Mongabay.co.id

Kebakaran Hutan Bisa Memicu Munculnya Gurun, Bagaimana Antisipasinya?

Gunung Slamet terlihat dari wilayah Brebes beberapa waktu lalu. Gunung Slamet memiliki potensi panas bumi yang kini akan dikembangkan. Foto : L Darmawan

 

Ternyata hutan di pegunungan bisa saja berubah menjadi gurun. Proses itu dapat terjadi, salah satunya dipicu kebakaran. Kalau kebakaran hutan terus terjadi, khususnya di kawasan hutan pegunungan, maka tumbuhan yang terbentuk adalah semak belukar. Dengan munculnya semak juga semakin memicu kebakaran. Karena semak-semak mudah terbakar dan jika terus terjadi, itulah yang bakal memunculkan gurun di gunung. Jadi, kebakaran hutan memang dampaknya luar biasa.

Hal itu disampaikan oleh Tukirin Partomihardjo, seorang biolog yang juga mendapat sematan sebagai ‘King of Krakatoa’ saat menjadi pembicara pada  Seminar “Kebakaran Hutan : Evaluasi, Rehabilitasi dan Implikasi Kebijakan sesuai Peraturan Pemerintah” yang diselenggarakan oleh  Himpunan Mahasiswa Bio-Explorer Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah, pada Sabtu (20/7/2019).

“Kalau terjadi kebakaran pada hutan dipterokarpa (suku meranti-merantian atau Dipterocarpaceae, red) dan mencapai klimaks apinya, maka bakal terbentuk padang rumput atau savana. Jika rumput itu dibiarkan terus-menerus terbakar tanpa ada revegetasi, maka dapat memunculkan gurun,” ungkap Tukirin yang kini menjabat Ketua Forum Pohon Langka Indonesia (FPLI).

baca : Tukirin “King of Krakatoa” Partomihardjo yang Membanggakan Indonesia

 

Tukirin Partomihardjo (dua dari kiri) Ketua Forum Pohon Langka Indonesia (FPLI) dalam seminar tentang dampak kebakaran hutan yang diadakan Himpunan Mahasiswa Bio-Explorer Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jateng, Sabtu (20/7/2019). Foto : Bio-Explorer/Mongabay Indonesia

 

Tetapi sebetulnya, hutan tropis itu bagai kebun surga yang mustahil terbakar. Sebab, kalau secara alami, kebakaran hanya bisa muncul akibat terkena petir, gesekan kayu kering, letusan gunung api beserta lelehan lava dan abu panas serta singkapan batu bara. Namun, kebakaran juga dapat terjadi akibat ulah manusia. Contohnya ladang berpindah, membakar sisa pertanian, perambahan hutan dan lainnya.

Oleh karena itu, lanjut Tukirin, agar tidak memunculkan gurun pada daerah gunung, maka harus ada upaya untuk menjaga hutan pegunungan. “Paling utama adalah jangan sampai terjadi kebakaran. Di sisi lain mempercepat pertumbuhan vegetasi. Jenis tanaman yang dapat digunakan adalah dipterokarpa. Karena hanya dengan pohon, bisa berbagi oksigen dan menyimpan karbon. Pohon mampu menjaga keseimbangan lingkungan. Bahkan, jika sudah mati pun masih dapat bermanfaat. Hal yang perlu juga diperhatikan adalah adanya tumbuhan invasif semacam ilalang glagah, tembelekan dan tapak liman yang biasanya tidak sengaja terbawa oleh para pendaki,” jelas pensiunan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu.

baca juga : Kebakaran Hutan Jateng: Sebagian Api di Gunung Slamet Mulai Padam (Bagian I)

 

Tim Riset Mapala Bio-Explorer Fakulas Biologi Unsoed Purwokerto melakukan pemetaan pada lahan bekas kebakaran di hutan Gunung Slamet pada jalur pendakian Bambangan Purbalingga, Jateng, pada Mei 2019. Foto : Mapala Bio-Explorer Fabio Unsoed/Mongabay Indonesia

 

Tukirin mengatakan khusus untuk Gunung Slamet sebagai wilayah dengan curah hujan tertinggi Indonesia sebetulnya mustahil dikaitkan dengan kebakaran hutan yang massif.

“Hutan di Gunung Slamet merupakan hutan hujan tropis. Pada ketinggian 3.400 meter di atas permukaan laut (mdpl) sudah tidak ada pohon dan di Slamet tidak terbentuk wilayah alpin. Di pegunungan atas dengan ketinggian 1.800-2.500 mdpl, terdapat jenis pohon yang umum di antaranya adalah Primula prolifera, Paraseriantes lopantha, Ranunculus javanicus, Myriatis javanica. Dan yang menjadi endemik Gunung Slamet adalah Bulbophylum truncatum,” paparnya.

Meski demikian, beberapa kali kawasan di Gunung Slamet terutama di wilayah bagian atas pernah terjadi kebakaran. Dari catatan Mahasiswa Pecinta Alam Bio-Explorer, Fabio Unsoed Purwokerto, sejak beberapa tahun terakhir, telah terjadi kebakaran di sebagian wilayah Gunung Slamet.  Kebakaran terjadi di sejumlah wilayah seperti di kawasan puncak dari jalur Baturraden Banyumas, kemudian dari arah jalur Bambangan, Purbalingga dan Pemalang.

Bio-Explorer sendiri telah dua kali melakukan penelitian lahan pascakebakaran di Gunung Slamet, dan terakhir dilakukan pada Mei 2019 di tiga jalur pendakian yaitu jalur pendakian Baturraden, jalur pendakian Bambangan Purbalingga dan jalur pendakian Penakir, Pemalang.

Saat berbincang dengan Mongabay-Indonesia, salah satu anggota tim riset Bio-Explorer Iftah Sadjad Ahmadi mengungkapkan kalau kebakaran di kawasan Gunung Slamet telah berkali-kali terjadi.

“Dari jalur Bambangan, Purbalingga, misalnya, terjadi kebakaran pada tahun 1984 dan 2015. Kemudian di jalur Baturraden, Banyumas terjadi kebakaran pada 2015 lalu. Sedangkan di jalur Pemalang, terjadi kebakaran pada 2018 lalu pada ketinggian 2.400 mdpl. Nah, kami melakukan inventarisasi vegetasi apa yang tumbuh pascakebakaran. Ternyata yang tumbuh adalah kemlandingan gunung atau Paraseriantes lopantha,” jelasnya.

menarik dibaca : Begini Pesan Konservasi dari Lereng Timur Gunung Slamet

 

Tim riset Mapala Bio-Explorer Fakultas Biologi Unsoed melakukan pencatatan vegetasi yang tumbuh pada areal pascakebakaran di jalur pendakian Bambangan, Purbalingga, Jateng. Foto : Mapala Bio-Explorer Fabio Unsoed/Mongabay Indonesia

 

Kemunculkan kemlandingan gunung ternyata cukup masif dan menggantikan tanaman sebelumnya yakni cantigi dan edelweis. Meski kemlandingan gunung merupakan salah satu tumbuhan khas pegunungan, tetapi sifatnya cukup invasif. Sehingga tumbuhan lainnya seperti edelwies dan cantigi tidak tumbuh lagi.

Apalagi, kemlandingan gunung cukup banyak menyerap unsur hara.

“Kami khawatir dengan adanya kemlandingan gunung yang masif penyebarannya akan memicu kebakaran, karena tumbuhan itu potensial terbakar. Kalau terjadi kebakaran, maka dapat memicu munculnya proses penggurunan,” paparnya.

Karena itulah, Bio Explorer menyarankan kepada pemangku kebijakan untuk melakukan rehabilitasi dengan tumbuhan endemik Gunung Slamet. “Kami berharap ada campur tangan dari pihak terkait dalam melakukan rehabilitasi lahan pascakebakaran. Jangan sampai yang muncul adalah tanaman invasif yang justru nantinya menyingkirkan tumbuhan asli yang ada sebelumnya. Harus ada pengendalian, sehingga ada ruang bagi tanaman endemik untuk dapat bertumbuh,” kata Iftah.

Terkait hal itu, Tukirin juga menyarankan agar rehabilitasi hutan lindung menggunakan tanaman asli di wilayah pegunungan setempat. “Jangan sampai tanaman endemik atau asli wilayah setempat tergantikan oleh tanaman invasif. Kalau tidak ada pengendalian, tentu saja tumbuhan invasif bakal menggantikan tanaman asli wilayah tersebut,” tambahnya.

perlu dibaca : Mengoleksi Tumbuhan Pegunungan Jawa di Kebun Raya Baturraden

 

Pengamatan yang dilakukan anggota Tim Riset Mapala Bio-Explorer, Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto pada pada areal pascakebakaran di areal jalur pendakian Bambangan, Purbalingga, Jateng. Foto : Mapala Bio-Explorer Fabio Unsoed/Mongabay Indonesia

 

Sementara Wahyono Restanto dari Resort Konservasi, Seksi Konservsi wilayah II Pemalang, Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jateng, mengatakan pihaknya berusaha untuk menghindarkan kebakaran areal hutan.

“Salah satu yang dilakukan adalah penetapan siaga darurat lebih dini dan melibatkan masyarakat untuk mencegah kebakaran. Tetapi jika kebakaran tidak dapat dihindarkan, maka perlu ada penanganan pemadaman hingga pascakebakaran,” katanya.

Rehabilitasi kawasan menjadi penting untuk dilaksanakan. Rehabilitasi adalah dengan mengupayakan pemulihan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan serta lahan.

“Sehingga daya dukung, produktivitas dan perannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Yakni penyedia oksigen, penyerap karbon, penyedia materi tumbuhan  satawa yang bermanfaat bagi manusia, pengatur tata air, mencegah banjir dan longsor dan lainnya,” tambah Wahyono.

***

 

Keterangan foto utama : Gunung Slamet terlihat dari wilayah Brebes, Jateng, pada pertengahan 2016. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version