Mongabay.co.id

Ajakan Tulus untuk Tahura Lebih Bagus

Hutan tersisa di Kawasan Bandung Utara hanya di Tahura Djuanda. Secara luasan sangat kecil, maka diusulkan penambahan 3.000 hektar. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Akhir pekan biasa dijadikan waktu berlibur melepas rutinitas dan stres dengan rekreasi. Diantaranya terdapat pilihan wisata ke hutan, seperti ditawarkan oleh Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda Dago, Bandung, Jawa Barat. Setiap tahunnya, Tahura Djuanda dipilih oleh 600 ribu pengunjung untuk dijadikan sebagai tempat wisata, baik wisatawan domestik maupun internasional.

Tahura memiliki beragam area wisata di dalamnya seperti Gua Jepang, Gua Belanda hingga curug (air terjun) yang menjadi destinasi favorit pengunjung yaitu Curug Omas Maribaya, Lembang. Karena lokasinya sejauh lima kilometer dari gerbang masuk Dago Pakar, pengunjung bakal melewati beberapa curug lain sepeti Curug Lalai, Curug Kidang dan Curug Koleang sebelum sampai Curug Omas.

Ada yang unik dari ratusan orang yang berkunjung setiap akhir pekan di Tahura Djuanda. Dimulai pertengahan Maret 2019, ada seorang mahasiswa rutin berkunjung setiap weekend. Bagus Unggul Pranoto, mahasiswa Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM), Institut Teknologi Bandung (ITB) itu datang bukan untuk berwisata, tetapi untuk memungut sampah di sekitar sungai (clean up the river) yang mengalir melewati Tahura. Bagus Unggul Pranoto mengaku telah delapan kali membersihkan sampah di sepanjang sungai Cikapundung yang melintasi Tahura Djuanda dan membelah kota Bandung itu.

baca : Curug Dago, Jejak Keindahan Bandung Tempo Dulu

 

Panorama lanskap dari Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. Hj. Djuanda, Dago Pakar, Kota Bandung, Jawa Barat. Foto : Moch Rizqi Hijriah/Mongabay Indonesia

 

Ajakan Teman

Setiap hari Minggu, Bagus biasa mengajak teman-temannya untuk membersihkan sampah di area Curug Koleang. Biasanya sehari sebelumnya, ajakan bersih sampah itu juga disebarluaskan melalui akun instagramnya. Ajakannya itu membawa Bagus bertemu dengan orang-orang baru, yang diajak berantai dari teman-temannya. Berawal hanya dari beberapa orang, menjadi 30 orang yang datang pada bersih sungai yang kedua.

“Awalnya hanya temanku saja yang datang, lama-lama temanku bawa teman-temannya. Jadi mereka datang karena diajak temanku. Mereka juga tahu dari media sosial. Ada juga relawan yang nggak kukenal, tapi tahu dari dari siaranku di Radio PRFM dan di media sosial,” jelas Bagus saat ditemui memungut sampah di Curug Koleang, Tahura, Bandung, Minggu (7/7/2019) siang.

Selain melalui media sosial, tidak jarang banyak relawan bergabung bersih sungai saat jalan-jalan mengunjungi Curug Koleang dan penasaran melihat aktivitas Bagus dan teman-temannya. “Setiap minggunya pasti ada orang baru yang ikutan. Aku seneng banget karena bisa kenalan dan we have a new friends yang sama-sama tertarik dan concern di permasalahan lingkungan,” katanya.

Seperti Nahla, mahasiswa Teknik Sipil ITB, tertarik bergabung ketika diajak teman seperkumpulannya yang sebelumnya telah membantu Bagus membersihkan sungai. Hingga sekarang Nahla mengaku telah mengikuti enam kali kegiatan itu.

“Saat pertama ikutan itu sampahnya memang banyak banget. Aku nemui sampah yang random seperti celana sampai popok bayi. Harapan kedepannya makin banyak orang yang peduli, karena ketika aku cerita (acara bersih sampah) banyak teman lain yang tertarik ikut,” katanya.

baca juga : Bandung yang Masih Berkutat dengan Sampah, Sampai Kapan?

 

Bagus dan teman-temannya sedang membersihkan sampah di area wisata Curug Koleang, Tahura, Djuanda, Dago Pakar, Bandung. Foto : Moch Rizqi Hijriah/Mongabay Indonesia

 

Berawal dari Prihatin

Rutinitasnya bersih sungai tentu didasari dengan alasan. Bagus mengaku keinginannya itu berawal dari kunjungannya bersama temannya dari luar negeri ke Tahura Djuanda dan melihat sampah yang berserakan di sekitar aliran sungai. Tapi keinginannya bersih sampah tidak dilakukan saat itu juga.

Bersih sampai baru dilakukannya, saat diajak orangtuanya mengisi akhir pekan. Bagus mengusulkan untuk membersihkan sampah di Tahura dan orang tuanya mendukung, yang kemudian ikut berpartisipasi membersihkan sampah di Curug Koleang.

Selain itu, Bagus terinspirasi dari sebuah tantangan yang sedang viral di jagat maya bernama Trash Tag Challenge. Yaitu tantangan dengan menampilkan kondisi sebelum dan setelah suatu area dibersihkan dari sampah. Tantangan yang viral mendunia itu bertujuan menyadarkan masyarakat tidak membuang sampah sembarangan.

“Menurutku yang kurang disini adalah sense of belonging. Masyarakat (kota Bandung) menganggap (keberadaan) Sungai Cikapundung itu sebagai kebetulan saja. (Kebersihannya) bukan tanggung jawab kita, tetapi tanggung jawab (pengelola) Tahura. Pengaruh dengan budget juga, karena sampah-sampah itu jika diangkut perlu biaya tambahan,” ujar Bagus.

Sejak saat itu, Bagus rutin setiap hari Minggu sampah rutin di Curug Koleang dalam area Tahura Djuanda. Dia melihat sampah lebih banyak terkumpul pada musim hujan dibandingkan musim kemarau. Dia menduga sampah yang dibuang sembarangan oleh warga Bandung ke badan sungai Cikapundung bagian hulu, terbawa aliran sungai dan menumpuk salah satunya di Curug Koleang.

Ia menuturkan bahwa sampah yang sering ditemui ialah sampah jenis limbah rumah tangga, seperti bungkus plastik (sachet), popok bayi, limbah pakaian hingga karpet. Terakhir kali, Bagus menemukan sepotong celana dengan ukuran besar yang dibuang dan menyangkut di sungai.

menarik dibaca : Penanganan Sampah Perlu Paradigma Baru

 

Bagus Unggul Pranoto, mahasiswa SBM ITB 2017, memperlihatkan sampah potongan celana dari aliran sungai di Curug Koleang, di dalam Tahura Djuanda Dago Pakar, Bandung. Foto : Bagus Unggul Pranoto/Mongabay Indonesia

 

Pemilahan Sampah

Sedangkan Wakil Koordinator Kampanye Kebijakan Organis, Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) Bandung, Yobel Novian Putra, melihat masalah permasalahan sampah di sungai dapat diselesaikan dengan dua cara yaitu pengumpulan terpilah dan pengolahan organik.

Selain memungkinkan pengolahan organik, pengolahan terpilah bisa mencegah terbuang ke lingkungan termasuk ke sungai. Adanya sampah di sungai dan badan sungai, lanjut Yobel, karena tidak ada pengumpulan sampah rutin, sehingga masyarakat memilih untuk membakar, ditimbun atau dibuang ke sungai.

“Jadi masalahnya itu bukan di sungai, melainkan di pengumpulannya. Pemerintah investasinya di pengangkutan dari tempat pembuangan sampah (TPS) ke tempat pembuangan akhir (TPA). Sedangkan pengumpulan dari sumbernya seperti rumah, warung dan sejenisnya ke TPS ini gak diurusin. Jadi pengumpulan terpilah dan pengolahan organik untuk mengurangi sampah ke sungai,” papar Yobel saat ditemui di Kantor YPBB Bandung pada Selasa (23/7/2019) pagi.

Sementara Kepala Balai Tahura Djuanda, Lianda Lubisa menjelaskan bahwa sampah yang mengotori aliran sungai itu berasal dari pemukiman sekitar Tahura yang tidak memiliki tempat pembuangan sampah (TPS) dan berasal pula dari pemukiman warga di hulu sungai daerah Palintang, Maribaya. Ia pun menjelaskan bahwa setiap desa di sana rata-rata memiliki 6 ribu sapi, sehingga limbah kotoran sapi dibuang ke sungai dan menjadikan air sungai tercemar.

Sehingga pengelola pada saat ini sedang bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk membuat wetland. Pembuatan wetland difungsikan untuk menampung sementara air sungai yang telah tercemar dan dialirkan kembali setelah disaring agar air sungai kembali jernih. Namun kekurangan dalam pengoperasian wetland ini ialah tidak bisa menampung jika jumlah sampah melebihi kapasitas tampung.

perlu dibaca : Sungai Citarum, Saatnya Ditata Menjadi Harum!

 

Kondisi sebelum dan sesudah dibersihkan sampah, di salah satu titik pembersihan di sekitar aliran sungai Curug Koleang dalam Tahura Djuanda, Bandung. Foto : Moch Rizqi Hijriah/Mongabay Indonesia

 

Apresiasi

Setelah membersihkan sampah di Curug Koleang yang kedua kali, Bagus mulai berkoordinasi dengan pengelola Tahura Djuanda. Tanggapan pihak pengelola beragam, ada yang mendukung dan ada pula yang keberatan. Dan Kepala Balai Tahura sangat mendukung adanya kegiatan ini, sampai menawarkan Bagus agar dapat publikasi media.

“Saya terharu, masih ada yang tulus (melakukan bersih sampah). Meski ketulusan Bagus tidak dianggap oleh orang lain. Makannya kami memfasilitasi, apapun yang dia minta kami siapkan. Sebenarnya bukan hanya dia saja yang memiliki tugas untuk mengangkut sampah, tetapi orang lain juga harusnya iba karena sampahnya diangkut oleh orang lain,” ungkap Kepala Balai Tahura, Lianda Lubis yang ditemuai di kantornya Kamis (25/7/2019).

Lianda berpesan kepada siapa saja yang masih peduli lingkungan agar jangan putus asa. Karena kerap kali komunitas peduli lingkungan tidak mendapatkan dukungan dari khalayak. Sehingga Lianda mengingatkan agar kegiatan peduli lingkungan dapat terus berlanjut meskipun tidak adanya penghargaan.

 

Sampah dari aliran sungai dalam Tahura Djuanda, Bandung yang telah dikumpulkan dan dimasukan ke dalam kantong sampah yang nantinya akan diangkut oleh petugas setempat. Foto : Moch Rizqi Hijriah/Mongabay Indonesia

 

Dari perubahan tujuan, Bagus memiliki visi agar dapat membawa gerakannya menjadi sebuah badan organisasi yang bermitra dengan Tahura. Dengan fokus kebersihan Tahura dan sungai. Karena dia berkeinginan masalah sampah di Tahura dapat terselesaikan.

“Aku ingin membuat social media campaign, yang terinspirasi dari gerakan 4Ocean, jadi ngambilin sampah dan mendapat uang dari kegiatan itu. Menurutku banyak sekali yang bisa dilakukan disini, contohnya bisa memberdayakan potensi anak muda dan masyarakat sekitar di Desa Ciburial,” papar Bagus.

Saat ini Bagus menamai gerakannya dengan ‘Muara’, karena orang-orang dalam gerakan bersih sampah sungai ini bermuara pada tempat yang sama. Selain itu pula memiliki konsentrasi yang sama untuk menyelesaikan masalah lingkungan. Dia berharap makin banyak lagi orang yang peduli dan berpartisipasi dalam kegiatannya ini.

***

Keterangan foto utama : Hutan tersisa di Kawasan Bandung Utara hanya di Tahura Djuanda. Secara luasan sangat kecil, maka diusulkan penambahan 3.000 hektar. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

***

 

*Moch. Rizqi Hijriah, Mahasiswa Prodi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung. Magang di Mongabay Indonesia, Juni – Agustus 2019

 

Exit mobile version