Mongabay.co.id

Vonis Ringan Terdakwa Kasus Paruh Bengkok di Medan, Perburuan Marak di Maluku Utara

Sebanyak 22 kakatua putih sebelum dilepas oleh BKSDA di Tanah Putih, Jailolo, Halmahera Barat, pada 2018. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan, memvonis enam bulan penjara denda Rp1 juta kepada Adil Aulia, yang terlibat penguasaan puluhan burung paruh bengkok dilindungi endemik Maluku dan Papua, baru-baru ini. Sementara di Maluku Utara, salah satu ‘rumah’ paruh bengkok, perburuan burung jenis ini makin marak.

Vonis hakim di bawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Tinggi Sumatera, Fransika Panggabean, yang menuntut delapan bulan denda Rp1 juta subsider satu bulan kurungan.

Baca juga: Petugas Sita Puluhan Paruh Bengkok Selundupan Lewat Laut

Dalam amar putusan, majelis hakim diketuai Mian Munthe menyatakan, Adil terbukti sah melanggar UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam, yaitu tindak pidana menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa dilindungi dalam keadaan hidup secara bersama-sama.

“Mengadili, memutuskan, menjatuhkan hukuman pidana penjara enam bulan, denda Rp1 juta subsider satu bulan kurungan. Terdakwa tetap ditahan, ” kata Mian saat membacakan amar putusan.

Majelis hakim juga memerintahkan burung-burung yang dimiliki Adil, disita negara dan diserahkan ke Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut), untuk kemudian dilepasliarkan ke habitat aslinya.

Adapun burung-burung dilindungi yang dimiliki Adil bersama Roby– masuk dalam daftar pencarian orang—ada 16, terdiri dari lima kakatua raja, lima kesturi raja atau nuri kabare, dan masing-masing satu rangkong papan atau enggang papan, kakatua Maluku, kakatua jambul kuning, serta tiga juvenil kasuari klambir ganda.

 

 

Ode Kalasnikov, Manager Wildlife Protection Unit Yayasan International Animal Rescue (IAR) Indonesia menyatakan, hasil analisis mereka, ketika jaksa menuntut rendah kasus kejahatan satwa liar dilindungi, majelis hakim juga memberikan hukuman di bawah tuntutan jaksa. Hanya ada sedikit kasus, katanya, ketika dituntut rendah, hakim memberikan hukuman tinggi.

Dari sistem informasi penelusuran perkara seluruh pengadilan negeri di Indonesia, katanya, ada 491 perkara, yang bisa dianalisa 441 kasus.

Dari kajian itu, rata-rata tuntutan diajukan jaksa penuntut umum paling tinggi hanya 2,5 tahun, ada di Sumatera Utara. Di wilayah hukum lain, jauh lebih rendah.

“Ironis sekali. Harapan-harapan keadilan bisa didapatkan dan ada efek jera bagi pelaku, sama sekali tidak ditemukan, ” katanya, ketika ke Medan.

Dari penelusuran mereka, ada 57 perkara, mayoritas harimau Sumatera, pelaku hanya dituntut kurang tahun penjara. “Hanya ada beberapa dituntut lebih tiga tahun, di Pengadilan Bengkulu.”

Mongabay mencoba mengumpulkan data-data perkara dari penyidikan kepolisian, masuk ke tuntutan di JPU, hingga putusan pengadilan.

Data dari Bareskrim Polri yang diberikan Sugeng Irianto, Kanit V Subdit I Direktorat Tindak Pidana Tertentu Mabes Polri, menyebutkan, penanganan kasus satwa sejak 2015-2019, ada 249 kasus ditangani polri. Jumlah tersangka 237 orang, ada 14 warga negara asing dari Tiongkok, Jepang, Kuwait, Jerman, India dan Rusia.

Barang bukti satwa hidup, seperti elang, kukang, kijang, landak, trenggiling, buaya muara, lutung Jawa, owa Jawa, siamang, orangutan, cenderawasih. Juga, kakatua raja, ular sanca batik, kura-kura moncong babi dan penyu hijau, kadal monitor, ular condro, dan beruang madu.

Ada juga satwa opsetan, seperti harimau, kancil, macan tutul, beruang, tapir, kepala rusa, tanduk rusa, kepala harimau dan cenderawasih. Barang bukti, suvenir ada pipa rokok, tanduk rusa, pipa rokok gading gajah, gelang gading, taring beruang, liontin gading, liontin taring harimau, liontin taring buaya, dan gelang kerapas penyu.

 

Vonis enam bulan kepada Adil, yang memelihara, puluhan paruh bengkok. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Data dari Kejaksaan Agung, ada 69 perkara ditangani Satuan Tugas Sumberdaya Alam-Lintas Negara pada Jampidum Kejagung sejak 2014-2018. Rianciannya, 2014 ada 12 perkara, pada 2015 sebanyak 22 kasus. Tahun 2016, naik jadi 25 perkara, dan 2017, turun 10 kasus.

Data Yasan IAR Indonesia, tercatat data perkara tindak pidana satwa liar se-Indonesia berdasarkan wilayah hukum dari 2011-2018, ada 441 kasus dengan 529 tersangka.

Berdasarkan tuntutan penjara, di Aceh, Sumut, Sumatera Barat dan Riau, ditemukan tuntutan rata-rata 36-48 bulan penjara, dengan putusan antara 24-48 bulan.

Dia pun berharap, aparat lakukan banyak pintu hukum dalam menjerat pelaku kejahatan satwa agar ada efek jera.

“Jika tidak, yang terjadi perburuan perdagangan hingga ke tangan akhir, pemelihara atau pengguna akan terus terjadi.”

 

Perburuan masih marak di Malut

Sementara di Maluku Utara, perburuan dan perdagangan paruh bengkok, makin marak. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku, mengungkap 81 kasus perburuan dan perdagangan burung endemik wilayah ini.

Dari 2018-Juli 2019, ada 81 kasus, 29 hasil operasi tangkap tangan di pengedar dan pemburu, 52 kasus temuan dan penyerahan lansung oleh masyarakat secara sukarela.

Pada 2018, ada 1.412 burung berbagai jenis disita. “Total 1.412 burung berbagai jenis, belum (termasuk) kulit ular, kulit buaya, dan tanduk rusa,” kata Mukhtar Amin Ahmadi, Kepala BKSDA Maluku, saat ditemui di Ternate, baru-baru ini.

Dia memperkirakan, nilai sitaan sekitar Rp1,7 miliar. Burung-burung itu, katanya, dipesan khusus dari kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, dan Medan, bahkan Filipina dan Hong Kong.

Mukhtar bilang, BKSDA terus berikan sosialisasi dan pembinaan terhadap masyarakat lokal, termasuk pelaku perburuan burung. Bagi para pemodal besar, yang mendanai perburuan ini, diproses dan vonis hukum.

BKSDA Maluku juga mengatakan, soal jalur penyelundupan, yang terdiri dari jalur laut dan udara. Modus operandi para pelaku pun berbeda-beda. “Kita coba terus bekerjasama dengan informan yeng betul valid, (untuk) terus menginformasikan,” katanya.

Abas Hurasan, Kepala Seksi BKSDA Wilayah I Maluku Utara mengatakan, hingga Juli 2019, terungkap tiga kasus.

“Dua di Halmahera Utara, satu Halmahera Barat.”

Kasus itu, katanya, sudah ditangani kepolisian dengan barang bukti 150 paruh bengkok, seperti kakatua putih, kasturi Ternate, nuri kalung ungu, dan perkici kepala merah.

Ada juga 60 burung berada di kandang darurat milik kantor Seksi Konservasi Wilayah 1, Kelurahan Akehuda, Ternate, yang ditangani dokter hewan. Sisanya, telah dilepasliarkan pasca penangkapan.

 

Burung endemik Maluku Utara, yang ditangkap warga di Halmahera Timur, hasil pesanan orang luar. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia

 

Kekurangan petugas

BKSDA Maluku membawahi dua wilayah kerja, yakni, Maluku dan Maluku Utara. Mereka mengawasi 29 kawasan terbagi dalam tiga wilayah konservasi. Muhtar bilang, mereka harus kerja ekstra mengawasi peredaran dan penyelundupan satwa liar dilindungi.

BKSDA, katanya, hanya punya 36 polisi kehutanan yang harus mengawasi 69 titik pintu keluar penyelundupan satwa. “Ada 24 bandara, 45 pelabuhan, di Maluku dan Maluku Utara. Tidak semua ada petugas. Jadi titik-titik pintu keluar belum terjaga dengan sumber daya manusia yang ada,” katanya.

Meski demikian, kata Muhtar, BKSDA sudah bekerjasama dengan berbagai stakeholder. Mereka telah rapat koordinasi peningkatan komitmen dan bersama memerangi perburuan dan perdagangan tumbuhan dan satwa liar di Maluku dan Maluku Utara.

 

Penyelamatan burung endemik Malut

Perburuan dan perdangangan berbagai jenis burung endemik Malut, masih marak. Selain bekerja sama dengan berbagai pihak, pemerintah juga membuat suaka paruh bengkok di Malut. Tujuannya, untuk upaya konservasi dan rehabilitasi, hingga ada pelestarian burung endemik Malut.

Muhammad Wahyu, Kepala Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL) mengatakan, guna menjaga kelestatian burung endemik malut, , dibangunlah Suaka Paruh Bengkok sebagai pusat penyelamatan, konsevasi, dan edukasi.

“Burung hasil tangkapan masuk ke sini, rehabilitasi, setelah itu, jika sudah bisa dilepasliarkan, dilepas. Yang belum bisa dilepas, jadi edukasi untuk masyarakat,” katanya, belum lama ini.

Suaka Paruh Bengkok dibangun sejak 2016, pertama di Indonesia, dengan luas tiga hektar dilengkapi fasilitas berupa kandang karantina, rehabilitasi, dan klinik satwa. Ada juga kandang habituasi atau kandang rilis, maupun pusat informasi.

Untuk tenaga pengelola ada 10 pegawai, terdiri dari dokter hewan dan penjaga satwa.

Raduan, Kepala Seksi Wilayah 1 TNAL mengatakan, suaka ini punya lebih 100 burung yang dapat dilihat masyarakat. Dia meminta, bagi warga yang masih memelihara atau menangkap paruh bengkok, bisa menyerahkan ke suara secara sukarela.

 

Keterangan foto utama:  Sebanyak 22 kakatua putih sebelum dilepas oleh BKSDA di Tanah Putih, Jailolo, Halmahera Barat, pada 2018. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia

 

Pengunjung terlihat melintasi jembatan di Suaka Paruh Bengkok. Foto: Gustam Jambu

 

Exit mobile version