Mongabay.co.id

Nestapa Warga Kala Hidup Dikelilingi Kebun Sawit

Warga di Kampung Kabuyu, menduduki kembali lahan yang dulu tanah-tanah keluarga mereka yang sudah jadi konsesi perusahaan sawit. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Tanaman seragam, jalan pun serupa. Udara panas dan debu tampak pekat mengepul. Inilah pemandangan di kebun-kebun sawit perusahaan. Sawit itu menghampar dari Sulawesi Barat, di Mamuju Tengah, menuju Pasang Kayu, hingga Sulawesi Tengah di Donggala dan Morowali.

Satu grup yang dominan memiliki lahan perkebunan adalah Astra Agro Lestari, dengan anak perusahaan seperti PT Mamuang, PT Lestari Tani Teladan (LTT), PT Letawa, PT Pasangkayu, PT Suryaraya Lestari, dan PT Badra Sukses. Perusahaan lain, ada Wahana Global dan Trinity.

Di Desa Salugatta, Mamuju Tengah, hamparan yang dulu kebun karet berubah jadi sawit. Ketika berdiri di sebuah bukit, hamparan sawit itu bagai tak berujung. Di ujung batas pandang mata, tanaman itu samar tetap berdiri. “Sawit semua,” kata pesepeda motor yang beristirahat di pondok kayu.

“Saya melintas mau ke Mamuju, dari Palu. Mau istirahat cari tempat rekreasi kayaknya tidak ada,” katanya.

Kami bersapa pada akhir Juni di siang terik sekitar pukul 13.00. Di tempat ini, mengendarai sepeda motor rasanya serba salah memilih pakaian. Memakai jaket, keringat bercucuran. Tak menggunakan pakaian pelindung, kulit rasa terbakar. Selama empat hari di Topoyo, pusat kota Mamuju Tengah, saya berkeliling dengan sepeda motor.

Baca juga: Nestapa Petani Polanto Jaya di Tengah Ekspansi Kebun Sawit Astra (Bagian 1)

Di Desa Tobadak, tempat tinggal Bupati Mamuju Tengah, Aras Tammauni, seperti kampung umumnya, ada sekolah, mesjid, lapangan, dan prasana umum lain. Jalan mulus dengan aspal licin. Rumah-rumah panggung dan beton berdiri. Rumah Aras, berpilar besar, berwarna putih, dan bagian depan ada mesin ATM Bank Negara Indonesia. Rumah pribadi, sekaligus jadi rumah jabatan.

Di Topoyo, tak banyak orang yang ingin bercerita mengenai sawit dan kemelutnya tetapi mereka memilih bungkam.

“Saya tahu, ada banyak soal di Topoyo. Ada beberapa perampasan lahan. Tapi kami tak berani,” kata salah seorang penduduk yang saya temui.

Di Topoyo, ada banyak keluarga datang lewat program transmigrasi. Mereka mengadu nasib dan membentuk ikatan kuat, tetapi tidak dalam kekuatan politik. Para pendatang ini hingga sekarang masih ketakutan untuk bersuara.

Pada pemilihan Bupati Mamuju Tengah 2015, Aras mengumpulkan suara nyaris 98%. Kemenangan mutlak yang membuat beberapa koleganya ikut menduduki kursi legislatif.

 

Hamparan sawit milik PT Pasang Kayu, di Kabupaten Pasang Kayu, Sulawesi Barat. Foto: Eko Rusidanto/ Mongabay Indonesia

 

Aras adalah bupati yang mendukung pengembangan perkebunan sawit. Bagi dia, sawit adalah tanaman terbaik untuk meningkatkan pendapatan masyarakat karena tidak rewel.

“Penghasilan masyarakat bertambah dari sawit. Ini jadi tanaman favorit karena tidak manja,” katanya dikutip dari Fajar.co.id.

Aras juga mengakui jadi bagian dari Astra, sejak beberapa tahun lalu. Perusahaan ini dia bilang ikut menggerakkan putaran ekonomi Mamuju Tengah sampai Rp80 miliar setiap bulan.

 

Hasil sawit kecil

“Sebenarnya, sawit untuk PAD Mamuju Tengah, sangat kecil. Tak sampai 10% dari total PAD kita,” kata Arsal Aras, Ketua DPRD Mamuju Tengah.

Arsal adalah anak Aras. Pada pemilihan legislatif 2019, dia kembali terpilih melalui usungan Partai Demokrat. Selain Arsal, tiga saudara lain juga terpilih kembali menduduki kursi legislatif. Masing-masing, Arwan Aras, melalui PDI Perjuangan, melenggang ke Senayan.

Amalia Putri Aras dari Partai Demokrat kembali memenangkan satu kursi di Sulawesi Barat. Nirmalasari Aras dari Partai Demokrat, juga istri wWakil Bupati Mamuju.

Saya menemui Arsal di Makassar, awal Juli 2019. Dia mengatakan, pemerintah yang dinahkodai bapaknya sangat terbuka dan berjalan transparan. Dia memastikan, tak ada kepentingan politik. Legislatif, katanya, memberi masukan pada eksekutif.

Dia berkali-kali mengungkapkan, kalau dewan dan pemerintah daerah adalah mitra. “Jika pemerintah daerah bilang sawit terbaik, saya kira itu juga bisa direvisi. Sekarang kami bekerja sama dengan dinas terkait, mencoba mendorong pengembangan komuditi lain. Saya kira sawit tak signifikan untuk masyarakat secara umum,” katanya.

Meskipun begitu, katanya, karena masyarakat sudah terlanjur menanam sawit, pengembangan komoditas lain pun secara pelahan.

Bagi Arsal, sawit hanya tanaman industri. Modal besar dengan pembagian hasil jauh lebih sedikit karena perizinan utama di Jakarta. “Jadi, daerah hanya mendapat bagi hasil. Sedikit sekali. Tidak usah disebut.”

Meski demikian, Arsal juga punya kebun sawit sekitar empat hektar. “Tidak banyak. Itu ditanam sejak awal, dari bapak (Aras),” katanya.

 

Jalan perusahaan dalam areal PT Mamuang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Sekitar satu km, dari kediaman Aras, seorang buruh harian dari PT Badra Sukses, sedang memanen. Dia ditemani anaknya yang sedang libur sekolah. Dia berjalan membawa galah besi di bagian ujung ada celurit.

Ketika tandan buah itu menghempas, dia kembali mengaitkan galah di pelepah daun dan menariknya. Di tanah, pelapah itu ditebas pakai parang. Anaknya dengan tombak menikam tandah buah dan menaikkan ke troli. Setelah lima atau enam tandan, dia angkut ke tempat pengumpulan di sisi jalan utama.

Buruh itu tak ingin disebut namanya. Dia khawatir, kemudian hari ada masalah. Baginya, jadi buruh sawit adalah pilihan tepat. Penghasilan setiap bulan Rp2,5 juta. Sekali setahun mendapat tunjangan hari raya, dan beberapa bulan sekali bonus. “Jadi, kalau dapat bonus, bisa Rp2,7 juta,” katanya.

Buruh-buruh ini bekerja hampir saban hari. Setiap pagi hingga menjelang magrib. Mereka membersihkan dan memanen sedikitnya empat hektar. “Saya tak punya lahan, mau tak mau harus bekerja seperti ini.”

 

Polusi limbah sawit

Seratusan kilometer ke Desa Tawiora, Donggala, seorang warga dari Desa Polanto Jaya, menemani saya. Pakai sepeda motor, dia meliuk memasuki perkebunan sawit PT Letawa dan PT Lestari Tani Teladan (LTT). Di jalan kerikil luas, kami melewati kubangan tempat pembuangan limbah perusahaan. Limbah sudah jadi serbuk hitam dan aroma tak lagi begitu menyengat.

Berbeda kala melewati kebun musim penghujan. Dia pakai masker tetapi bau busuk tetap tercium.

Selama 15 hari berkeliling dari Mamuju Tengah, Mamuju Utara, hingga Rio Pakava, saya menemukan aroma serupa di sekitaran PT Pasang Kayu–juga anak perusahaan Astra Agro Lestari.

Tawiora, merupakan desa paling ujung di Donggala. Desa ini berbatasan dengan Pasang Kayu. Patok batas provinsi untuk Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah, juga di tempat ini. Berdiri dengan tembok berwarna putih sekitar 20 meter dari bibir Sungai Lariang.

Tawiora, sebelumnya desa nan sejuk. Sejak terjadi perubahan bentangan dari pohon-pohon besar beraneka ragam jadi sawit, membuat kesejukan bagai tertelan.

Penduduk yang dulu bermukim beberapa ratus meter dari bibir sungai, terdesak menuju pinggiran sungai. Kampungnya, sudah jadi HGU dari LTT.

Halaman depan, halaman belakang, samping rumah, ada sawit. “Kami tidak lagi punya tanah,” kata Idris Buka, warga setempat.

Awal 2019, Mursin bagian dari tim desa yang pengukuran untuk program proyek operasi nasional agraria (Prona).

Dia bersama tim BPN/ATR membentang meteran dan memastikan lahan masyarakat. Hasilnya, nihil. Semua tempat adalah HGU perusahaan. “Jadi, kami mau bilang apa? Mungkin karena desa kami jauh dari tersembunyi, maka tak diperhatikan,” katanya.

Di tepi Sungai Lariang, kami berdiri dan melihat arus air yang bergerak cepatt, tetapi lembut. Warnanya coklat bercampur lumpur. Ada dua rumah warga yang hanya tersisa pondasi dan puing yang hancur. Lariang, menghanyutkannya dengan cepat. Sisi sungai ini juga dikenal dengan nama pangkalan – merujuk pada aktivitas – pendaratan kayu-kayu ilegal.

Bantalan-bantalan balok yang terendam dengan ikatan-ikatan kuat dari rotan yang ditarik dengan perahu dari hutan Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat. Di Towiara, balok itu diolah di rumah-rumah produksi sawmil. Kampung ini juga dikenal dengan sebutan kampung logging.

“Kami mau berkebun, tapi lahan sudah diambil oleh perusahaan,” kata, salah seorang warga.

 

Limbah sawit PT Lestari Tani Teladandi jalan utama menuju Desa Tawiora, Donggala. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Di Kampung Lariang, Kecamatan Tikke Raya, Pasang Kayu, seorang pria berusia 73 tahun, duduk di kursi ruang tamu. Dia menghadap ke pintu utama rumah. Namanya, Lamisi. Sudah dua kali dia masuk penjara karena tuduhan menyerobot dan mencuri buah sawit milik PT Letawa.

Tanah itu, dia kelola sebelum perusahaan datang. Dia menanam padi, jagung dan kakao. Beberapa petakan juga ditanami sawit, ketika perusahaan datang. Letawa, yang datang belakangan lalu mengklaim kalau lahan Lamisi bagian dari HGU. “Orang-orang perusahaan datang, lalu tebang pohon cokleat (kakao),” katanya.

“Saya ke pak desa mengadu. Sebab, lahan itu ada surat-suratnya dan ditandatangani pemerintah desa. Saya kecewa sekali,” katanya.

Lamisi punya luas lahan garapan sekitar 15 hektar. Lahan itu untuk pengembangan penduduk dan masing-masing rumpun keluarga mendapatkan jatah dua hektar. “Jadi, 15 hektar itu, ada bagian dari keluarga,” kata Lamisi.

Di kantor desa, pemerintah membuat kesepakatan secara verbal. Lamisi boleh menduduki lahan itu. Tahun 2012, dia menanam sawit tetapi perusahaan masuk dan menanam sawit di sela tanaman lain.

Ketika tanaman berbuah dan mulai panen, nahas bagi Lamisi, perusahaan membuat laporan ke kepolisian Mamuju Tengah. “Saya dituduh mencuri di lahan sendiri. saya dipenjara empat bulan dengan anak saya,” kata Lamisi.

Ketika keluar dari penjara, dia tetap bersikukuh kalau lahan dengan surat dan pajak lengkap yang dimilikinya bukti hukum sah. Dia tetap menggarap. Tahun 2018, saat panen sawit kembali, dia kembali tertuduh sebagai pencuri sawit perusahaan.

“Saya ditangkap malam. Saya sedang sakit dan tidak bisa gerak. Saya bilang, kenapa harus ditangkap malam, saya lagi sakit. Polisi bilang akan bawa ke rumah sakit, tapi saya dibawa ke kantor polisi,” katanya.

Lamisi mengenang peristiwa itu. “Saya keluar penjara, saya masuk lagi ke kebun saya. Saya tahu, laporan perusahaan sudah masuk lagi ke polisi. Mungkin beberapa waktu ke depan, saya ditangkap lagi. Saya tidak akan berhenti. Itu kebun saya, kenapa mereka mau ambil.”

Di Kampung Lariang, rumah Lamisi, beberapa rumah warga berada di sisi jalan utama Mamuju Tengah menuju Mamuju Utara. “Orang baru tahu, kalau rumah mereka dan sekolah masuk wilayah HGU perusahaan,” katanya.

“Dulu ada banyak orang menggadaikan sertifikat ke bank untuk akses modal usaha. Warga dapat dan bank memberi pinjaman. Tahun 2019, saat pinjaman mau lanjut, bank sudah tidak mau lagi, karena sertifikat itu katanya sudah masuk HGU Letawa,” kata Muliadi, warga lain.

“Ini ada apa? Sebelumnya kami bisa akses ke bank. Sekarang tidak lagi. Jadi baru-baru ini ada penambahan HGU kalau begitu.”

Letawa, adalah anak perusahaan Astra Agro Lestari yang memiliki izin di Sulawesi Barat. Beroperasi pada 1995, dengan luas lahan 7.101 hektar.

“Di adendum amdal (analisis mengenai dampak lingkungan-red), mereka punya luasan 7.000 hektar. Harusnya, pemerintah turun cek. Tahun 2010, rumah kami dan kampung ini masih di luar HGU. Tahun 2018, kenapa tiba-tiba masuk? Apakah ini lahan siluman?” kata Muliadi.

 

Warga me gumpulkan sawit. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Sekitar 10 km dari Lariang, di Kampung Baras, Hukma, sedang demam. Malam itu pria 48 tahun ini masih menggigil. Beberapa bulan sebelumnya, dia baru saja keluar penjara, karena kasus pemukulan karyawan perusahaan Letawa.

“Saya ikat di sawit dan pukul dia,” katanya.

Ini kali kedua dia masuk penjara. Pertama kali mendekam di jeruji besi karena menikam mandor perusahaan. “Saya kasi begitu, karena mereka masuk ke kebun saya. Itu tanah kami. Keluarga kami sejak dulu beraktivitas di tempat itu. Kami menanam kakao, durian dan langsat.”

“Mereka datang mengklaim. Saya sudah capek. Jadi, saya akan melakukannya lagi kalau mereka masih akan merebut lahan keluarga kami,” katanya.

Bagi Hukma, tetap berdiam diri dan melihat tanah dikuasai perusahaan adalah kesalahan. “Kami makan, tidak mengemis. Sekarang ada perusahaan, ada banyak bank, tapi tak bisa disentuh.”

Hukma, bagian dari rumpun Suku Kaili Uma’. Leluhur mereka membangun pemukiman dan tempat berladang di kawasan yang diklaim perusahaan. Mereka menggembala sapi, yang lepas bebas. Ketika komunitas memerlukan, orang-orang akan masuk hutan bersama-sama mencari sapi. Masing-masing keluarga menandai sapi mereka dengan sayatan di telinga. Ada dua sayatan, satu sayatan, atau tiga sayatan. Sapi tak akan tertukar.

Hutan pada masa itu adalah tempat bertualang dan rumah hidup bagi warga. Ada rotan, jadi kerajinan tangan dan lain-lain. “Sekarang, harus beli. Semua serba uang sekarang,” kata Hukma.

Rumpun suku lain, adalah Kaili Tado, di Kampung Kabuyu. Mereka adalah masyarakat yang ditelan hamparan sawit milik PT Mamuang. Dua pekan sebelum kedatangan saya di akhir Juni, sebanyak 137 keluarga menerobos masuk konsesi perusahaan dan menduduki kembali lahan peremajaan yang baru ditanami sawit.

Luas lahan sekitar 600 hektar. Warga membangun pondok hunian sementara. Mereka membawa keluarga dan tinggal di kawasan itu. “Ini lahan pertanian penduduk sebelum perusahaan itu datang. Di sini, tempat tumbuh sagu kami,” kata Anta, seorang warga.

Di sela sawit baru perusahaan, warga menanam jagung. “Kita akan saling jaga toh, perusahaan menjaga tanaman sawit, kami menjaga jagung kami,” katanya.

Di tanah hamparan pendudukan itu, ada kuburan tua dari rumpun Kaili Tado. Perusahaan tak menggusur sepenuhnya, walau semua tanaman habis.

Bobu Pea, melihat penebangan sagu ketika perusahaan masuk. Dia melihat bapak dan keluarganya menangis, tak bisa berbuat apa-apa karena perusahaan dikawal tentara.

Setelah sagu, mereka juga ikut merobohkan kakao dan kelapa di dekat kampung. “Semua orang tidak bisa melawan. Kami hanya dijanjikan bekerja di perusahaan tapi tak pernah terjadi,” kata Bobu.

Mongabay berusaha mengkonfirmasi berbagai persoalan ini kepada perusahaan. Pada 23 Juli lalu, Mongabay mengirimkan pesan permintaan wawancara kepada Teguh Ali, Community Development Area Manager (CDAM) Celebes ! PT Astra Agro Lestar.

“Selamat sore, Klu ada kesempatan kita bertemu, kita bicara,” kata Teguh, dalam balasannya. Pada 2 Agustus 2019, Mongabay, mencoba menghubungi kembali Teguh, tetapi tak mendapatkan jawaban.

 

***

‘Pendudukan’ warga terus berlanjut. Perusahaan memasang pengumuman di tempat itu. “DILARANG MENGELOLA LAHAN HGU TANPA SE IZIN PT MAMUANG.” Begitu bunyi pengumumannya.

“Tidak apa-apa. Nanti kami pasang juga, larangan mengelola lahan warga tanpa izin,” seloroh Anta.

 

Keterangan foto utama:  Warga di Kampung Kabuyu, menduduki kembali lahan yang dulu tanah-tanah keluarga mereka yang sudah jadi konsesi perusahaan. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Pengambilalihan kembali lahan warga dari perusahaan perkebunan sawit di Kampung Kabuyu. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version