Mongabay.co.id

Di Pulau Solor, Bom Ikan Berganti Lumbung Ikan Desa, Bagaimana Hasilnya?

 

Menjelang senja, beberapa anak muda Desa Bubu Atagamu kembali dari pantai. Mereka membawa pulang hasil menjaring ikan sehari itu. Rencananya ikan-ikan karang yang mereka dapat akan mereka konsumsi sendiri.

Kondisi ini berbeda jauh dengan sebelum tahun 2016. Saat itu hampir setiap hari kapal ikan dari luar desa terlihat di sepanjang perairan desa. Dengan santainya, para awak motor melempar bom di perairan Bubu Atagamu yang berterumbu karang.

“[Dulu] harus berlayar jauh bermil-mil untuk bisa menangkap ikan. Sebelum maraknya pemboman, populasi ikan di sini cukup. Memancing di pesisir saja bisa dapat ikan banyak,” ungkap Melky Koli Baran, Direktur Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) Flores Timur (17/06). Dia adalah pendamping desa.

Menurut Melky, perairan Pulau Solor yang terletak di Garis Wallacea, adalah perairan laut yang unik dan kaya biota laut. Berbagai mega fauna dilindungi seperti paus, hiu, pari manta, karang, lamun dan lainnya dapat dijumpai di daerah ini.

Dengan kondisi terumbu karang yang rusak akibat pemboman ikan, warga nelayan setempat pun sempat kehilangan asa untuk mencari ikan di laut.

“Dari cerita warga, bulan September hingga Februari di selatan Pulau Solor paling banyak kapal nelayan yang lakukan pemboman setiap harinya.”

 

Lokasi destruktif fishing di Kabupaten Flores Timur. Dok: PPKKPD Flotim

 

Lumbung Ikan Desa

Miris dengan banyaknya pemboman ikan, YPPS dan warga Desa Bubu Atagamu membuat membangun program pemantauan laut berbasis masyarakat. Dibentuklah kelompok pemantau yang dinamai Laskar Bahari. Surat keputusannya sendiri dikeluarkan oleh Kepala Desa Bubu Atagamu.

“Kelompok ini memantau jika ada kapal yang bom ikan, mereka foto dan kirim ke aparat desa sampai kepolisian. Di level kabupaten ada Forum Keanekaragaman Hayati Laut untuk mendukung warga dan menindaklanjuti hasil pemantauan Laskar Bahari,” jelas Melky.

Ketua Kelompok Laskar Bahari Nikolaus Werang (42) bilang, dulu banyak sekali praktik pembom ikan. Dalam sehari pelaku bisa sampai 50 perahu nelayan. Bukan hanya di pesisir pantai, tetapi masuk hingga ke laut dalam.

Pemboman ikan membawa efek buruk, terumbu karang rusak, ikan jadi tak bisa berpijah. Tapi setelah ada larangan pemboman, ikan mulai banyak kembali. Bahkan pernah, tutur Nikolaus, jala ikan tak kuat ditarik ke kapal karena penuh ikan.

Pasca praktik pemboman ikan diselesaikan, program ekonomi warga dimulai. Mereka menggagas Program Lumbung Ikan Desa (LIDes). Idenya meniru lumbung petani di darat yang dalam bahasa lokal disebut kebang (lumbung). Lumbung dipergunakan untuk menyimpan makanan pada saat paceklik.

Adapun LIDes di Bubu Atagamu dimulai sejak 2017 di wilayah laut seluas 2 hektar. Letaknya di bagian barat desa, daerah ini total ditutup dari aktifitas pemancingan. Tujuannya menciptakan kawasan laut yang aman, ramah dan diperuntukkan sebagai tempat perkembangbiakan ikan.

Menurut Melky, dalam waktu dua bulan saja di lokasi LIDes populasi ikan di kawasan ini mulai berindikasi bertambah banyak.

Sementara itu, di wilayah laut di sisi timur bisa seluas sehektar dapat dibuka sekali setahun untuk diambil ikannya. Di tahun 2019 wilayah ini dibuka untuk tempat memancing.

“Dibuka dan ditutup lewat ritual adat agar tak ada yang melanggar,” imbuh Melky.

Keberhasilan LIDes pun terdengar ke desa tetangga, yakni Desa Kalike Aimatan. Di desa ini, sekarang mereka sedang dalam proses mewujdukan Lides layaknya di Bubu Atagamu.

“Harapannya, bila perlu kami fasilitasi juga ke desa-desa lainnya di Solor.”

 

Rumpon yang dibiayai dari dana Desa sedang dirakit untuk diturunkan di area Lumbung Ikan Desa (LIDes). Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Menjadi Modal Masa Depan

Benediktus Basa Djawan (45) Kepala Desa Bubu Atagamu, membenarkan manfaat program penyelamatan laut. Dampaknya masyarakat semakin paham mengenai keberlanjutan ekosistem laut dan terbantu dengan pendapatan yang semakin meningkat. Apalagi desa yang luasnya 341 hektar ini langsung berhadapaan dengan laut.

“Sudah mulai ditiru desa-desa sekitar, seperti Desa Sulewaseng, Kenere, Kelike, Lemanu dan Lewograran,” ungkap Benediktus.

Sekarang warga pun banyak yang mulai membuat rumpon ikan.

Donatus Lewuk (31) seorang pemilik rumpon, menyebut sejak ada program rumpon ikan pendapatannya meningkat. Sudah hampir 3 tahun ini dia memasang rumpon di kedalaman 20 meter. Modalnya sekitar Rp5 juta per rumpon. Dia memiliki tiga rumpon.

Sekali panen dia bisa peroleh Rp10 juta, dibagi rata antara pemilik rumpon dengan pemilik kapal lampara.

“Rumpon menjanjikan. Di desa ini ada 3 pemilik rumpon. Kami bersyukur pemboman bisa berhenti berkat kerja LSM,” tuturnya.

Dengan berakhirnya program YPPS yang didanai oleh Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) di tahun 2018 lalu, untuk keberlanjutannya Benediktus pun memasukkan LIDes dalam anggaran desa.

 

Wilayah perairan Desa Bubu Atagamu dan sekitarnya di Solor Selatan, Kabupaten Flores Timur. Dulu di daerah ini bebas beroperasi kapal pembom ikan. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Di tahun 2018, Desa menganggarkan Rp43 juta untuk pelatihan, pembuatan terumbu karang hingga pelepasan terumbu karang dan rumpon. Tahun 2019, dianggarkan Rp13 juta untuk perawatan LIDes.

“Awalnya pesimis program [bakal direspon warga]. Namun setelah ada bukti, kami masukan program ini dalam APBDes yaitu Bursa Inovasi Desa sehingga bisa dianggarkan tiap tahun.”

Benekditus sebut dia pernah ajukan proposal bantuan ke Dinas Perikanan Flotim, tetapi terbentur masalah administrasi, yaitu di KTP warga.  Dari sebanyak 913 jiwa warga Bubu Atagamu, tertera 800 orang petani, seorang nelayan penuh dan 11 nelayan sambilan. Sisanya berprofesi guru dan lainnya. Bantuan pun urung diberikan.

Untuk memenuhi kebutuhan, pemerintah desa akhirnya turun tangan membeli sebuah perahu berukuran sekitar 5 GT untuk kelompok nelayan. Biayanya berasal dari dana desa.

“Di Bubu Atagamu hanya seorang saja yang berprofesi sebagai nelayan penuh. Kalau pemerintah mendukung lewat bantuan sarana dan pra sarana saya yakin bakal banyak warga desa yang mau jadi nelayan,” sebut Benekditus.

 

 

Exit mobile version