Mongabay.co.id

Berharap Lebih pada Survei Yaki, Monyet Endemik Sulut yang Populasinya Terus Menurun

Yaki (Macaca nigra). Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.com

 

Sejumlah lembaga memulai survei populasi yaki (Macaca nigra) di Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara pertengahan Juli ini. Survei tersebut diharapkan dapat melengkapi data populasi yaki, yang menurut sejumlah laporan riset terus mengalami penurunan.

Tim survei terdiri dari Macaca Nigra Project (MNP), Enhancing the Protected Area System for Sulawesi Biodiversity Conservation (EPASS) Tangkoko dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara.

Stephan Lentey, Field Station Manager MNP mengatakan, survei itu bertujuan untuk melengkapi data populasi yaki di hutan Tangkoko bagian selatan. Sebelumnya, MNP telah merampungkan survei populasi di bagian utara hutan Tangkoko.

Survei populasi itu menggunakan metode transek garis. Tim menetapkan 7 transek, dengan pengulangan sebanyak 7 kali. Masing-masing transek memiliki panjang 2 km dengan lebar 20 x 20 meter.

“Waktunya memang agak lama, bisa sampai 6 bulan, karena akan ada pelatihan untuk yang masuk ke hutan. Kemudian, ada 7 kali pengulangan di tiap transek. Kalau 1 kali pengulangan takutnya tidak ketemu, tidak akurat,” kata Stephan pada Mongabay, Jumat (26/7/2019).

baca : Gereja Diajak Kampanyekan Penyelamatan Yaki. Apa Hubungannya?

 

Sejumlah relawan dan petugas melakukan survei populasi yaki (Macaca nigra) di KPHK Tangkoko, Bitung, Sulut, pada ertengahan Juli 2019. Survei ini untuk mengetahui jumlah populasi yaki yang diduga menurun. Foto : facebook Macaca Nigra Project/Mongabay Indonesia

 

Anggota tim ini berjumlah 6 hingga 8 orang. Masih menurut Stephan, pihaknya berencana mengajak perwakilan masyarakat di sekitar hutan Tangkoko. Tujuannya, agar terjadi pertukaran pengetahuan antara tim peneliti dengan masyarakat setempat.

Survei populasi itu diharapkan dapat memperkirakan populasi terkini, serta memberi rekomendasi untuk perlakukan konservasi Macaca nigra. Stephan juga berharap, hasil survei itu bersifat positif, tanpa adanya angka penurunan populasi yaki di hutan Tangkoko.

“Harapan bahwa itu meningkat, ada. Kalaupun masih stabil, kemungkinan juga. Sebagai konservasionis, saya berharap mudah-mudahan jumlahnya tidak lebih sedikit dari sebelumnya. Semoga datanya bisa dipakai oleh para konservasionis,” terangnya.

Sayangnya, menurut Stephan, hingga kini yaki masih terus menghadapi ancaman perburuan. Sebab, tim MNP masih menemukan jerat di kawasan konservasi, mulai dari TWA Batuputih hingga Cagar Alam Duasudara. Terakhir kali, pihaknya menemukan sekitar 5 jerat dalam sekali perjalanan. “Jadi, jerat masih ada di lokasi penelitian, di dalam Cagar Alam. Belum tahu siapa yang pasang.”

“Di lokasi belakang Duasudara dan Dano Wudu, masih dapat juga jerat. Padahal, itu wilayah yang jarang kami kunjungi. Hanya karena ada survei populasi, kami mampir ke jalur yang baru dibuat itu. Kalau kami serius, waktunya agak panjang, bisa saja kami temukan lebih. Karena tidak mungkin mereka jauh-jauh masuk hutan hanya bawa 1 atau 2 jerat. Paling tidak 10 jerat.”

Berdasarkan data yang diterima Mongabay awal 2019, tim MNP menemukan 182 jerat di hutan Tangkoko sepanjang tahun 2018. Jerat-jerat itu terdiri dari 132 jerat ayam hutan, 38 jerat babi hutan dan 12 jerat tikus hutan. Lokasi paling banyak adalah Taman Wisata Alam, dengan jumlah 180 jerat. Sisanya, 2 jerat, ditemukan di Cagar Alam.

baca juga : Suarakan Penyelamatan Yaki dari Inggris dan Amerika

 

Sejumlah relawan dan petugas melakukan survei populasi yaki (Macaca nigra) di KPHK Tangkoko, Bitung, Sulut, pada ertengahan Juli 2019. Survei ini untuk mengetahui jumlah populasi yaki yang diduga menurun. Foto : facebook Macaca Nigra Project/Mongabay Indonesia

 

Riset: Penurunan Jumlah Populasi

Yaki merupakan spesies endemik Sulawesi Utara. Namun, sejumlah riset menyebut populasi spesies ini terus mengalami penurunan karena perburuan, perdagangan, konsumsi hingga rusaknya habitat. Data terakhir yang dipublikasi Dwi Yandhi Febriyanti, mahasiswi pasca sarjana Universitas Sam Ratulang Manado, menunjukkan kembali menurunnya jumlah populasi yaki di hutan Tangkoko.

Dalam tesis berjudul “Kajian Kualitas Habitat dan Tingkat Kepadatan Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) di Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) Tangkoko Sulawesi Utara”, Dwi menuliskan, tingkat kepadatan monyet hitam sulawesi di KPHK Tangkoko sebesar 9,00 individu per km2. Angka itu didapat menggunakan metode transek garis pada lokasi penelitian yang berjumlah 13 jalur pengamatan, dengan total panjang jalur sebesar 122,50 km.

“Kepadatan total populasi monyet hitam sulawesi di KPHK Tangkoko didapatkan mengalami penurunan sebesar 78,48% dari penelitian sebelumnya pada tahun 2010 (Palacios dkk., 2011), yang menggunakan metode yang sama, yaitu line transect. Dari 44,9 individu/km2 menjadi 9,66 individu/km2,” tulis Dwi Yandhi Febriyanti yang juga Manager Research Macaca Nigra Project, dikutip dari jurnal Agri-Sosio Ekonomi Unsrat, volume 15 nomor 1, Januari 2019.

Sebelumnya, pada tahun 2011, Juan Fransisco Gallardo Palacios mempublikasi riset berjudul “Status of, and conservation recommendations for, the Critivally Endangered crested black macaque, Macaca nigra in Tangkoko, Indonesia”.

perlu dibaca : Yaki Dan Tarsius Ternyata Punya Peran Penting Ekologis. Apa Itu?

 

Satu kelompok yaki di Cagar Alam Batu Putih, Tangkoko, Sulut. Foto: Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia

 

Dalam riset itu, dia memperkirakan kepadatan yaki di hutan Tangkoko sebanyak 44,9 individu/km2 dengan total populasi 1.951 individu. Angka tersebut 35% lebih rendah dibanding riset tahun 1994, yang memperkirakan kepadatan yaki di Tangkoko berjumlah 68,7 individu/km2.

“Kami mengamati pembalakan liar di daerah tersebut, dan karenanya kualitas habitat monyet hitam Sulawesi secara tidak langsung terpengaruh oleh aktivitas ilegal manusia. Jika tidak ada perubahan, kami memperkirakan, populasi Macaca nigra di Tangkoko akan punah dalam kurun 46 tahun,” tulis Palacios, dkk.

Macaca nigra (yaki) merupakan spesies yang oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature) dikategorikan terancam punah (critically endangered). Pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai jenis satwa dilindungi, seperti tertulis dalam Peratuan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.92/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

***

 

Keterangan foto utama : Seekor yaki (Macaca nigra) dewasa. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.com

 

Exit mobile version