Mongabay.co.id

Petisi Hentikan Penyiksaan, Akhiri Atraksi Tunggang Gajah di Borobudur

 

 

Melanie Subono melepas jaket, tak berapa lama setelah ia tiba di kandang gajah, di satu sudut area Candi Borobudur. Mahout atau pawang gajah pun segera memanggil nama-nama mamalia darat besar itu ke arah mereka. Ada tiga individu mendekat.

Artis dan pencinta satwa itu kini dikelilingi satwa setinggi dua meter dengan bobot tak kurang dua ton. Melanie tak sedikit canggung, terlebih takut.

“Oh, ada kamu toh di belakangku,” ujar Melanie pada salah satu gajah, menyadari belalai satwa itu menyentuh lengannya dari belakang. Sejurus kemudian, dia melemparkan wortel ke mulut salah satu gajah yang mengangga di depannya.

Kesempatan berinteraksi dengan mamalia cerdas ini dilakukan Melanie usai audiensi dengan jajaran PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko, Kamis [04/7/2019], di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Turut hadir dalam pertemuan itu Kepala BKSDA Jawa Tengah, Direktur Kebun Binatang Gembira Loka, dan dokter hewan yang merawat gajah di Borobudur. Melanie ditemani rekan Animal Friends Jogja [AFJ].

Baca: Seperti Manusia, Gajah Ingin Diperhatikan Kesehatannya

 

Seorang mahout asik bermain bersama gajah sumatera di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tolak tunggang gajah

April 2019, Melanie membuat petisi “Stop Elephant Cruelty, Stop Penyiksaan Gajah di Borobudur” yang ditujukan ke PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko. Ketika di Change.org itu, hingga 22 Juli 2019, mendapat dukungan 82 ribu lebih tanda tangan, dari dalam maupun luar negeri.

“Yes kita berhasil lagi!” tulisnya dalam unggahan Senin, 15 Juli lalu. “Setelah bertemu pengelola gajah di Borobudur, kami punya beberapa hal yang disepakati untuk kesejahteraan ketiga gajah itu, Eca, Lisi, dan Zella,” lanjutnya.

“Saya puas, tapi lima puluh persen, karena minimal ini ditanggapi baik. Kita bisa duduk bareng, bicara terbuka, saling memaafkan, bisa ketemu,” ujarnya kepada Mongabay. “Kepuasan saya penuh setelah lihat nanti apakah komunikasi ini berlanjut atau tidak. Ini memang bukan PR mereka saja, saya juga. PR kita semua. Kalau benar-benar berjalan, gajahnya sejahtera, baru saya puas,” ujarnya lagi.

Baca: Ternyata, Manusia Bisa “Mengerti” Keinginan Gajah

 

Seekor anak gajah sumatera bermain di lumpur di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Perjalanan, hingga muncul petisi cukup berliku. Tidak sedikit wisatawan mancanegara yang membatalkan kunjungannya ke Borobudur setelah tahu ada atraksi tunggang gajah.

“Awalnya kami menerima keluhan wisatawan asing. Mereka shock dan sedih melihat bagaimana gajah diperlakukan. Ada yang bilang dirantai, kurus, ditunggangi. Lalu kami bersurat ke PT. TWC,” kata Among, dari AFJ.

Surat dilampiri screenshot email, juga screenshot website atraksi tunggang gajah Borobudur. Tak kunjung mendapat tanggapan pihak pengelola, akhirnya AFJ menggandeng Melanie Subono, dan Jakarta Animal Aid Networks [JAAN]. Petisi seruan penghentian penyiksaan gajah di Borobudur pun dibuat.

Dalam petisi itu, diungkapkan bahwa wisata naik gajah adalah kekejaman. Agar menjadi jinak, gajah menerima kekerasan fisik dan psikis. Mereka terpisah dari kawanannya, sering terkait penangkapan ilegal dan pembunuhan induknya. Ditunggangi bukan perilaku alami mereka.

“Memperlakukan gajah, satwa dengan status dilindungi, yang jumlahnya menyusut seperti itu, memberikan citra buruk Borobudur sebagai warisan dunia. Kami marah, mengapa memperlakukan satwa langka begitu,” papar Among.

Baca: Cinta Kita yang Hilang pada Gajah Sumatera

 

Gajah di Borobudur yang awalnya dijadikan sebagai atraksi tunggang. Kini sudah tidak ada lagi. Foto: Nuswantoro/Mongabay Indonesia

 

Jadi contoh

Melanie menyodorkan informasi, pariwisata dunia justru tengah meningkatkan kepedulian atas lingkungan. Alasannya, wisatawan mulai menjadikan lingkungan sebagai pertimbangan memilih tujuan.

“Pariwisata yang animal friendly itu lagi happening banget di luar. Ini bisa jadi contoh di Indonesia.”

Dia menjelaskan, penanda tangan petisi setengahnya adalah orang atau badan luar negeri. Mereka paham, Borobudur diakui UNESCO. Borobudur adalah tempat paling pas mengawali, memperlakukan satwa dengan baik, terutama gajah.

“Di hutan, di alam liar mereka tidak seperti itu. Tidak ditunggangi. Upaya animal welfare adalah membuat semirip mungkin dengan kehidupan di alam liar. Kalau di depan publik memukul, menyakiti, orang akan berpikir oh kalau begitu boleh dong melakukan hal yang sama pada binatang.”

Melanie khawatir, jika kekejaman terhadap satwa terus dipertontonkan, akan berdampak buruk pada khalayak. “Jika Borobudur, bersuara untuk kesejahteraan satwa buat, ini keren banget,” kata Melanie yang mengaku bersedia membantu mendatangkan ahli gajah, tanpa membebani anggaran pengelola Borobudur.

Baca: Urusan Lingkungan, Melanie Subono Selalu Ada Waktu

 

Melanie Subono yang membuat petisi “Stop Elephant Cruelty, Stop Penyiksaan Gajah di Borobudur.” Foto: Nuswantoro/Mongabay Indonesia

 

Kesejahteraan satwa

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Jawa Tengah, Suharman, mengatakan, untuk kesejahteraan satwa idealnya dibiarkan bebas di alam. Sekurangnya, mendekati kriteria yang ada, jika berada di lembaga konservasi.

Satwa harus terjamin hak-hak pokoknya. Pertama, bebas rasa lapar dan haus. Kedua, bebas dari lingkungan tidak nyaman. Ketiga, bebas dari luka, penyakit, dan rasa sakit. Keempat, bebas mengekspresikan perilaku alaminya. Kelima, bebas dari rasa takut dan menderita.

“Terima kasih sudah peduli kesejahteraan satwa dan etika pemeliharaan gajah. Petisi ini bagian dari masukan publik untuk pengelolaan lebih baik,” ujarnya.

Lembaga Konservasi Borobudur, menurut Suharman, berdiri pada 2017. Dari penelusuran, bentuknya adalah taman satwa untuk umum, menempati areal seluas 85 hektar. Izin diberikan untuk Koperasi Karyawan PT. Taman Wisata Candi Borobudur Prambanan dan Ratu Boko, melalui surat Keputusan Kepala BKPM No: 1/1/ILK/PMD N/2017 tanggal 30 Januari 2017.

Baca juga: Membunuh Gajah, Menghancurkan Jejak Peradaban Bangsa Indonesia

 

Selain gajah, ada juga rusa di Lembaga Konservasi Borobudur. Foto: Nuswantoro/Mongabay Indonesia

 

General Manager Unit Borobudur I Gusti Putu Ngurah Sedana menjelaskan, Lembaga Konservasi Borobudur mengoleksi lima individu gajah. Terdiri dua jantan [Bona dan Endra] serta tiga betina [Eca, Lisi, dan Zella].

“Kami memandang ada hubungan antara gajah dan umat Buddha. Di relief Borobudur ada gajah yang disucikan. Pihak Borobudur menganggap, keberadaan gajah bisa menambah daya tarik. Selain itu juga ada rusa. Pengunjung bisa memberi makan dan sebagainya.”

Putu menambahkan, atraksi menunggang gajah sudah dihentikan sejak April 2019. “Kini kami siapkan pertunjukan gajah menggambar, foto dengan gajah, memberi makan, atau mandi dengan gajah.”

 

Candi Borobudur, situs bersejarah yang dinobatkan sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Machmud Asvan, dokter hewan yang menangani gajah di Borobudur berpendapat, menghentikan sama sekali aktivitas fisik gajah tidak tepat. Perlu alternatif. Terkait gajah dirantai, dia menjelaskan, itu terpaksa dilakukan karena dua gajah jantan yang ada di Borobudur jika disatukan akan saling serang.

“Gajah jantan ada dua, memang harus diikat, tapi tidak seperti diborgol. Kami pernah dapat protes juga dari turis asing kenapa tidak dilepas. Jika berkelahi, salah satu gajah bisa mati.”

Tentang pemakaian hook atau gancu, Machmud memastikan tidak digunakan, hanya dibawa mahout. ”Dipakai kalau mendesak. Misalnya pas lebaran kemarin, ada petasan, gajah kaget, lari.”

Hery Wijianto, rekannya sesama dokter hewan mengatakan, gagasan membuat kolam untuk gajah merupakan ide bagus. “Mereka suka air, bisa mandi di kolam. Salah satu atraksi yang dinikmati pengunjung. Ini sekalian olahraga untuk gajah,” ujarnya.

Joko Tirtodiprojo, Direktur Kebun Binatang Gembira Loka, berpendapat, memperlakukan satwa untuk patuh pada perintah manusia bisa dilakukan tanpa harus menyakiti.

“Dulu, pelatihan memakai framing negatif, kini positif. Misalnya, agar mau ditimbang, bisa dilatih dengan memberikan makanan. Lembaga konservasi mestinya punya standar etika dan kesejahteraan satwa. Kalau bangunan fisik bagus tapi satwa merana buat apa,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version