- Kasasi Pemerintah Indonesia, dari Presiden Joko Widodo dan beberapa menteri, soal kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah ditolak Mahkamah Agung. Mahkamah Agung senada dengan keputusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di Kalteng.
- Gugatan warga sebenarnya, berisi tuntutan-tuntutan perbaikan tata kelola dengan meminta pemerintah membuat berbagai aturan yang sebenarnya sudah diamanatkan dalam Undang-undang.
- Pasca karhutla 2015, pemerintah memang lakukan berbagai langkah, seperti pembentukan Badan Restorasi Gambut. Masyarakat sipil menilai, langkah itu belum cukup karena terbukti di lapangan masih terjadi kebakaran meskipun tak separah 2015.
- Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyatakan, era Joko Widodo, justru perbaikan mulai dilakukan. Baru awal memimpin negeri, karhutla parah terjadi, dan merupakan peristiwa yang berulang puluhan tahun. Pembenahan tata kelola mulai jalan dengan keluar berbagai aturan dan kebijakan.
“Tuntutan kita minta sebenarnya amanat Undang-undang. Seharusnya, tak ada lagi bahasa presiden PK (peninjauan kembali-red). Kenapa? Karena ini harus tetap dieksekusi. Ada atau tidak ada gugatan hukum warga, pemerintah harus penuni. Ini mandat UU, harus tetap eksekusi,” kata Dimas Novian Hartono, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng.
Dimas merespon putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi Presiden Joko Widodo dan para menteri terkait gugatan peristiwa kebakaran hutan dan lahan pada 2015 di Kalimantan Tengah. Putusan perkara dengan Nomor Register 3555 tahun 2018 ini menguatkan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Palangkaraya.
Dia menekankan, pemerintah harus menjalankan mandat UU, antara lain, hal-hal yang warga Kalteng, ajukan dalam gugatan ke pengadilan.
Baca juga: Warga Kalteng Menang Gugat Presiden, Berikut Poin-Poin Putusan Pengadilan
Cerita soal gugatan warga (citizen law suit) ini bermula dari peristiwa kebakaran hutan dan lahan di Kalteng pada 2015. Beberapa warga, antara lain Arie Rompas, Kartika, Fathurrohman, Afandi, Mariaty dan almarhum Nordin (kala itu Direktur Eksekutif Save Our Borneo), mengajukan gugatan pada 16 Agustus 2016.
Adapun pihak tergugat, seperti, Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Kesehatan, Gubernur dan DPRD Kalteng.
Baca juga: Pengadilan Tinggi Kalteng Menangkan Gugatan Warga atas Kasus Kabakaran Hutan dan Lahan
Tuntutan warga ini, antara lain, agar pemerintah segera menerbitkan peraturan pelaksana UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, macam, peraturan mengenai tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, tata cara penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, dan baku mutu lingkungan.
Lalu, peraturan mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup berkaitan dengan karhutla, instrumen ekonomi lingkungan hidup, dan analisis risiko lingkungan hidup. Juga, tata cara penanggulangan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, maupun tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup. Selain itu, para penggugat meminta pemerintah meminta maaf kepada masyarakat Kalteng di media cetak.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Kalteng Gugat Kelalaian Pemerintah atasi Kebakaran Hutan
Pada 22 Maret 2017, Pengadilan Negeri Palangkaraya, dalam putusan Nomor 118/2016, mengabulkan gugatan warga sebagian. Hal yang tak dikabulkan ialah desakan agar pemerintah meminta maaf terbuka. Yang lain, dikabulkan.
Atas putusan itu, pemerintah sebagai tergugat mengajukan banding. Pengadilan Tinggi Kalteng pada September 2017, dengan Nomor 36/2017, membatalkan banding para tergugat.
Masih tak terima putusan Pengadilan Tinggi Kalteng, pemerintah lantas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Lagi-lagi, upaya kasasi ini akhirnya ditolak pada Selasa (16/7/19) dengan alasan, kasasi yang diajukan pemohon tak dapat dibenarkan.
“Kami apresiasi putusan itu. Karena apa yang disampaikan Mahkamah Agung bahwa memang itu gugatan kita layak dimenangkan. Kasasi yang diajukan pemerintah layak ditolak,” kata Arie Rompas, penggugat, kala itu Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, kini di Greenpeace Indonesia, saat dihubungi Mongabay, Sabtu (20/7/19).
Putusan Mahkamah Agung, menunjukkan upaya-upaya hukum para penggugat sudah memenuhi rasa kepastian untuk tak terjadi lagi karhutla terutama di Kalteng.
“Kami berharap, putusan itu segera eksekusi. Kan sekarang ini kebakaran hutan dan lahan masih terjadi, belum ada upaya-upaya optimal. Putusan ini seharusnya bisa memperkuat upaya-upaya pemerintah untuk perbaikan-perbaikan dalam konteks penanggulangan kebakaran hutan dan lahan,” katanya.
Soal langkah Pengajuan Kembali (PK) pemerintah, kata Rio, sapaan akrabnya, merupakan hak mereka. “Seharusnya, kalau mereka fokus pada upaya-upaya untuk eksekusi putusan MA ini, itu akan memberikan dampak lebih baik daripada coba upaya hukum lain, misal, PK,” katanya, seraya bilang, putusan MA sudah memperjelas kalau judisfaksi di pengadilan negeri atau pengadilan tinggi. “Kalau PK, apalagi yang mau ditunjukkan dengan bukti-bukti barunya?”
Yang dituntut masyarakat, kata Rio, sebenarnya tanpa ada gugatan hukum juga seharusnya sudah dilakukan pemerintah. Tak ada tuntutan materi kepada pemerintah, hanya hal-hal yang sebenarnya sudah wajib sesuai Undang-undang.
“Substansinya, kami mau menggunakan pengadilan untuk meminta mereka menjalankan fungsi terkait Undang-undang yang ada.”
Senada dengan Rio, Safrudin Mahendra, Direktur Eksekutif Save Our Borneo (SOB) mengatakan, putusan Mahkamah Agung ini patut disyukuri dan merupakan kemenangan masyarakat Kalteng.
Seharusnya, pemerintah tak perlu lagi ada langkah-langkah hukum lain seperti Peninjauan Kembali.
“Karena toh, semua poin-pon dalam gugatan itu bukan hal yang merugikan mereka. Ini sebenarnya untuk memperbaiki tata kelola kehutanan.”
Dia menyayangkan, kalau pemerintah ajukan PK. Seharusnya, pemerintah memang memperbaiki tata kelola kehutanan dan penanggulangan bencana kebakaran, bersama-sama masyarakat, bukan sebaliknya.
Tuntutan masyarakat itu, kata Udin, tak aneh-aneh. Hanya meminta penyusunan peraturan-peraturan yang seharusnya memang dikerjakan pemerintah. “Tidak ada merugikan pemerintah. Justru, seandainya tuntutan dipenuhi pemerintah, nama baik mereka akan lebih baik di mata masyarakat.”
Kinerja pemerintah dalam penanggulangan kebakaran terutama di Kalteng, kata Udin, melalui pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG). Kalau melihat permasalahan kebakaran 2015, paling banyak terbakar memang di lahan gambut.
Meski begitu, katanya, upaya-upaya perbaikan dan restorasi gambut BRG, masih masih setengah-setengah alias belum optimal.
“BRG belum bisa mengindentifikasi lokasi-lokasi yang terjadi penurunan kualitas lingkungan. Sangat rentan bencana kebakaran. Masih banyak lokasi-lokasi belum tersentuh upaya restorasi mereka. Ini dibuktikan setiap tahun, terus terjadi kebakaran. Walaupun memang intensitas tak sebesar 2015,” katanya.
Selama 2019, kata Udin, Kalteng, sudah banyak titik api dan lahan terbakar mencapai 400 hektar. Sebagian besar di lahan kelola masyarakat, ada juga di sekitar area perusahaan sawit.
“Juli ini paling banyak di Palangkaraya dan Kotawaringin Timur. Kebanyakan di lahan gambut. Ini menunjukkan langkah belum optimal, karena masih banyak kebakaran,” katanya.
Tim pemadam api pun, katanya, kesulitan akses air walau sudah ada pembangunan sumur bor. Dia bilang, belum semua wilayah kritis teridentifikasi BRG. “Seharusnya intervensi oleh BRG. Memang tak intervensi. Pembuatan sekat kanal, sumur bor tidak dilakukan di lokasi-lokasi itu.”
Era Jokowi mulai perbaikan
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam keterangan pers yang diterima Mongabay mengatakan, gugatan dilandasi kejadian karhutla 2015. Kejadian yang menghanguskan sekitar 2,6 juta hektar lahan dan hutan itu, terjadi kurang dari setahun Presiden Jokowi menjabat. Karhutla sebelumnya, sudah rutin masif selama hampir 20 tahun.
“Waktu baru menjabat, presiden dan kita semua sebenarnya sudah mengikuti gerak titik api dengan turun ke lapangan. Sayangnya, tak tertolong, titik api sudah membesar pada 2015,” katanya.
“Karena baru menjabat, tentu kami semua harus pelajari penyebabnya, ada apa nih begini? Kenapa? Di mana letak salahnya? Ternyata banyak yang salah-salah dari yang dulu. Pak Jokowi justru membenahi yang salah-salah itu,” kata Siti.
Dia bilang, karhutla ternyata persoalan berlapis di tingkat tapak. Mulai dari regulasi lemah, sampai oknum masyarakat hingga korporasi yang sengaja membakar atau lalai menjaga lahan mereka.
“Ada konsesi buka lahan pakai kontraktor dengan menyuruh rakyat untuk bakar, setelah itu mereka lari. Itu memang terjadi dan terus terjadi berulang.”
Kalau dulu, kata Siti, penegakan hukum lemah sekali, tata kelola lahan kacau, ada korporasi besar tetapi tak punya peralatan pemadaman, penetapan status lamban karena kepemimpinan di daerah lemah. Juga, alih fungsi lahan bermasalah, izin tak sesuai peruntukan, dan banyak sekali masalah lain.
“Jadi, saat kejadian karhutla 2015, memang luar biasa kita menabung ilmu masalah. Instruksi Presiden Jokowi setelah itu jelas, perbaiki, benahi, jangan ada karhutla lagi. Apalagi, sampai terjadi asap lintas batas ke negara tetangga,” katanya.
Siti bilang, dalam waktu relatif singkat pasca karhutla 2015, di bawah instruksi Presiden Jokowi, keluar berbagai kebijakan dan langkah koreksi besar-besaran untuk pengendalian karhutla. Dia sebutkan, keluar Instruksi Presiden Nomor 11/2015 tentang Peningkatan Pengendalian Karhutla, Inpres 8/2018 tentang Moratorium Izin Sawit, PP 57/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, hingga pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG).
Di KLHK, keluar kebijakan krusial seperti Peraturan Menteri LHK Nomor 32/2016 tentang Pengendalian Karhutla, membenahi tata kelola gambut dengan baik dan berkelanjutan melalui pengawasan izin, penanganan dini melalui status kesiagaan dan darurat karhutla, dan berbagai kebijakan teknis lain.
“Jadi, paradigma menangani karhutla berubah total. Kalo dulu, api sudah besar saja belum tentu pemda ngapa-ngapain. Pemerintah pusat juga tidak bisa bantu karena harus menunggu status dulu. Harus menunggu api besar dulu baru dipadamin, itu yang menyebabkan bencana berulang-ulang. Kalau sekarang, kita antisipasi dari hulu hingga ke hilir,” katanya.
Siti bilang, terjadi perubahan paradigma dari penanggulangan ke pengendalian. “Kebijakan melibatkan banyak stakeholder, termasuk para pemilik izin konsesi. Semua berubah total di bawah pengawasan penuh pemerintah.”
Dalam kurun 2015-2018, sekitar 550 kasus dibawa ke pengadilan baik melalui penegakan hukum pidana maupun perdata. Sebanyak, 500 perusahaan kena sanksi administratif terkait pelanggaran, bahkan ada yang izin dicabut. Untuk pengamanan kawasan hutan dan sumberdaya kehutanan, katanya, lebih dari 713 operasi pengamanan dilakukan melibatkan KLHK, kepolisian dan TNI.
“Kasus karhutla yang berhasil dimenangkan mencapai Rp18 triliun, menjadi nilai terbesar sepanjang sejarah tegaknya hukum lingkungan pasca karhutla 2015.”
Dia bilang, penegakan hukum sangat tidak mudah. “Kita sampai berkali-kali digugat balik, saksi ahli juga sampai digugat, tapi kita tidak gentar. Penegakan hukum ini penting untuk memberikan efek jera, agar tak ada lagi yang berani main-main dengan aturan pencegahan karhutla berulang,” kata Siti.
Keterangan foto utama: Kabut asap yang menyelimuti Palangkaraya, Kalteng, pada 2015. Hingga kini, asap tak berlalu, kualitas udara masih berbahaya. Kapankah derita warga dampak asap ini usai? Foto: Jenito/ Mongabay Indonesia