Mongabay.co.id

Uniknya Kopi ala Suku Osing

 

Suku Osing adalah penduduk asli Banyuwangi, Jawa Timur. Mereka juga biasa disebut sebagai Laros, atau singkatan dari Lare Osing selain juga dikenal sebagai Wong Blambangan. Seperti layaknya wilayah-wilayah kerajaan di Pulau Jawa pada jaman dahulu, Suku Osing pada awalnya memeluk agama Hindu-Budha.

Tetapi pada perkembangannya, perkembangan Islam yang begitu pesatnya, turut mempengaruhi kepercayaan Suku Osing pada masa berikutnya. Berkembangnya Islam dan masuknya pengaruh luar lain di dalam masyarakat Osing juga dipengaruhi oleh usaha VOC dalam menguasai daerah Blambangan.

baca : Liputan Banyuwangi : Pengelolaan Unik Sampah, antara Ekskul Sekolah dan Secangkir Kopi (4)

 

Buah kopi yang masih hijau, yang di tanam di pekarangan milik warga Osing, Banyuwangi. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Dengan mayoritas mata pencaharian petani, kebanyakan suku Osing Banyuwangi tinggal di daerah-daerah yang mempunyai tanah yang subur. Dan Suku Osing pun dikenal dekat dengan alamnya. Salah satunya ditunjukan melalui tanaman kopi.

Kopi bisa dikatakan telah membudaya dan menyatu di dalam kehidupan orang-orang osing. Bahkan di dalam keseharian orang Osing ada anggapan, jika lelaki harus minum kopi. dan ketika sedang kumpul-kumpul tetapi ada seseorang yang minum teh, berarti dia disebut kurang sehat. Dan jika dilihat dari sejarahnya, Banyuwangi merupakan proyek percontohan pengembangan kopi Arabica, terutama di daerah pegunungan seperti Ijen dan Raung.

baca juga : Menyandingkan Kopi dan Hutan di Bondowoso

 

Perkebunan kopi kalibendo, Banyuwangi. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Pohon kopi milik masyarakat Osing yang berada di pekarangan rumah. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Orang Osing juga biasa menanam kopi di pekarangan rumahnya. Kopi yang ditanamberjenis robuta excels, liberica, atau kopi buria, atau juga sering disebut kopi jemblung atau kopi nangka, oleh orang Osing.

“Rasa dari kopi liberica bila dibandingkan dengan dengan Arabica yang banyak ditanam di dataran tinggi mempunyai kesamaan rasa, yaitu asam, hanya saja karakternya yang berbeda. Arabica mempunyai keasaman yang relatif lembut, sedangkan liberica lebih tajam. Karena itu, masyarakat Osing ketika mengolahnya akan mencampur kopinya dengan bahan yang lainnya, seperti jagung, beras, kelapa, kayu manis, lamtoro, dan bahan yang lainnya untuk meredam keasaman kopi liberica atau kopi jemblung ini,” kata Nidhom Masyusron, salah satu penggiat kopi dari Banyuwangi kepada Mongabay, Sabtu (29/6/2019).

menarik dibaca : Foto : Asyiknya Mengikuti Edukasi Kopi di Kaki Gunung Kawi

 

Nidhom Masyuron, penggiat kopi Osing, Banyuwangi, Jatim. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

“Karakter kopi di Banyuwangi ini, khususnya di lereng Ijen juga tergolong unik, karena pengaruh belerang dari ijen, ditambah dengan uap garam dari laut selat Bali. Robusta di Banyuwangi karakter dasar yang cenderung kekacang-kacangan, ada kalanya mendekati moka, coklat dan dark coklat. Sedangkan ada pula karakter rasa sampingannya, seperti kapulaga, jahe atau cengkeh, tergantung tanaman selanya saja,” jelas Nidhom.

Orang Osing pun mengsangrai atau mengolah kopi secara tradisional, yaitu dengan menggunakan belanga tanah liat dan kayu bakar. Menurut Nidhom mengatakan pula jika kopi tradisional ini punya keunggulan tersendiri,

baca juga : Liputan Banyuwangi : Pulau Tabuhan, Antara Keindahan dan Sampah (5)

 

Kopi hasil sangray tradisional. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Proses pengeringan kopi. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

“Kopi yang diolah secara tradisional mempunyai karakter yang sangat unik, karena ada pengaruh dari kayu bakar yang digunakan. Seperti ada aroma asapnya, sehingga kopi menjadi lebih lembut. Dan ini pun masih mempunyai keberagaman rasa di setiap daerahnya, tergantung dari kayu bakar yang digunakan di tiap-tiap daerahnya. Berbeda dengan kopi yang diolah dengan menggunakan mesin dengan standar yang sama, yang rasanya cenderung sama di berbagai daerah,” katanya.

Pengolahan kopi secara tradisional juga sangat tergantung pada kemampuan orang yang mengolahnya, seperti pada tingkat kematangannya. Setiap orang Osing mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda. Sehingga rasanya pun sangat beragam. Tetapi yang jelas, kopi atau kopai dalam bahasa Osingnya, terasa sangat lembut dengan aromanya yang khas.

Secangkir kopi adalah wujud kearifan dan keramahan dari Masyarakat Osing di Banyuwangi.

 

Sangray kopi tradisional ala Osing, Banyuwangi. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version