuat getarannya. Berdasarkan rekaman gempa, sesar ini sudah 170 tahun lebih tidak terjadi gempa besar, sehingga potensi gempa ada ke depannya,” tuturnya.

Nazli mengungkapkan, patahan darat lebih berisiko dibandingkan laut. Namun, tingkat bahaya keduanya sama. “Potensi gempa pada Sesar Samalanga, Lhokseumawe dan Gayo Lues diperkirakan memiliki kekuatan di atas 7 Skala Richter,” ungkapnya.

Nazli menjelaskan, meski proyek PLTA Tampur tidak persis pada garis patahan, namun kekuatan getaran bisa berdampak puluhan kilometer dari pusat gempa. Ini dipengaruhi kondisi geologi, apalagi dipenuhi sesar minor.

“Contoh sesar minor adalah gempa yang terjadi di Pidie Jaya, 7 Desember 2016 lalu,” paparnya.

Baca juga: Gempa yang Terjadi di Pidie Jaya Ini, Getarannya Berbeda

 

Gempa dan Sesar Aktif yang direkam di Aceh pada 2014-2015. Wilayah pembangunan PLTA Tampur berada di lokasi rawan gempa. Sumber: Presentasi Muksin Umar/Peneliti Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

 

Data yang dihimpun Mongabay Indonesia dari Walhi Aceh menunjukkan, saat ini beberapa PLTA telah memiliki kajian analisis dampak lingkungan dan izin lainnya yaitu PLTA Peusangan [Kabupaten Aceh Tengah], PLTA Kluet 1 [Aceh Selatan], dan PLTA Tampur [Kabupaten Gayo Lues].

PLTA Peusangan berkapasitas 88 mega watt diperkirakan beroperasi pada 2022. PLTA Kluet 1 yang terletak di Sungai Kluet, kapasitasnya 180 mega watt. Sementara PLTA Tampur 1 yang kapasitasnya 443 mega watt, mengancam 4.407 hektar hutan Kawasan Ekosistem Leuser [KEL] di Kabupaten Gayo Lues, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang.

Selain itu, pemerintah tengah mengundang investor untuk membangun PLTA Samarkilang berkapasitas 77 mega watt di Kabupaten Bener Meriah, serta PLTA Teunom 2 dan 3 di Sungai Teunom Kabupaten Aceh Jaya.

Pengembangan PLTA Samarkilang dan PLTA Teunon 2 dan 3, serta PLTA Peusangan 3 dan 4 merupakan hasil lawatan Presiden Joko Widodo ke Korea Selatan pada 2018 lalu. Atau, bagian dari 15 proyek yang diteken antar pelaku usaha Korea Selatan dengan Indonesia.

PLTA Soraya di Kota Subulussalam yang akan membendung Sungai Alas-Singkil juga tahap perencanaan. PLTA berkapasitas 126 mega watt ini akan dibangun di Desa Pasir Belo, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam.

 

 

Exit mobile version