- Diperkirakan ada potensi kerugian negara paling tidak sekitar Rp137 miliar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor perikanan tangkap.
- Jumlah tersebut dari dari 2.183 unit izin kapal perikanan dibawah 30 GT yang izinnya telah berakhir dan belum memperpanjang izin sampai 22 Juli 2019, serta diduga sebagian besar dari kapal tersebut masih melaut
- KKP dan Kemenhub telah membuka proses perizinan dengan sistem online (e-service) untuk mempermudah pengusaha perikanan memproses perizinan kapal
- Baru dirilisnya data perizinan kapal ini menandakan KKP belum memprioritaskan urusan perizinan untuk diselesaikan dan terkesan Menteri Kelautan dan Perikanan mencari panggung di masa akhir jabatannya.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memperkirakan ada potensi kerugian negara paling tidak sekitar Rp137 miliar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor perikanan tangkap.
Jumlah itu didapatkan dari adanya 2.183 unit izin kapal perikanan dibawah 30 GT yang telah berakhir masa berlakunya namun belum melakukan perpanjangan izin penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan di Indonesia sampai 22 Juli 2019.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Zulficar Mochtar menduga bahwa sebagian besar dari kapal tersebut masih melaut dengan sejumlah modus yang perlu diantisipasi. “Padahal Kalau mereka melaut tanpa izin atau menggunakan izin kapal lain atau pun surat keterangan, tentu melanggar hukum sehingga perlu kita benahi,” katanya
Jika kapal-kapal tersebut melaut tanpa izin maka dapat digolongkan sebagai praktik perikanan ilegal (IUU fishing) yang juga menyebabkan potensi kehilangan pendapatan yang besar bagi negara.
“Bayangkan jika 2.183 unit kapal perikanan yang izinnya sudah expired tersebut tetap melaut, maka akan berpotensi menimbulkan kerugian Negara dari total 156.050 GT setara dengan kehilangan pendapatan negara baru dari PNBP saja di atas Rp137 miliar. Belum termasuk perhitungan unreported total produksi, pajak perikanan, dan lainnya,” kata Zulfikar di Jakarta, Rabu (24/7/2019).
baca : Saat Presiden Perintahkan Susi Persingkat Perizinan Perikanan Demi Nelayan
Dia merinci 2.183 unit izin kapal itu terdiri dari 410 unit kapal yang izinnya sudah berakhir antara 1-6 bulan, 496 unit kapal masa berlakunya berakhir 6-12 bulan, 383 unit kapal izinnya berakhir 12-24 bulan, dan 894 unit kapal izinnya telah kadaluarasa lebih dari 2 tahun.
Sesuai perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.30/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap, kata Zulfikar, pelaku usaha tidak perlu menunggu izin habis untuk melakukan permohonan perpanjangan. Mereka bisa mengajukan permohonan perpanjangan izin sejak 3 bulan sebelum surat izin penangkapan ikan atau surat izin kapal pengangkut ikan (SIPI/SIKPI) berakhir, asalkan di tahun kedua harus tetap melakukan cek fisik.
“Jadi, bagi semua pemilik kapal yang belum memperpanjang izin ini wajib melaporkan posisi kapal dan statusnya. Dan, bagi pemilik kapal yang izinnya sudah expired kurang dari 2 tahun agar segera melakukan proses perizinan. Saya kira ini akan kita respon dan tim di KKP siap untuk membantu hal tersebut,” ucap Zulficar.
Proses perizinan kapal sendiri saat ini dipermudah dengan sistem e-service perikanan tangkap untuk dokumen SIPI/SIKPI. Secara online, proses dan alur dokumen perizinan dapat terpantau real time di website perizinan KKP sehingga pelaku usaha dapat mengaksesnya dimana pun dan kapan pun.
“Aplikasi ini membantu para pelaku usaha untuk mengakses perizinan perikanan tangkap. Semuanya bisa dipantau secara online,” jelas Zulficar.
baca juga : Sistem Perizinan Perikanan Tangkap Dibuat Lebih Simpel, Seperti Apa?
Saat ini, jumlah izin kapal perikanan yang perizinannya sudah diterbitkan sebanyak 5.130 dokumen (SIPI/SIKPI). Sementara dalam proses pencetakan blangko sebanyak 45 dokumen, dan dalam proses pelunasan PHP sebanyak 70 dokumen, perbaikan LKU/LKP sebanyak 15 dokumen, serta dalam proses pendok dan verfikasi sebanyak 123 dokumen.
“Singkatnya, hampir seluruh izin yang diajukan ke KKP sudah tuntas diproses. Jadi, proses perizinan SIPI/SIKPI sudah sangat signifikan,” jelasnya.
perlu dibaca : KKP dan Kemhub Sinergikan Layanan Perizinan Nelayan Kecil, Bagaimana Implementasinya?
Perbaikan Perizinan
Zulficar juga menjelaskan KKP tidak pernah mempersulit proses perizinan, tetapi ditemukan cukup banyak modus pelanggaran perizinan. Seperti teridentifikasi 10.000 kasus praktek mark down (ukuran tonase) kapal.
“Modus ini biasanya digunakan untuk mendapatkan akses BBM bersubsidi, tidak melaporkan produksi dengan benar dan penyelewangan jumlah pajak. Di sisi lainnya, ini mengancam tata kelola perikanan.” ujar Zulficar.
Oleh karena itu, KKP lebih berhati-hati mereview proses izin tersebut. Cara ini menjadi upaya untuk memperbaiki tata kelola perizinan dari waktu ke waktu. “Cukup banyak hal-hal yang kita lakukan di KKP, bekerjasama dengan banyak pihak terkait seperti Dirjen PSDKP dan Satgas 115 untuk membantu membenahi tata kelola perikanan,” ujarnya.
Contoh lainnya adalah KKP menemukan selisih kenaikan produksi yang dilaporkan sekitar 1,2 juta ton ikan dari LKP yang diteliti. “Jadi dulunya mungkin mereka menangkap 300 atau 500 ton, yang dilaporkan 30 ton. Ada juga yang nangkap 1.000 ton, laporannya hanya di bawah 50 atau 100 ton. Nah, ini kita verifikasi semua hingga akhirnya terjadi peningkatan laporan itu,” ujar Zulficar.
Dari selisih laporan produksi sebesar 1,2 juta ton ikan, bila diasumsikan dengan harga rata-rata ikan sebesar Rp30.000, maka ada sekitar Rp36 triliun yang selama ini tidak dilaporkan dan mengurangi peningkatan potensi pajak yang signifikan bagi negara.
menarik dibaca : Baru 0,97 Persen Perizinan Kapal yang Disetujui KKP, Kenapa Demikian?
Pengusaha Babak Belur
Direktur Pusat Kemaritiman untuk Kemanusiaan Abdul Halim melihat KKP yang baru merilis daftar dan jumlah perizinan kapal, menandakan hal itu belum menjadi prioritas kerjanya padahal moratorium serta analisa dan evaluasi (anev) perizinan kapal sejak 2014.
“Perizinan kapal belum belum jadi prioritas kerja KKP. Masalah itu baru direspon KKP setelah ada keluhan dari nelayan dan pelaku industri perikanan,” kata Halim yang dihubungi Kamis (25/7/2019).
“Penyelenggaraan perizinan terpadu (oleh KKP dan Kementerian Perhubungan) dilakukan sepanjang pengajuan kuota 30 kapal agar KKP dan Kemenhub turun ke lapanagan. Proses perizinan ini pernah dilakukan di Cirebon dan beberapa wilayah di Jawa,” jelasnya.
Halim mencatat paling tidak telah 5 kali dilakukan proses anev sejak Oktober 2014, dan laporan pertamanya baru dilansir pada 2017. Anev perizinan kapal dilakukan KKP untuk menghitung jumlah armada kapal perikanan tangkap, pengawasannya, perhitungan pajak, evaluasi perizinan perikanan.
“Kapasitas mereka (KKP) menyiapkan sistem pelayanan periziinan yang lebih baik diklaim dengan e-service, baru siap belakangan (tahun 2019), kemudian baru buka datanya,” katanya.
Baru dibukanya data jumlah perizinan kapal ini, memberi kesan Menteri Kelautan dan Perikanan mencari panggung. “Ini cukup kurang ajar (baru dibukanya data perizinan) karena disampaikan dalam masa jabatan akan berakhir. Terkesan menteri mendramatisir dan butuh panggung baru, dengan sesuatu yang bisa di-blow up sehingga yang salah dari sisi pengusaha perikanan,” lanjut Halim.
Meski ada kekeliruan perizinan dari pengusaha perikanan dan pemilik kapal, tetapi Halim melihat ada beban kesalahan pemerintah dengan proses perizinan yang berbelit, lama dan tidak terbuka peluang korupsi dan nepotisme dalam pelaksanaaan.
“Sejak (moratorium perizinan kapal) dilansir, pengusaha perikanan babak belur, usaha tidak jalan, hutang kadung menumpuk. Belum ada perbaikan proses perizinan. Faktor ini penyebab kapal perikanan tangkap izinnya kadaluarsa yang diklaim KKP lebih dari 2 tahun,” tambahnya.
Halim menyarankan agar para pelaku perikanan dan pemilik kapal membuka diri untuk membantah pernyataan Dirjen DJPT KKP. “Itu sah-sah saja sepanjang KKP fair mengakui kesalahan dan memperbaiki. Jangan sampai sistem like dan dislike.Kedua belah pihak terbuka, duduk bersama saling melengkapi dan demi sustainable fishiries yang berkelanjutan,” tambahnya.