Mongabay.co.id

Tragedi Tumpahan Minyak Pertamina di Karawang, Horor bagi Manusia dan Lingkungan

Tumpahan minyak Pertamina, di Kerawang sudah sampai Kepulauan Seribu. Foto: Jatam

 

 

 

 

 

Tragedi lingkungan kembali terjadi pada 12 Juli 2019. Tumpahan minyak dan gelembung gas Pertamina menyebar di laut utara Jawa, di lokasi pengeboran lepas laut milik PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (ONWJ), Karawang, Jawa Barat. Bencana tumpahan minyak Pertamina, bukan kali pertama.

Hingga kini, dampak kebocoran terjadi di Karawang, meluas sampai Bekasi, bahkan sudah ke Kepulauan Seribu. Berdasarkan data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, ada sembilan desa yang dekat tumpahan minyak, yakni, Desa Camara, Kecamatan Cibuaya; Desa Sungai Buntu, Kecamatan Pedes; Desa Petok Mati, Kecamatan Cilebar.

Baca juga: Ternyata Teluk Balikpapan Sudah Sering Tercemar Minyak

Kemudian, Desa Sedari, Kecamatan Pusaka Jaya; Pantai Pakis, Kecamatan Batu Jaya; Desa Cimalaya; Pasir Putih, Kecamatan Cikalong; Ciparage, Kecamatan Tempuran dan Tambak Sumur, Kecamatan Tirtajaya.

MR Karliansyah, Direktur Jenderal Pengendalian dan Pencemaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, sejak Sabtu tim KLHK sudah di lapangan.

”Saat ini Pertamina masih fokus penghentian semburan dan pengendalian dampak pada masyarakat,” katanya.

KLHK, katanya, meminta Pertamina menutup kebocoran gas dan minyak yang keluar dengan cara memasang sumbatan semen atau gripwell agar kebocoran tidak merembet.

”Untuk menyumbat disemen itu dengan gripwell agak miring gitu ya. Ini butuh waktu pengangkutan dengan gripwell, kemudian memasang alatnya. Jadi, waktu diskusi kemarin mereka menyampaikan ada kemungkinan paling lambat taksiran paling jelek itu akhir Agustus, bisa tuntas,” katanya

Hingga Minggu (28/7/19), ada delapan desa terdampak cemaran minyak, dua desa di Kabupaten Bekasi dan enam desa di Kabupaten Karawang. Hingga kini, pembersihan masih berlangsung. ”Kami mengawal mereka untuk percepatan penghentian semburan dan pengendalian dampak kepada masyarakat,” katanya.

Baca juga: Tumpahan Minyak Pertamina di Teluk Balikpapan Cemari 7.000 Hektar Area

Tim KLHK pun telah survei ke titik kebocoran minyak dan sudah penanganan dengan penyedotan melalui teknik wellboom, kemudian diangkut ke wilayah lain.

“Tim KLHK bersama tim Pertamina mengambil sampel kualitas air laut, membantu memberi arahan bagaimana pendataan masyarakat pemilik keramba, tambak serta arahan pembersihan tumpahan minyak di pantai desa-desa yang terdampak,” katanya.

Pertamina hingga kini, telah memobilisasi 29 kapal, 3.500 meter oil boom offshore, 3.000 meter oil boom shoreline, dan 700 meter fishnet di pesisir pantai terdampak.

Pada 12 Juli 2019, pukul 01.30, muncul gelembung gas dan tumpahan minyak di sumur YYA-1 area ONWJ, pada saat reperforasi. Gelembung gas muncul di Anjungan YY dan Rig Ensco-67.

Kemunculan lapisan minyak (oilsheen) di permukaan laut sekitar gelembung gas terlihat pada 16 Juli 2019. Awal kemunculan gelembung gas diduga hanya terjadi anomali tekanan saat reaktivasi sumur.

Keesokan hari, 17 Juli 2019, tumpahan minyak terlihat di sekitar anjungan. Hingga 18 Juli, tumpahan minyak mencapai pantai arah barat.

Dharmawan H. Samsu, Direktur Hulu Pertamina mengatakan, meyetop sumber gas dan tumpahan minyak dengan mematikan sumur YYA-1, diperkirakan memerlukan waktu sekitar delapan minggu atau 10 minggu sejak dinyatakan kondisi darurat.

“Demi memaksimalkan penanganan sumur YYA-1, saat ini Pertamina melibatkan Boot & Coots, perusahaan dari US yang memiliki proven experience dalam kasus serupa dengan skala lebih besar, seperti di Gulf di Mexico,” kata Dharmawan.

 

Tumpahan minyak Pertamina yang mencemari pesisir Karawang, Jawa Barat. Foto: Jatam

 

Untuk mengendalikan kondisi lapangan, katanya, Pertamina telah membentuk incident management team (crisis team) di Jakarta dan Karawang. Tugasnya, untuk penanggulangan tumpahan minyak, penanganan gas dengan spray, pengeboran untuk mematikan sumur, serta penanganan di anjungan.

HIngga kini, Pertamina masih menginvestigasi guna mengungkap penyebab tragedi ini. Indikasi sementara menunjukkan, ada anomali tekanan pada anjungan yang menyebabkan gelembung gas muncul diikuti tumpahan minyak (oilspill).

Pertamina memastikan, potensi mata pencaharian masyarakat nelayan terdampak dengan membuka posko di Pantai Karawang. Posko ini bertugas sosialisasi kepada masyarakat, penanggulangan tumpahan di pantai bersama masyarakat, memberikan pelayanan kesehatan, serta berkoordinasi dengan stakeholder setempat.

Untuk penanganan dampak lingkungan karena tumpahan minyak yang terbawa arus ke pantai, Pertamina berupaya intensif dengan membersihkan pantai dengan cepat. Kemudian, mengangkut ke lokasi penampungan yang bersertifikat.

PHE ONWJ, juga berkomunikasi dan koordinasi intensif dengan SKK Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), KLHK, pemerintah daerah, Dinas Lingkungan Hidup. Juga TNI, kepolisian, Kementerian Perhubungan Ditjen Perhubungan Laut, KSOP, Kelautan dan Perikanan, Pushidros AL, dan instansi lain.

“Pertamina intensif melibatkan seluruh sumber daya termasuk kolaborasi dari eksternal yang memiliki kapabilitas menangani ini. Kami berterima kasih pada seluruh masyarakat sekitar yang turut berpartisipasi dan mendukung kelancaran upaya penanganan”.

 

Ancaman lingkungan, dan kesehatan warga

Ohiongyi Marino, Kepala Divisi Pesisir dan Maritim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menilai Pertamina lalai dalam memberikan informasi peringatan dini kepada masyarakat di Pesisir Karawang.

Tumpahan minyak Pertamina dimanfaatkan masyarakat dengan menciduk minyak mentah dan memasukkan ke karung tanpa perlindungan khusus.

”Pertamina tidak memperingatkan masyarakat daerah Pesisir Karawang untuk menghindari area tumpahan minyak mentah. Ini kewajiban Pertamina menanggulangi tumpahan minyak berdasarkan Pasal 53 ayat (2) huruf a UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.”

Minyak mentah, katanya, memiliki kemungkinan besar mengandung zat berbahaya dan manusia tak bisa kontak langsung dengan zat berbahaya tanpa ada perlindungan khusus.

Berdasarkan Pasal 53 UU PPLH, Pertamina wajib menanggulangi dengan isolasi area, penghentian sumber pencemaran dan cara lain.

“Atas kelalaian ini, kami mendesak Pertamina, bersama-sama pemerintah untuk pemeriksaan kesehatan masyarakat Pesisir Karawang. Mereka telanjur terkontaminasi minyak mentah yang berpotensi mengganggu kesehatan masyarakat.”

Selanjutnya, upaya penanggulangan dan pemulihan, kata Ohingyo, harus transparan kepada publik dengan target masyarakat Pesisir Karawang.

ICEL mendesak, pemerintah melakukan penegakan hukum kepada Pertamina untuk memastikan pemberian ganti rugi kepada masyarakat Pesisir Karawang terutama petani tambak dan ganti rugi kerusakan lingkungan.

Meiki Paendong, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat menambahkan, tumpahan minyak di perairan laut dan pantai Karawang mengancam sumber-sumber kehidupan dan keberlanjutan alam.

“Pertamina, harus tuntas dalam mengupayakan pemulihan ekosistem laut, pantai, dan mangrove, yang terkena tumpahan minyak,” kata Meiki.

Tubagus Achmad Direktur Walhi Jakarta, menambahkan, kalau tak segera diatasi, pencemaran ini akan mengganggu kehidupan masyarakat Kepulauan Seribu, yang selama ini hidup bergantung kondisi laut.

 

Minyak mentah Pertamina, tak hanya mencemari laut juga pesisir pantai Karawang, Jawa Barat. Foto: Jatam

 

 

Audit Pertamina

“Belum tuntas perairan Balikpapan, muncul lagi pencemaran di Pantai Karawang,” kata Dwi Sawung, juru kampanye Energi dan Perkotaan Walhi Nasional di Jakarta.

Kalau di Teluk Balikpapan, tumpahan minyak cemari sekitar 7.000 hektar. Catatan Walhi sampai 18 Juli, kelalaian pengeboran produksi minyak sumur YYA1 di Pantai Karawang kali ini menyebabkan, 45,37 kilometer persegi.

Data luasan pencemaran ini didapat dari citra satelit ESA sentinel 1 yang bisa diakses publik. “Luasan ini akan terus bertambah karena sumber pencemaran masih belum teratasi, masih delapan minggu lagi menutup sumur itu,” katanya.

Selain itu, angin juga mendorong pencemaran minyak ke arah barat. Laporan terakhir, masyarakat di Pulau Untung Jawa, Kepulauan Seribu membantu mengatasi kebocoran minyak. Sayangnya, warga yang ikut membantu tak punya pengetahuan dan informasi soal penanganan yang baik.

“Masyarakat terdampak mestinya mendapatkan pengetahuan dan informasi dari dampak-dampak yang akan terjadi dan selama apa.”

Menurut Walhi, masyarakat nelayan yang membantu menangani tumpahan minyak Pertamina tak mendapat pengetahuan tentang bahaya dan standar operasi penanganan.

Terlepas dari penanganan bocoran minyak, Walhi mendesak, pemerintah mengaudit Pertamina karena kecelakaan berulang dalam waktu tak lama.

“Pertamina harus diaudit,  prosedur kerja dan peralatan di lokasi lain blok ONWJ, anjungan Echo, Bravo, Mike dan Zulu,” katanya.

Selain itu, yang jadi sorotan adalah prosedur kedaruratan untuk memberitahukan kepada warga dan nelayan terdampak tumpahan minyak.

“Sampai kapan tumpahan minyak ini akan berakibat terhadap kehidupan dan bagaimana menangai pencemaran ini sesuai standar kesehatan dan keselamatan.”

Terpenting lagi yang harus jadi perhatian pemerintah, tumpahan minyak ini sudah menyebabkan tambak-tambak di Karawang dan Bekasi, gagal panen. Kehidupan nelayan di pesisir Jawa Barat dan Jakarta, katanya, juga terganggu. Lokasi pariwisata pantai di Karawang juga terpaksa ditutup karena tercemar tumpahan minyak.

 

Tanggungjawab perusahaan

Dwi Sawung mengatakan, kejadian ini bagian pertanggungjawaban mutlak korporasi, sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Memperhatikan banyaknya statemen yang mengaitkan dengan human error dalam tragedi ini. Kami mengingatkan, dalam kasus lingkungan hidup, tuntutan dapat dijatuhkan kepada badan usaha.”

Kerugian lingkungan hidup, katanya, jadi tanggungjawab mutlak korporasi, tanpa perlu mempertimbangkan kesengajaan ataupun tidak. Bahakn, dalam Pasal 88 UU PPLH menyebutkan, tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Sisi lain perlu diingat, pemerintah tetap memiliki tanggung jawab dalam kasus ini, baik dalam pengawasan, pengelolaan, ataupun perlindungan lingkungan hidup.

Secara spesifik, dalam Pasal 11 Perpres 109/ 2006 tentang penanggulangan keadaan darurat, tumpahan minyak di laut menyatakan tanggungjawab perusahaan juga meliputi biaya penanggulangan tumpahan, dan dampak lingkungan. Juga kerugian masyarakat dan kerusakan lingkungan akibat tumpahan minyak di laut.

 

Tumpahan minyak mentah di Karawang. Foto: Jatam

 

Belajar dari kasus Balikpapan, katanya, pertama, kalau berkaitan dengan kelalaian manusia, harus cek standar prosedur operasi atau tata laksana kerja. “Juga upaya penanggulangan kalau terjadi semburan dan tumpahan minyak.”

Kedua, untuk kejadian sekarang,dan harus mengecek kembali dokumen lingkungan kegiatan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, katanya, harus bergerak cepat untuk memeriksa kembali dokumen lingkungan.

Dia bilang, temuan KLHK atas kasus pencemaran karena tumpahan minyak di Balikpapan, cukup membuktikan terdapat beberapa pelanggaran Pertamina.

Hal lain perlu diawasi, katanya, Pertamina harus bertanggung jawab atas sumber mata pencaharian nelayan yang hilang.

“Seharusnya, gugatan KLHK terhadap Pertamina juga jadi pembelajaran bagi Pertamina dan perusahaan lain, serta pemerintah sebagai pemberi izin untuk lebih memperhatikan risiko yang akan diterima lingkungan hidup dalam jangka panjang. Yang akhirnya, berdampak pada risiko hak atas lingkungan hidup bagi rakyat.”

 

 

Kasus Teluk Balikpapan, hukuman Rp10,15 triliun

Pada Maret 2018, Pertamina pun mengalami kebocoran pipa minyak di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. KLHK menggugat, Pertamina atas produksi dan kelalaian.

Pada 17 Juli 2018, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya menggugat pihak yang bertanggungjawab atas pencemaran di Teluk Balikpapan. Gugatan bernomor 407/Pdt.G/LH/2019/PN Jkt.Pst ini ditujukan kepada PT Pertamina Persero, Zhang Deyi, Fleet Management Limited, Ever Judger, Holding Company Limited.

Gugatan kepada tergugat dan membayar ganti rugi lingkungan secara tanggung renteng Rp 10.15 triliun antara lain, jasa lingkungan Rp9,96 triliun), biaya pemulihan atau restorasi Rp184,05 miliar dan biaya penyelesaian sengketa lingkungan Rp 868, 628 juta.

Saat konfirmasi soal gugatan ini, Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, malah tak tahu.”(Penegakan hukum pidana) Pertamina sudah disidik oleh kepolisian, sudah diputuskan. Kami penegak hukum administrasi. Kami menyiapkan langkah hukum lain dan kami tangani,” katanya.

Adapun sanksi administrasi, Pertamina harus membersihkan dan memperbaiki sistem peringatan dini.

 

Keterangan foto utama:  Tumpahan minyak Pertamina, di Kerawang sudah sampai Kepulauan Seribu. Foto: Jatam

Exit mobile version